Serial Karyawan Stress - Simpang Tanpa Cabang

Aku kembali tergolek lemas. Tubuhku kembali tak bersahabat untuk kali kedua dalam satu pekan kebelakang. Tak jelas apa penyebabnya, yang pasti aku merasa sangat tidak sehat. Aneka ragam diagnosa pun bermunculan dari beberapa orang dekat berkaitan dengan sakitku ini, dari yang asal-asalan hingga yang sangat argumentatif secara ilmiah.


Seorang teman menyarankanku untuk di rukyah, sebuah terapi mengusir jin dengan metode syariah yang diajarkan Nabi. Pasalnya ia yakin bukan virus yang menyebabkan aku terkulai, tetapi jin jahat yang bersemayam di dalam tubuhku. Tentu saja sebagai orang beriman dan yang juga menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan logika, aku menolak mentah-mentah kesimpulan dan saran yang ia berikan.


Lain lagi halnya dengan istriku yang seorang dokter. Setelah memeriksa suhu tubuh, mengecek tensi darah dan menguping-nguping dada dan perutku dengan stetoskopnya ia berkeyakinan tidak ada yang salah dengan organ-organ ku. Maka ia pun mengambil kesimpulan yang sedikit berbeda dari temanku namun menurutku setali tiga uang dalam substansi. Katanya aku menderita penyakit berjudul psikosomatis, sebuah penyakit karena tekanan kejiwaan, stres atau depresi. Benar bukan, tak ada bedanya antara sakit jiwa dengan kerasukan jin. Sekali lagi karena alasan keimanan, dan demi menjunjug tinggi ilmu pengetahuan dan logika, aku juga menolak mentah-mentah kesimpulan bahwa aku menderita sakit jiwa.


Kedua orangtuaku pun tak ingin kalah berkomentar. Setelah melihat kondisiku, sambil mencari-cari referensi dari hikayat kesehatanku sejak kecil dulu, mereka pun berpendapat bahwa aku kekurangan asupan gizi. Aktifitasku yang melelahkan ditambah asupan giziku yang bersandar pada warung-warung pinggir jalan plus pengalamanku menderita kurang gizi ketika SMP lebih dari cukup untuk meyakinkan mereka bahwa aku memang kurang gizi. Tapi kali ini bukan karenan alasan keimanan dan ilmu pengetahuan, melainkan atas alasan gengsi sebagai seorang yang berpenghasilan cukup dan beristri dokter yang sangat memperhatikan kondisiku dan keluarga, maka aku menolak dengan tegas bahwa aku kurang gizi!


Bagiku sakit ya sakit saja. Sakit adalah indikasi bahwa bagian-bagian tubuhku sedang tidak berfungsi dengan baik. Menolak untuk bekerja karena memang sedang tidak ingin, lelah, bosan atau aus. Menon-aktifkannya sebentar pasti akan mengembalikannya kepada kondisi normal. Seperti komputerku yang suka ngadat, mematikannya beberapa saat akan membuatnya bekerja kembali seperti sedia kala. Intinya aku sedang tidak sehat, tidak ada urusan dengan kerasukan jin, sakit jiwa apalagi penyakit memalukan kelas teri, seperti kurang gizi.


Aku masih terkapar meringkuk di seperempat tempat tidur yang berukuran queen, di sisi sebelah kanan menghadap jendela. Sinar matahari menerobos masuk melalui celah-celah krey jendela membentuk batangan-batangan berwarna kuning emas di lantai kamar. Berbaris rapi dari panjang ke pendek. Salah satunya menimpa mataku hingga walau terpejam masih dapat kurasakan silau dan panasnya. Pendingin udara menderu-deru menghembuskan hawa dingin melawan udara panas yang dibawa sinar matahari. Hari sudah beranjak siang namun tak jua aku beranjak dari tempat tidurku.


Zain Bikha masih bersenandung dari CD yang diputar untuk menemaniku sejak tadi pagi oleh istriku sebelum berangkat kerja. Entah berapa kali ia sudah berputar-putar di dalam disk drive komputerku. Namun suaranya masih saja mendayu merdu dari pengeras suara mono yang tersambung ke belakang CPU. Track 1, Allah Knows, nasyid favoritku.


No matter what, inside or out

There’s one thing of which there’s no doubt

Allah knows Allah knows

And whatever lies in the heavens and the earth

Every star in this whole universe

Allah knows Allah knows


Lagu memasuki bagian reffrain, melodi minimalis, senandung tanpa alat musik mengalun indah. Tanpa petikan gitar yang berdenting, tanpa perkusi yang menghentak, hanya suara lembut yang menyenandungkan pesan dengan kedalaman makna. Senandung itu menelusup ke dalam lubang telingaku, melewati saluran meatus auditorius eksternus setelah ditangkap daun telinga, sebelum kemudian menggetarkan membran timpani di ujung saluran telinga luar. Getaran nada lembut nan indah itu kemudian merambat pasti dari satu tulang ke tulang yang lain dan bermuara di vestibular nerves untuk dikirimkan ke otak ku yang kini sedang berdenyut-denyut pening.


Begitu kuat pengaruh alunan nada pada emosi seseorang. Pernah kudengar seorang remaja melakukan pembunuhan brutal setelah mendengarkan pure massacre yang didendangkan kelompok musik grunge dari negeri kangguru, Silverchair. Namun nada-nada dendangan Zain Bikha yang kini telah sampai dikirimkan saraf-saraf vestibular ke otakku memberikan sensasi berbeda. Nada-nada ini menenangkan, kepalaku seakan dibelai dengan penuh kasih sayang. Denyut-denyut pening berangsur hilang. Mataku kembali terpejam. Aku seperti melayang meninggalkan tempat tidurku. Makin lama semakin tinggi. Dari atas dapat kulihat kamarku dan isinya yang berantakan. Semakin tinggi. Kini aku meninggalkan rumah. Kulihat atapnya yang berwarna coklat dan kemudian menghilang ketika aku terbang semakin jauh.


Tak jelas berapa lama aku sudah melayang-layang tetapi kini aku sudah berdiri di tengah sebuah persimpangan. Anehnya tak kulihat cabang-cabang dari persimpangan ini. Hanya berdiri di persimpangan saja sudah membuatku sangat bingung menentukan arah mana yang kan di tempuh, apalagi yang tak jelas cabang-cabangnya. Bingung kuadrat. Bukan saja tidak tahu kemana aku harus berjalan tapi juga tidak tahu dimana jalannya. Hanya satu yang pasti, bahwa aku harus beranjak pergi dari sini.


Bingung menggelayut di atas kepala dan kini mulai memerangkap hati. Tapi rasa ini tak lagi aneh kurasakan. Sepertinya semua hanya pengulangan atau replika dari kehidupan ku di waktu dan tempat yang lain. Di waktu dan tempat yang lebih nyata dari ini.


Di kehidupan nyata, telah lama aku merasakan stagnasi. Bergeming, tidak maju maupun mundur, tidak naik apalagi turun. Teringat nasihat dari Imam Syafi’i bahwa orang berilmu dan beradab tak akan berdiam diri pada tempatnya, emas tak akan berkilau jika tetap di dalam tanah, bahwa kayu gaharu hanyalah kayu biasa jika tetap didalam hutan. Karenanya aku harus segera beranjak, aku ingin berkilau seperti emas dan berharga seperti gaharu. Namun tak tahu harus kemana agar aku menjadi emas atau gaharu. Aku berdiri di persimpangan tanpa cabang.


Bingung bergelantung makin berat di kepala dan semakin mengurung hatiku. Perasaan ini membuatku sangat letih hingga hampir tak sadarkan diri. Kurasakan diri ini begitu lemah tanpa daya. Ditengah keputusasaan tiba-tiba sebuah perasaan meronta-ronta di dalam hati. Sebuah perasaan rindu yang menyeruak memenuhi rongga hati yang sedang sempit terperangkap. Rindu akan Dzat yang serba Maha. Dzat yang Maha Kuasa yang paling pantas dimintai pertolongan. Dzat yang Maha mengetahui segalanya, yang niscaya dapat menjawab segala kebingunganku. Dzat yang menciptakan aku karenanya mengetahui apa yang baik untukku. Betapa inginku agar Ia menentukan pilihanNya untukKu. Pastilah pilihanNya yang terbaik bagiku. Betapa inginku agar Ia menunjukkan arah yang harus kutempuh, menunjukkan misi yang harus ku emban dalam kehidupan ini.


Perasaan rindu itu semakin bergelora melepaskan secara perlahan-lahan belenggu kebingungan dan menggantinya kini dengan keyakinan. Keyakinan bahwa Allaah mengetahui keberadaanku, Allaah mengetahui permasalahanku, dan Allaah akan memberikan yang terbaik kepadaku. Kini aku rindu mengadu kepadaNya, rindu menangis di hadapanNya, rindu berdekatan denganNya di malam buta. Aku rindu inayah dan hidayahnya.


When you carrying a monster load

And you wonder how far you can go

With every step on that road that you take

Allah knows Allah knows


You see we all have a path to choose

Through the valleys and hills we go

With the ups and the downs, never fret never frown

Allah knows Allah knows…


Suara merdu Zain bikha mengembalikanku ke dalam kamar. Menyadarkanku bahwa aku masih tergeletak di tempat yang sama, tempat tidur yang berantakan dan kini basah oleh peluh. Kulirik jam dinding tegak lurus di hadapanku. Pukul 11.30, menjelang dzuhur. Dengan susah payah kuangkat badanku dari tempat tidur menuju kamar mandi untuk berwudhu. Kan segera kuobati rinduku beberapa saat lagi.


Sambil tertatih menuju kamar mandi aku bergumam, ”Psikosomatis, sial...si bunda benar lagi!!!”



Ujung Timur Tebet,

28 Oktober 2009, 00.15WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar