Nasihat untuk pohon kecil



Ujung timur tebet, 25 Desember 2019

Duduklah di sini, di bawah naunganku. Bersandarlah pada kaki-kakiku yang kokoh. Biar ku ceritakan sebentar tentang aku.

Aku dulu tak sebesar dan sekuat ini. Aku hanyalah sebutir biji kecil. Bahkan lebih kecil dari biji congklak yang biasa kau mainkan. Tapi siapa sangka, di dalamnya terdapat semua yang kubutuhkan untuk tumbuh. Tanah tak cukup kuat menahanku untuk tidak keluar dan menantang matahari. Begitupun kau, di dalam tubuh kecilmu, Tuhan telah titipkan semua yang kau perlukan untuk menjadi besar. Kau punya semua yang kau butuhkan bukan hanya untuk menjalani hidup tapi juga untuk menciptakan hidup yang kau inginkan. Maka tak perlu khawatir, keluarlah dan tantanglah matahari.

Aku tahu memang itu tidak mudah. Hidup akan selalu menyajikan sakit, sedih, malu dan takut sebagai penghalang. Bahkan memalingkanmu dari apa yang sejatinya berhak kau miliki. Kemudian kau mulai menyalahkan hidup. Dan akhirnya kau terpaksa mengalah. Lihatlah aku. Aku tak pernah bisa memilih tanah tempat aku tumbuh. Aku tidak bisa pindah betapapun aku ingin. Aku tidak bisa berlari ketika hujan lebat dan angin besar ingin merubuhkanku. Aku tak bisa memukul ketika anak-anak nakal mengencingi pokokku atau melukai kulit-kulitku. Menyalahkan tidak memberikanku apapun. Menyerah apalagi. Maka aku memutuskan untuk teguh, tidak mengeluh dan tetap tumbuh.

Maka teguhlah. Sekali lagi kau punya segalanya untuk tumbuh. Jangan salahkan apa yang hidup berikan untukmu. Yakinlah bahwa apa yang kau dapat dari hidup adalah baik untukmu. Sebagaimana aku bertambah besar dan kuat setiap kali badai gagal merobohkanku, sakit dan sedih akan menjadikanmu kuat dan tangguh menghadapi apapun yang merintangimu. Sebagaimana aku menolak mati dan tetap bertambah besar sampai mereka yang mengencingi dan melukai batangku menjadi bosan, malu dan takut akan pergi dengan sendirinya ketika kau memilih untuk tidak berpaling. Jangan berhenti ayunkan langkah, tetaplah berjalan, walau perlahan, pada akhirnya kau akan sampai juga.

Dan setelah itu semua, segalanya akan menjadi indah. Lihatlah betapa rimbun daun-daunku menarik orang untuk beristirahat dibawahnya. Lihatlah betapa kuat dahan-dahanku menjadi tempat anak-anak bermain bergelantungan. Tawa mereka membuatku tidak kesepian. Lihat betapa manis buah-buah ku memberikan kesegaran bagi mereka yang memakannya. Andai aku menyerah, mungkin aku tidak akan pernah merasakan keindahan berbagi. Dan kau tahu, bahwa semua yang telah kau korbankan hanya menjadi indah ketika apa yang didapat dapat kau bagikan. Hidup ini terlalu besar untuk kau nikmati sendiri. Maka setelah kau meraih hidup yang kau mau, isilah makna hidupmu itu dengan wajah orang lain. Saat iu, sempurnalah takdir Tuhan atas dirimu.

Nah, sebelum kau beranjak, ingatlah pesanku ini. Kau mungkin sekarang hanya sebuah biji kecil, tetapi kau istimewa. Jangan kau sia-siakan apa yang sudah Tuhan siapkan untukmu. Takdirmu bukan sekedar menjadi pohon biasa, tapi pohon yang luar biasa. Tuhan yang Maha Luar Biasa tidak mungkin menciptakan sesuatu yang biasa-biasa saja. Maka jadilah luar biasa dengan melakukan hal yang luar biasa.

Bunga kecilku



Ujung timur tebet, 17 Desember 2019

Bunga kecilku,

Tersenyumlah padaku. Biar terlihat dua gigi besarmu. Lucu

Kabarkan padaku. Tentang dirimu yang mulai tumbuh. Ayu

Nyanyikan lagu. Senandung riang jauh dari merdu. Selalu

Binar matamu. Lentera terang dalam kelam sesat . Hidup

Tulislah cerita. Berkisah tentang karya dan cita. Bisa

Segera berlari. Jangan biarkan mimpi meninggalkanmu. Mati

Bunga kecilku,

Jangan berhenti mengayun langkah, walau dunia hadapkan berbongkah halang.

Jangan lelah bangkit berdiri, walau dunia memukul dan jatuhkanmu berkali-kali.

Jangan hilangkan tawa gembira, walau dunia memaksa tangis lewat luka.

Jangan pernah merasa takut, walau dunia memerangkap dalam gelap dan senyap.

Jangan pernah khianati mimpi, walau dunia tertawa, mencela dan mencaci

Bunga kecilku,
Tetaplah tersenyum



Hai

Ujung timur tebet, 15 Desember 2019

Hai,
Apa kabarmu hari ini
Masih sudikah kau kutemui
Mendengar bibirku menari
Berceloteh soal yang itu-itu lagi
Segala yang aku pikir aku pahami
Hanya di hadapanmu aku percaya diri
Denganmu aku berani bermimpi
Terbang jauh lagi tinggi

Hai,
Apa kabarmu hari ini
Adakah hatimu sempat tersakiti
Dengan apa-apa yang terbilang
Marah tersembunyi di belakang
Dibalik kata-kata didendang
Hanya di hadapanmu aku berani berucap lantang
Tanpa malu yang mengekang
Jumawa serasa pemenang

Hai,
Apa kabarmu hari ini
Mungkinkah maaf akan kau beri
Setelah muslihatku terlihat kasat
Masih pantaskah aku mendapat hormat
Atau cap bangsat kini kuat melekat
Hingga doa berganti umpat
Sungguh tak ada maksud untuk khianat
Apalagi menjadi keparat

Hai,
Apa kabarku hari ini
Masihkah merasa tinggi
Atau tak sanggup lagi berdiri
Masihkah mengumbar kata
Atau kini bisu tak dapat bicara
Masihkah dapat tertawa gembira
Atau menangis terhimpit dosa

Hai,
Apa kabarku hari ini
Izinkan aku untuk menyapa:
"Sampai jumpa"



Tetaplah terluka


Ujung timur tebet, 10 Desember 2019

Kawan,
Aku tak sedang ingin menghiburmu. Atau menasihatimu dengan kalimat bijak tentang bagaimana memaknai kekalahan. Bahkan aku tak ingin kau mendengar mulut-mulut manis yang merayumu untuk percaya bahwa kau telah berjuang dan hanya kurang beruntung. Bahwa kau masih muda, masih punya banyak kesempatan. Bahwa kau tak perlu bersedih karena kau tetap membanggakan. Bahwa itu hanya sekeping emas. Jangan percaya!

Kawan,
Kau telah berjuang adalah fakta begitu juga bahwa kau telah kalah telak dalam peperanganmu. Kekalahanmu bukan karena kurang beruntung tetapi karena kurang angka dibanding lawanmu. Kau memang masih muda tapi umur siapa yang tahu. Apakah kesempatan masih sempat menemuimu. Bersedihlah sebagai tanda kau punya malu, sebagaimana samurai yang kehilangan hormat karena kekalahan. Dan bukan sekedar sekeping emas yang gagal kau peroleh, tapi sekeping kehormatan.

Kawan,
Biar ku tambah lukamu dengan kata-kataku tadi. Karena aku ingin kau tetap tersakiti. Karena aku tak ingin kau sembuh. Aku ingin lukamu tetap menganga. Agar perihnya membuatmu tetap terjaga, membuatmu berlari lebih cepat, menendang lebih keras. Biarlah dendam terpelihara, menjadi kesumat menunggu pelampiasan pada setiap kesempatan. Biarlah sakitmu semakin akut hingga kehormatan menjadi satu-satunya obat penyembuh. Biarkan sakit, perih, sedih menghilangkan seluruh nafsu kecuali syahwat menjadi pemenang.

Kawan,
Aku bukan tak ingin kau bangkit hanya ingin kau tetap sakit.

Kotak

Ujung timur tebet, 26 November 2019

Di dalam kotak
Berdetak
Menghentak mencoba menyeruak
Terdepak tergeletak
Diam tak bergerak
Gelap pengap
Disekap terperangkap oleh senyap
Tergagap berharap
Isak dalam ratap
Asing terasing
Dikeliling dingin dinding-dinding
Halangi bising erat menutup kuping
Ingin berpaling mencari hening
Namun kosong tak henti berdenting
Resah
Gelisah
Karena entah
Mengejawantah dalam sumpah serapah
Begitu lelah
Segeralah
Keluarlah
Jangan mati jadi bedebah

Gelisah kapal tua

Ujung timur tebet, 19 November 2019

Kapal tua terengah
Angin bertiup membalik arah
Tapi tak sudi ia menyerah
Walau mesin ringkihnya terdengar lelah
Cahaya sinar mercusuar tampak samar
Di sela tirai kabut pekat
Penanda bahwa dermaga kian dekat
Menuntun kapal tua kembali dengan selamat
Entah untuk kali yang keberapa
Harusnya tak ada yang istimewa
Biasa saja
Terbiasa
Tapi akhir-akhir ini, pikir kapal tua
Laut tak terasa sama
Pasang dan surutnya
Karang dan ikan-ikannya
Angin dan sepinya
Pantai dan rindunya
Biru dan sendunya
Apakah laut mulai berubah dan kehilangan tuah
Atau dirinya yang kini terlalu lelah
Tua dan gelisah
Mulai usang
Gamang
Saat beranjak bertolak mengangkat jangkar
Bertumpuk keluh
Saat kembali berlabuh melempar sauh
Lara
Ketika malam penuh bintang dan sinar bulan begitu perkasa,
Takut
Ketika malam gelap gulita nyaris tanpa cahaya
Mungkin ia sudah terlalu lelah
Tua dan gelisah
Atau laut sudah berubah
Dan akhirnya ia harus mengalah

Dunia pukul empat

Ujung timur tebet, 6 November 2019

Tepat pukul empat
Aku mengayun langkah lambat-lambat
Di antara cerita hidup yang bergerak cepat
Meja-meja dan asbak bulat
Gelap ruang remang di seberang
Berhembus pekat menyesap nikmat
Derai tawa menyeling cerita
Entah tentang apa
Gembira, luka, tidak ada beda
Melebur dalam suka dan cita
Tersaji dalam botol kaca
Mereka ulang cerita
Yang tertulis sebelum senja
Khayal seolah nyata
Pada dunia pukul empat
Wanita-wanita
Berkaki jenjang, bermata sayu,
Ayu tanpa gincu
Memikat, merayu
Ruang-ruang kaca
Nyala kilau bercahaya
Memenjara
Menjaja bahagia
Kuayun langkah lebih cepat
Meninggalkan dunia pukul empat
Sebab musabab dunia begitu memikat
Dimana aku tak memiliki minat
Atau memang tak memperoleh tempat

Ujian Pujian


Ujung timur tebet, 3 November 2019

Jika sempat puja-puji manusia menghampiri
Jangan menghindar pergi
Genggamlah dengan jemari
Tapi,
Jangan simpan dalam lemari hati
Biar tidak sedih saat berlalu pergi

Jika sempat puja-puji manusia datang
Sambutlah dengan hati riang
Bibir senyum mengembang
Senang
Tapi ikatlah hatimu kencang-kencang
Biar tidak sempat ia terbang

Jika sempat puja-puji manusia menimpa
Bolehlah bernafas lega
Mengganti lelah atas keras usaha
tak sia-sia
Tapi dahului dengan syukur padaNya
Biar tidak singgah rasa jumawa

Dan jika sempat manusia menghadiahi puja-puji
Terimalah dengan wajah berseri
Jangan simpan sendiri
Lekaslah berbagi
Dengan mereka yang mengihklas diri mengangkatmu tinggi-tinggi

Kepada mereka,
Aku berhutang puja-puji
Kepada mereka,
Aku berhutang budi
Kepada mereka,
Aku memberi hormat
Kepada mereka,
Aku mendaras doa bermunajat
Semoga Tuhan dan malaikat
Menyebut namamu di dalam jannaat





Bicara bahasa cinta

Ujung timur tebet, 27 Oktober 2019

Kenapa harus bicara bahasa berbeda
Mengeja kata yang janggal dalam rasa
Pada tiap kalimat melompat asing dalam minda
Sedang kita
Bisa bercakap akrab
Dengan bahasa yang sama
Bahasa cinta
Ataukah kita tak kenal lagi cinta
Atau mengenal cinta yang tak sama
Tapi bukankah cinta bersemayam dalam nurani
Sedang nurani adalah suci
Azazi
Hakiki
Sejati
Ah, rupanya syahwat, nafsu dan ambisi
Berkomplot membunuh nurani
Menikam dengan kejam
Berkali-kali, lagi dan lagi
Menguburnya di palung hati paling dalam
Dan akhirnya
Kita terlalu kelu mengucap cinta
Lebih fasih melafal angkara
Pantaslah kita tak pernah bisa bicara
Walau pernah bersumpah berbahasa sama

Berbeda-beda tetap beda

Ujung timur tebet, 17 Oktober 2019

Sepertinya
Sukar betul buat kau memahami aku
Kiranya memang kau tak bisa pasti
Bagaimana mungkin akan mampu
Kau tak pernah berdiri disini
Di atas kakiku,
berjalan dengannya,
Memandang dengan mataku,
Mendengar dengan telingaku.

Begitu pula aku
Kakiku terlalu besar untuk berjalan dengan sepatumu
Mata rabunku tak mampu memandang jauh sebagaimanamu
Telingaku tak berselera mendengar lagu kesukaanmu
Lalu
Bagaimana aku akan memahamimu

Katanya kita
Punya bahasa yang sama
Tumpah dari tanah dan air yang sama
Merapal mantra yang sama
Bahwa kita berbeda tapi satu jua
Tapi ternyata kita
Masih saja sulit berbicara tanpa melibat cerca
Tak rela berbagi tanah dan air dengan jumlah yang setara
Menyimpan ragu kalau aku, kamu, bisa menjadi satu

Di meja kopi
Kita bicara toleransi
Berdiskusi
Berbeda pendapat
Bersepakat saling menghormati
Tangan kanan berjabat erat
Di belakang punggung tangan kiri menggenggam belati
Kuat menggigit jari
Menahan sakit di hati
Karena kita masih punya nafsu saling mengangkangi
Maka setelah kopi
Kita akan bertarung lagi
Sembunyi-sembunyi

Sepertinya
Kita memang akan terus berkelahi

Menulis takut

Ujung timur tebet, 7 Oktober 2019

Gemetar tangan mencengkeram pena
Dalam hening yang berisik
dari gelisah yang menggelegak
Berontak,
menanti untuk meledak
Menyeruak saat ujung pena mulai bergerak
Membuat jejak dari emosi yang berserak
Di atas secarik kertas yang terkoyak

Huruf-huruf kecil berdempet berbaris berderap
Kata-kata berdegap
Mengungkap rasa yang terperangkap
Dalam jiwa yang pengap
Dalam hati yang gagap mengucap harap

Tapi kini gelap siap tersingkap
Ketika semua akan terungkap
Lengkap

Melalui bait-bait sajak pengakuan
Soal semua ketakutan-ketakutan
Atas sepi dan kesendirian,
ramai dan keterasingan,
sakit dan kematian,
hidup dan kesia-siaan,
awal dan penderitaan,
akhir dan kegagalan,

Pada matahari, bulan dan awan,
gunung, laut dan hutan,
jin, setan dan preman,
Pada dia dan kekalahan,
Pada kau dan kehilangan,
Pada semua yang tiada terkatakan

Dan saat semua telah tertumpahkan
Saat pena telah diletakkan
Aku si penakut akan
Tersenyum penuh kebanggaan

Jari Menari

Ujung timur tebet, 30 September 2019

Jarinya menari tanpa henti
Kecuali sekejap jeda pada koma
Diiring senandung riang dua tanda tanya
Gemulai marangkai kata
Cepat
Lincah Melompat di antara kalimat
Perlahan
Barhati-hati meniti tiap spasi
Tegas keras
Memburu di setiap tanda seru
Koreografi merangsang imajinasi
Menjadi samar fakta dalam ilusi
Naratif, desktiptif, fiktif
Juga mungkin manipulatif
Kadang liar lagi vulgar
Aku yang menonton menjadi pengamat
hanyut dalam nikmat
Dari babak ke babak
Episode ke episode
Panggung ke panggung
Bertepuk dan bersorak
Mulut terbuka menganga
Kagum dalam tanya
Tak disangka
Kenapa semua tiba-tiba
Jadi pandai menari


Semangat Pagi



Ujung timur tebet, 25 September 2019

Bangunlah
Tak perlu marah
Bersegeralah
Singkirkan selimut yang menutup badan
Dan biarkan
angin pagi membawa dingin menusuk tulang,
mendudukkanmu di tepi ranjang
Lawanlah kantuk di kelopak mata
Dengan kepal tangan meninju angkasa
Biar sejuk embun membasuh muka
Mengusir malas tak bersisa
Menumbuh semangat menggapai cita

Berangkatlah ke sekolah
Kutunggu disini sore nanti
Bercerita tentang angka, warna dan gembira
Hormati gurumu selalu
Dengan berbuat salah,
Karena ilmu datang setelah salah
Dengan tanya,
Karena tahu hadir setelah tanya
Dengan tetap merasa bodoh,
Karena belajar ada ketika bodoh

Sayangi temanmu
Lebih dahulu,
Sebelum mengharapnya untukmu
Ringan ulurkan tangan
Jabat erat hangat
Memilih tanpa pilih kasih
Siapa pantas jadi kawan
Tak usah khawatir sendirian
Tetap tegak berpendirian
Jangan hirau caci bibir mencibir
Juga cerca dan makian
Jadilah selalu murid budiman


Catatan hati sepasang kaki

Ujung timur tebet, 19 September 2019

Pagi ini
Bangun manduhului mentari
Ada bara menyala
Pada dada yang lama sempit sesak
Kini mendesak berteriak
Suara tak bersuara tak mungkin dielak
Di depan gerbang terhenti
Bertanya kaki
Mau kemana kini
Melangkahlah sesuka hati

Tak ada yang akan menahan berlari
Tidak menit tidak pula hari
Tidak juga kereta api
Yang melewatkanku berkali-kali
Akan ku kejar dia nanti
Pikirku diatas bis reot sepi penghuni
Yang kubayar sesuka hati

Berhenti menepi pada jantung kota
Bersama jutaan manusia
Mengalir dan mengular di atas trotoar
Terburu-buru, tetapi tidak aku
Kunikmati secara perlahan
Semua yang kota sajikan
Salak klakson dan cacian bersahutan
Asap knalpot yang memuakkan
Aroma wangi yang memabukkan
Menyeruak dari jasad para pengabdi
Kuhirup sesuka hati

Matahari beranjak tinggi
Angkuh di pucuk dunia
Tak kuasa ku menentangnya kini
Parau suara muadzin tua
Terdengar samar menerus pesan dari yang maha akbar
Memanggil hati yang renjana
Dari mushola kecil yang jauh dari megah,
meringkuk di bawah kaki gedung-gedung yang menjulang gagah
Lantai yang pecah, karpet lusuh dan basah
Jendela, pintu yang tak lagi utuh dan tiang-tiang lelah penyangga atap yang mulai goyah
Terasa indah dalam khusyuknya doa dan ibadah
Ku adukan semua keluh, kesah dan resah
Ku biarkan air mata tertumpah
Menangis sesuka hati

Malam telah menjelang
Saatnya kembali pulang
Kota tertinggal di belakang
Biarlah, karena ia akan tetap disana saat esok datang menyapa
Selalu sama
Begitulah sedari lama
Tidak ada yang berbeda
Dan tak akan pernah berbeda
Tetapi rasa
Tidak akan pernah lagi sama
Semenjak hati merebut takhta
Menyalakan bara dalam dada
Sesuka hati ia berkuasa

Dunia anak



Ujung timur tebet, 15 September 2019

Kalau dunia hanya gurauan dan permainan, maka tidak perlu terlalu serius dipikirkan.
Jalani saja dengan canda riang dan hati lapang.
Seperti anak-anak, kekanakan
Berlarian berkejaran
Bersorak diguyur hujan
Tidak sedih dengan kekalahan
Menjadikan tawa lepas sebagai kemenangan
Berkelahi, berebutan
Menangis karena kehilangan
Kembali gembira seolah semua terlupakan
Menari menembang nyanyian
Anggap hidup adalah suatu perayaan
Tidak ada yang dijadikan beban
Memanjat, melompat
Mengayun bergelantung
Terjatuh mengaduh
Sekejap kembali lagi mendaki
Kini lebih tinggi
Menggambar menumpah warna
Seenaknya suka-suka
Sembarang dimana saja

Ah, hidup jadi begitu sederhana
Tapi sayang kita terpaksa dewasa

Marah malu melulu

Ujung timur tebet, 12 September 2019

Rasa itu
Marah dan malu
Selalu begitu
Seperti benalu
Menghabisi keberadaanku
Menyisa sendu

Marah pada siapa? Atau apa?
Malu karena apa? Atau siapa?

Pada dia yang membiarkanku berjalan
Namun melarangku menentukan tujuan
Pada dia yang mengajarkan bahasa
Namun tak mengizinkan bicara
Pada dia yang melatihku menggerakkan kaki
Namun menahanku berdiri dan berlari
Pada dia yang ingin selalu kutinggalkan
Tetapi tiap kali kembali kepadanya sambil sesengukan

Pada diri yang terus menyalahkan atas setiap kalah
Pada diri yang tak mampu melangkah
Tanpa bayang-bayang lekat di belakang
Pada diri yang pantas memikul beban
Tapi tak bernyali tampil ke depan
Pada diri yang bersembunyi
Mengharap dikasihani

Karena ketidakberdayaan
Karena ketidakmampuan
Karena matinya kehendak untuk melawan
Karena ketakutan tanpa alasan
Karena air mata yang tertahan
Karena sulitnya melupakan
Dan memaafkan
Karena marah mencekik kerongkongan

Rasa itu
Marah dan malu
Kenapa kau biarkan begitu
Menjadi benalu
Menghabisi dirimu
Menyisakan sendu

Mimpi



Ujung timur tebet, 10 September 2019

Sebait mantra
Terlantun dalam gumam
Mata terpejam
Mengucap salam
Jabat erat peri malam
Di ambang gerbang keraguan
Antara angan dan kenyataan
Melepas kuasa atas kesadaran
Menyerahkan diri pada kelam
Raga teronggok tanpa jiwa
Memberi jeda pada daya
Memberi lupa pada ingatan
Melepas belenggu pada perasaan
Mematikan kefanaan
Menghidupkan khayalan
Segalanya lebih indah disini
Di alam khayali
Penuh fantasi
Menikmati ekstasi
Kadang berakhir dengan sensasi
Di antara dua pangkal kaki
Sesaat sebelum tiba peri pagi
Menuntun jiwa kembali
Menghidupi mimpi
Pada dunia yang tak sepenuhnya ia ingini

Garuda dan kucing tetangga

Ujung timur tebet, 6 September 2019

Pagi benar ia sudah terjaga
Bergegas mencuci muka
Sekenanya
Kemudian berangkat kerja
Tidak ingin ia datang terlambat
Bisa-bisa gajinya kena sunat
Hidupnya sudah melarat
Tak mau jadi sekarat
Istrinya pasti akan kecewa
Kalau kurang uang yang diterima
Bagaimana bayar cicilan
Bisa tambah beban pikiran
Demi kesejahteraan
Ia menyeberang lautan
Tinggalkan tanah kelahiran

Hampir saja ia terlambat
Tetapi tetap saja kena damprat
Maki-maki si mandor keparat
Makanannya setiap saat
Hatinya dipaksanya untuk kuat
Walaupun ingin juga mulut menghujat
Tapi apalah kuasa dia
Ia hanya pekerja di tanah orang
Sudah sepatutnya menjadi hina
Bukan dia yang memiliki uang
Masih patutkah punya rasa bangga
Masihkah layak dagu mendongak
Pikirnya
Dadanya sesak

Sambil menumpuk bata
Dia teringat cerita kakeknya
Tentang kemahsyuran negerinya
Pada zaman dulu kala
Tentang kekuasaan raja-rajanya
Yang melintas sampai tanah dibawah kakinya
Tentang orang-orang cendikia alim ulama
Kepada mereka ramai manusia datang mencari ilmu
Termasuk nenek moyang si mandor dan tuannya itu
Tentang kekayaan alam melimpah
Diburu ribuan kapal dagang dari cina sampai eropa
Yang tak dipunya negeri tempat ia kini mencari nafkah
Semua tampak seperti khayal belaka
Kalaulah bukan kakek yang bercerita
Tentulah ia tak akan percaya

Rasanya tak pantas ia merasa hina
Ingin rasanya berdiri tegak
Dan berteriak
Tentang cerita kakek
Soal negeri besar tempat dia berasal
Tapi pasti si mandor akan terpingkal
Menganggapnya hanya berkhayal
Karena tak pernah masuk di akal
Penumpuk bata?
Dari negeri kaya?
Pastilah dusta
Jadilah ia menyerah pasrah
Tertunduk rendah

Seumur hidup sudah ia jadi pecundang
Ingin sekali menjadi pemenang
Menjadi raja
Walau sehari saja
Melangkah gagah
Dengan senyum menghias wajah
Membungkam mulut kotor si mandor tua
Dengan kepal tangan juara
Membalas semua maki yang pernah diterima
Dengan liputan dalam berita
Bukan khayal tapi fakta
Tentang perkasanya sang garuda
Dalam benteng penuh gelora
Mencengkeram kucing tetangga
Membawanya ke angkasa
Menghempaskannya seketika
Mengusirnya dengan malu tak terkira
Garuda
Satu-satunya kebanggaan dirinya
Peninggalan masa lalu yang tersisa

Tapi apa mau dikata
Benteng sudah kehilangan tuah
Sang garuda beranjak tua
Tak dapat lagi terbang tinggi
Dan kucing tetangga
Tumbuh menjadi harimau buas
Menerkam dengan ganas
Koyaklah garuda diujung taringnya
Hilang sudah kebanggaannya
Tak ada lagi yang tersisa
Semakin sesak dadanya
Semakin sakit hatinya







Rumput Tetangga

Ujung timur tebet, 5 September 2019

Akui saja kalau kecewa
Tak perlu berlagak bijaksana
Memang begitu sepantasnya
Karena harapan yang terlanjur mengangkasa
Jauh sebelum sepakan pertama
Namun jatuh menghujam bumi
Sesaat pluit wasit nyaring berbunyi
Ini bukan sekedar menang dan kalah
Ini soal marwah
Perasaan besar yang pernah ada
Kalaulah itu memang nyata
Mana pernah bisa berlapang dada
Ternyata rumput lebih hijau di halaman tetangga


Kenapa kumpul?

Ujung timur tebet, 4 September 2019

Sudah jadi tabiat manusia untuk tidak bisa hidup sendiri walaupun kadang ingin menyendiri. Karena kita tak tahan untuk tidak berkomunikasi. Karena kita tidak betah memendam perasaan dalam hati. Karena butuh tempat untuk menumpahkan emosi. Karena butuh bantuan untuk tegak berdiri. Karena perlu dorongan, pijakan dan tuntunan untuk menggapai citanya yang tinggi.

Karena itulah manusia berkumpul. Dan atas dasar itulah kita semua bisa berkumpul. Mengumpulkan kita yang berserak. Mengikat yang bercerai. Mencampur yang berbeda. Menghapus rikuh dan canggung diantara kita. Sehingga semua menjadi terbuka. Jujur bertukar kata. Menanggung rasa yang sama. Sakit maupun gembira. Nyaman ketika bersama. Rindu saat berpisah. Bersama melangkah searah. Laksana tubuh yang wihdah menjadi quwwah karena mahabbah.

Kadang kita tidak bisa memilih. Atau tidak berani untuk memilih. Kepada apa kita akan mengikat diri. Dengan apa kita terasosiasi. Tuntutan profesi. Status sosial dan rekognisi. Tren dan gaya hidup masa kini. Membuat kita merubah diri agar diterima diantara mereka yang sebenarnya tidak kita sukai. Berpura-pura sambil menahan perih menyiksa diri. Memoles wajah yang tak asli. Mengucap kata yang berbeda dari isi hati. Terbahak pada lelucon tidak lucu. Menahan tawa ketika menangis tersedu. Terbawa arus ke hilir tanpa pernah mau meninggalkan hulu.

Kita terlalu malu untuk membusungkan dada sambil lantang berteriak aku. Terus menerus bermain laku sampai tidak lagi mengenali aku. Terpaksa mengingkari diri demi eksistensi. Aku dipaksa untuk sembunyi. Apa yang mereka pikir itu yang kita peduli. Tentu ada norma yang harus diikuti. Sebagai konsekuensi atas pilihan tempat kita berdiri. Tidak ada dosa merubah diri asalkan tidak menipu diri.

Tapi kita sesungguhnya selalu bisa memilih. Dimana akan kita labuhkan kapal diri ini. Dimana kita akan sandarkan punggung letih ini. Dan tempat yang baik bagi itu semua adalah tempat yang bisa menerima kita sebagaimana kita. Tempat yang bisa memahami kekurangan kita dan sabar melengkapinya. Tempat yang tepat untuh kita tumbuh, berkembang dan berbunga. Tempat yang nyaman untuk beristirahat dan mengisi tenaga untuk melanjutkan perjalanan. Tempat yang kita selalu ingin kembali kepadanya sejauh apapun kita telah meninggalkannya.

Yakinlah bahwa tempat itu benar-benar ada. Kita hanya perlu mencarinya dengan jujur dan sabar. Dan jika kau belum menemukan tempat itu, biarkan aku berusaha menjadinya untuk mu.

Jawab kenapa

Ujung timur tebet, 29 Agustus 2019

Baiklah. Mungkin aku harus mulai bertanya kenapa dan memikirkan jawabannya. Menyediakan waktu untuk merenunginya dengan sungguh-sungguh. Mengarahkan perhatian untuk serius mencari jawaban dan kesimpulan.

Untuk hal seserius dan sesulit ini sebaiknya pertanyaan yang diajukan juga harus serius dan penting. Tidak sekedar soal kenapa kita belajar fisika, kimia, biologi, matematika integral dan diferensial. Tapi sesuatu yang lebih substansial.

Kenapa ada aku di dunia? Kenapa aku harus ada? Kanapa aku dilahirkan?

Itulah pertanyaan kenapa yang harus dijawab. Pangkal dari semua pertanyaan. Inilah maha pertanyaan yang membutuhkan maha jawaban. Setelahnya sepertinya tidak terlalu penting. Setelahnya pastilah hanya turunannya dan atau haruslah berkaitan dengannya.

Takdir Tuhan. Mungkin aku bisa menjawabnya demikian. Tapi sepertinya itu terlalu mudah untuk menjadi maha jawaban. Kalau lah itu sang maha jawaban, maka akan sangat mubazir Tuhan menciptakan otak yang begitu kompleks dengan berbagai fungsi emosi, imajinasi dan kognisi. Maka mari gunakan otak pemberian Tuhan untuk memikirkan jawabannya.

Pertanyaan ini memang sulit dijawab. Apalagi aku tidak punya peran dalam proses kelahiran. Bahkan peran bapak dan ibuku hanya sebatas menjadi penyebab munculnya kemungkinan kelahiranku pada saat memuaskan birahi. Tapi aku punya peran besar dalam menentukan akhir dari hidupku. Karena aku pemegang pena atas cerita hidupku. Maka dengan berhusnudzon bahwa akhir hidup adalah sama dengan alasan kita diciptakan, maka menjawab pertanyaan siapa aku diakhir hidup atau bagaimana aku akan mengakhiri hidup sama dengan mendapatkan maha jawaban dari maha pertanyaan di atas tadi. Dan tentu pertanyaan siapa dan bagaimana lebih mudah dijawab oleh aku yang lebih terbiasa untuk berpikir deskriptif dan naratif.

Siapa aku di akhir hidupku? Bagaimana aku di akhir hidupku?

Dibawah inilah jawabnya.

Aku ingin mengakhiri hidup sebagai orang yang memiliki arti bagi banyak orang. Memiliki arti karena manfaat yang kuberikan, karena ilmu yang kuberikan, karena kebaikan yang kuberikan. Sekedar menjadi pijakan kecil bagi orang lain untuk mencapai cita-citanya. Sekedar menjadi canda ringan bagi orang lain untuk tertawa bahagia. Sekedar menjadi modal receh bagi orang lain untuk meningkatkan kesejahteraannya. Aku ingin menjadi sebab kecil dari kebahagiaan orang lain.

Aku ingin mengakhiri hidup dengan senyum diantara kesedihan ribuan orang yang akan merindukanku. Rindu akan arti yang pernah kuberikan kepada mereka. Biarkan itu menjadi nisan dari kuburku.

Maha jawaban. Di titik ini, sepertinya harus kuyakini itu sebagai maha jawaban. Maha alasan atas keberadaanku. Oleh karenanya ia akan menjadi fundamen dan ukuran dari tiap tindakan yang aku lakukan. Bertentangan dengannya berarti pengkhianatan atas tujuan Tuhan menciptakanku. Apapun itu.





Tanya kenapa??


Ujung timur tebet, 28 Agustus 2019

Kenapa. Kenapa selalu sulit menjawab pertanyaan berawal dengan kata tanya kenapa. Apakah karena kita tidak biasa berpikir argumentatif dan eksploratif dan lebih terbiasa untuk deskriptif dan naratif. Mungkin karena kita jarang diajari tentang sebab dan lebih sering melompat pada akibat. Atau karena kenapa adalah kata yang disiapkan khusus untuk filosof sementara otak kita hanya cukup mengenal kata apa, siapa, bagaimana, dimana dan kapan.

Padahal kenapa yang akan memberi arti. Tapi dia yang paling sering kita lewati. Mungkin karena kita tak butuh arti. Karena kita lebih peduli presentasi daripada isi.

Padahal kenapa bertaut dengan kata hati. Tapi seringkali kita berlagak tuli. Atau mungkin hati begitu kotor sehingga tak mampu bicara lagi.

Padahal kenapa bertalian dengan niat yang menentukan kita akan kemana. Surga atau neraka. Mungkin surga atau neraka tidak semenarik dan semenakutkan dunia.

Ah, sulit sekali!

Sepertinya sedikit sekali aku menghabiskan waktu untuk berpikir, bertanya dan menjawab setiap kenapa dalam hidup. Namun kemudian akhirnya waktuku habis untuk sesuatu yang tak berguna dan baru tersadar untuk bertanya kenapa.

Kenapa habiskan 6 tahun belajar fisika dan biologi, 3 tahun belajar kimia saat sekolah kalau akhirnya jadi tukang ketik di kantor.

Kenapa habiskan waktu belajar matematika integral dan diferensial kalau akhirnya tambah dan kurang ternyata sudah cukup.

Kenapa habiskan waktu belajar sejarah menghafal nama, tahun, tempat bahkan nama latin manusia prasejarah yang sulit diucap kalau tak ada kebijaksanaan yang didapat.

Kenapa sekolah tinggi-tinggi ke luar negeri? Kenapa bangun pagi dan terburu-buru kerja tiap hari? Kenapa kawin dan beranak?

Jangan sampai yang terakhir itu juga termasuk waktu yang terbuang sia-sia.

Hari ini sepertinya aku harus mulai mengajukan pertanyaan kenapa dan menjawabnya. Tapi kenapa juga harus begitu? Karena itu penting. Kenapa itu penting? Karena ???

Ah, kenapa juga aku harus menulis tulisan ini sejak awal.

Kenapa???

Malam


Ujung timur tebet, 25 Agustus 2019

Tidurlah sayang
Malam telah datang
Jangan lupa gosok gigi
Cuci kaki dan juga hati
Agar nyenyak dan tenang

Ucapkan doa pada Tuhan
Atas bahagia hari ini
Semoga dia terbawa mimpi
Bangunlah esok pagi
Dengan wajah yang berseri

Tidurlah yang tenang
Hingga fajar menjelang
Tak perlu takut
Gelap malam tak pernah jahat
Peluklah ia bagai sahabat

Selimut malam
Selamat malam
Berikan kehangatan
Belai kelembutan
Nikmati kesepian
Dalam lelap kesendirian




Gendut, tua dan jelek


Ujung timur tebet, 21 Agustus 2019

Aku jelek ya?
Katamu berulang
Aku mengingat kapan kau terlihat tidak cantik

Aku gendut ya?
Katamu lagi
Aku mengingat sejak kapan aku mulai terganggu dengan ukuran badan

Aku kelihatan tua ya?
Katamu kemudian
Aku mengingat kapan keriput di wajahmu mulai mengusikku

Aku gak menarik lagi ya?
Katamu kecewa
Aku mengingat kapan aku pernah memalingkan wajahku darimu

Ah, aku tak perlu menjawab pertanyaan itu
Karena aku tak ingat pernah memilihmu karena parasmu
Karena ukuran baju
Karena usia yang pasti bertambah
Karena ada tidaknya keriput di wajah
Atau karena lekuk tubuh yang indah

Tidak percaya ya
Masih perlu jawaban
Baiklah
Kamu memang gendut, tua, jelek dan tidak menarik
Tapi aku rasa aku memang orang aneh yang jatuh cinta dengan perempuan gendut, tua, jelek dan tidak menarik.

Dan sudilah kau juga mencintai laki-laki buncit, tua, jelek dan tidak menarik


Memotret waktu



Ujung timur tebet, 20 Agustus 2019

Waktu tidak pernah berhenti menunggu. Ia akan berjalan dan terus melaju. Tidak ada yang tahu kemana waktu akan menuju. Tetapi semua mengerti bahwa ia tidak akan berpaling kepada yang telah lalu.

Saat waktu begitu bergegas pergi, ia tinggalkan kenangan aneka rasa dalam hati dan membuat semua menjadi lebih berarti. Kadang ia menggores jejak pada bersenti dinding bangunan megah yang pernah tiada tanding. Kadang ia menulis cerita pada berjengkal tanah yang termaktub dalam berlembar catatan sejarah. Dan kita mengumpulkannya dalam album foto, rekaman video atau kisah pengantar tidur.

Kita memang begitu senang menghabiskan waktu untuk merekam apa yang waktu tinggalkan. Melawat ke berbagai penjuru dunia. Berdecak kagum atas kejayaan masa dahulu yang telah Tuhan pergilirkan di antara umat manusia. Namun sedikit sekali mengambil hikmah atas itu. Mendaki puncak-puncak dunia. Terpesona dengan fajar yang merona. Terpana dengan temaram senja. Namun sedikit berpikir tentang ayat-ayat Tuhan yang berserak pada keduanya.

Kita yang tercecer hari ini, saat waktu tak bersisa lagi, tidak pernah benar-benar menyadari dan menahami apa yang sedang terjadi. Namun kemudian menangisi semua yang terlewati. Kita tenggelam dalam kenangan atau sibuk membuat kenangan. Padahal kenangan pasti mengecewakan. Seindah apapun ia. Andai lebih lama, lebih cepat, lebih besar, lebih kecil, lebih banyak, lebih sedikit. Demikianlah kekecewaan selalu memayungi kenangan.

Demi waktu yang berjalan, kita dalam kerugian. Kecuali bagi mereka yang mempersiapkan diri untuk hari esok. Memang kita harus berhenti mencatat dan memotret kenangan dan mulai menulis dan menggambar masa depan.




Bapak bilang

Ujung timur tebet, 17 agustus 2019

Bapak pernah bilang
Negara ini negara besar
Bukan karena banyaknya gedung tinggi menjulang
Atau tumpahnya orang cerdik lagi pintar
Tapi karena kita pernah punya sebelas orang yang ditakuti di asia
Berbaju merah dengan burung garuda di bagian dada
Bagi bapak
besar negara ini tergantung dari lihainya kita mengolah bola
Bagi bapak
bola adalah harga diri
Kebanggaan dan kehormatan
Patriotisme dan nasionalisme
Kebahagiaan dan kesejahteraan
Bapak tak pernah putus harapan
Pada tiap pertandingan
Bahwa kita akan mengangkat piala kemenangan
Walau tiap kali tertimpa kekecewaan
Begitu cepat bapak memaafkan
Mungkin juga melupakan
Sedihnya kekalahan
Dan kembali bersorak dengan ikhlas mendukung tim kesayangan
Di usia yang tak lagi muda
Bapak cuma punya impian sederhana
Bukan melihat kita jadi juara dunia
Tapi sekedar tak lagi kalah dari negara tetangga



Lalu

Ujung timur tebet, 4 agustus 2019

Laluku tidak pernah benar-benar berlalu
Sesekali dia menghampiriku
Dalam wujud yang tak tentu
Dalam rasa malu
Dalam pilu

Laluku tidak pernah benar-benar pergi
Sepertinya dia tinggal disini
Menyatu dalam diriku hari ini
Dalam benak
Dalam tindak

Orang bilang biarkan ia berlalu
Tapi tak mau ia kusuruh pergi
Sudah kupaksa berbilang waktu
Tapi semakin keras ia berdiri

Orang bilang berdamailah dengannya
Aku bertanya bagaimanakah caranya
Pasrah menyerah kalah
Dan membiarkannya berkuasa

Ah, lalu
Bagaimana aku mengenalmu dulu
Andai kita tak pernah bertemu

Dan kini
Bisakah kau berdiri sendiri
Berjanji tak menjadi lalu esok hari


Janji

Ujung timur tebet, 2 agustus 2019

Selamat pagi bidadariku
Aku pergi dulu
Maafkan aku terburu-buru
Hanya sekejap memelukmu
Dan menciummu
Tak sempat menikmati roti dan susu buatanmu
Aku benar benar tak ada waktu
Karena tuanku sudah menunggu
Aku takut akan membuatnya menggerutu
Kemudian mengusirku
Kau tahu aku hanya seorang babu
Kehendakku tidak lagi laku
Bukan aku yang memilih begitu
Tapi sabarlah sayangku
Ini semua demi kamu

Selamat siang sayang
Ingin sekali rasanya pulang
Menemanimu makan siang
Berbincang santai di teras belakang
Makan es krim atau goreng pisang
Atau tidur hingga sore menjelang
Tapi aku masih harus menggigit kekang
Perintah tuanku masih terdengar lantang
Matanya masih tajam memandang
Tak berani aku menentang
Aku takut ia akan meradang
Kau tahu aku hanya kuda tunggang
Kehendakku sudah lama hilang
Kau tau aku hanya layang-layang
Tak pernah bebas terikat benang
Tapi sabarlah sayang
Sebentar lagi aku akan pulang

Selamat malam kekasih
Maafkan membuatmu bosan menanti
Sudah kucoba secepatnya berlari
Tetapi kakiku begitu ringkih
Tubuhku begitu letih
Memaksaku harus tertatih
Sungguh ingin memadu kasih
Bertukar cerita tentang hari ini
Tentang cita cita yang tak pernah kita raih
Membacakan dongeng tentang peri, putri dan para kurcaci
Mengantarkanmu tidur sambil bernyanyi
Membisikikan kata cinta dengan lirih
Bangunlah walau untuk semenit lagi
Biar dapat kupenuhi janji
Yang kuucap sejak pagi tadi
Agar bertambah yakin hati ini
Untukmulah semua perih

Selamat tidur sayang
Sampai ketemu saat fajar menjelang



Manusia

Ujung timur tebet, 29 jul 2019

Coba ingat bagaimana kau datang
Mulai dari pergumulan bak binatang
Cairan menjijikan yang terbuang
Hingga keluar dari lubang
Diantara kaki yang mengangkang

Bukankah Tuhanmu yang menjadikanmu sebaik-baik bentuk
Yang memuliakanmu diantara makhluk

Bukankah Tuhanmu yang mengajarkanmu nama-nama
Yang memberikanmu ilmu mengelola dunia

Bukankah Tuhanmu yang menyuburkan tanah dan memberimu rizki yang banyak
Yang dengannya kamu makan dan beranak pinak

Lantas kenapa merasa digdaya
Berjalan dengan jumawa
Karena tumpukan titipan harta?
Yang akan membawamu ke neraka?

Lantas kenapa merasa besar
Seolah-olah yang paling benar lagi pintar
Karena lembar ijazah tanda pernah menuntut ilmu?
Yang hanya setetes air di ujung kuku?

Lantas kenapa begitu angkuh
Kepala tengadah memberi dawuh
Karena status yang membalut tubuh?
Yang kelak kau sesali saat di mahsyar bermandi peluh

Saudara,
Kau dan aku berasal dari jenis yang sama
Siapa tahu yang lebih taqwa
Siapa lebih mulia
Siapa berhak mendapat surga

Sahabat,
kita mungkin hanya manusia bangsat
Tak layak mendapat hormat
Kita mungkin hanya manusia keparat
Pantas mendapat laknat

Bunga, Pohon, Daun, Matahari dan Angin



Ujung Timur Tebet, 25 Juli 2019

Lembah damar pagi ini. Aku terjaga diantara batang-batang besar pohon damar yang menjulang. Suara binatang malam yg penuh misteri berganti dengan kicau burung pagi yang membangkitkan kecerian. Lagu yang sama indahnya namun dengan genre yang berbeda. Daun dan tanah lembab dibasuh embun pagi. Angin pagi lembut berhembus membelai wajah. Kabut tebal beringsut pergi, seperti tirai panggung pertunjukan, bergeser terbuka mempertontonkan keindahan kreasi Sang Kuasa. Suasana tak lagi gelap, tapi sinar matahari belum lagi menyala. Syahdu. Misteri malam yang tersisa berpadu dengan harapan pagi yang mulai tumbuh. Hidup memang penuh tanda tanya, tetapi selalu tersedia jawaban di akhir babak. Dan pagi, adalah awal untuk mencari jawab.

Aku duduk di depan kemah. Sisa air wudhu  di wajah membuat belaian angin semakin terasa. MenghadapNya di masjid berkubah langit, bersajadah tanah dan bermihrab kaki gunung memberikan rasa yang berbeda dari biasanya. Andai rasa yang sama ada ketika biasanya aku menghadapNya, diwaktu yang harus dibagi dengan makan siang, terburu-buru karena jadwal rapat menanti, dengan pikiran yang bercabang, dengan hati dan jasad yang lelah menghadapi macet ibu kota. Lembah damar pagi ini menguatkan arti Maha Besar, Maha Suci dan Maha Agung dalam setiap dzikirku yang biasanya berhenti sampai di ujung lidah.

Bidadari-bidadariku masih terlelap diselimuti dingin pagi yang menyejukkan. Melihat wajah-wajah mungil itu membuat hati tenang. Istriku melipat mukena di sudut tenda. Wajahnya tak pernah terbalut kosmetik namun tetap terlihat cantik. Dan bertambah cantik pagi ini. Sepertinya alam dan wanita merupakan padanan yang tepat. Lembah damar pagi ini menyadarkanku bahwa harta yang paling berharga sudah ada di depan mata tak perlu lagi mati-matian dikejar. Tinggal mati-matian dipertahankan.

Aruni, si sulung, ia ingin menjadi bunga. Karena bunga disukai banyak orang katanya. Jadilah bunga, namun jadilah seperti bunga hutan atau gunung. Seperti edelweis. Dia indah namun tidak mengumbar keindahannya. Dia jauh di atas gunung. Perlu perjuangan dan komitmen untuk dapat menikmati keindahannya. Dia indah lagi terhormat. Jadilah engkau disukai banyak orang karena keindahan dan kehormatanmu.

Ghifara, si tengah, bilang ia ingin menjadi pohon. Karena pohon banyak yang menyayangi. Jadilah seperti pohon di hutan, nak. Besar, tinggi, kokoh dan penuh kasih sayang kepada manusia. Seperti damar yang menghasilkan getah, seperti jati yang menghasilkan kayu, seperti cantigi yang merelakan dirinya bagi pendaki berpegangan. Jadilah engkau disayangi karena kasih sayang yang engkau berikan pada orang lain, karena pengorbanan yang kau lakukan atas nama mereka yang membutuhkan.

Laras, bayi kecilku dulu. Dia ingin menjadi daun. Karena daun digendong pohon. Ia ingin digendong sama kakak pipa, panggilannya untuk ghifara anak ku yang kedua. Ia hanya ingin dimanjakan. Ah, kamu memang masih terlalu kecil nak. Mudah-mudahan kasih sayang kakak-kakakmu akan membantumu mendapatkan cita-citamu. Yakinlah bahwa dunia penuh kasih sayang, kau hanya perlu mencarinya pada tempat yang tepat.

Istriku. Ia ingin menjadi matahari yang memberi manfaat. Kamu memang matahari bagi kami, yang menghangatkan, menghidupkan, dan menerangi. Tak terbayang bagaimana kami hidup tanpa matahari kami. Bersinarlah terus, sayang!

Sedangkan aku. Aku ingin menjadi angin. Yang berhembus lembut memberikan ketenangan namun dapat juga menjadi topan yang menghancurkan. Aku ingin menjadi lembut agar selalu menjadi tempat kembali yang tenang bagi keluargaku. Menjadi seperti angin darat yang meniup perahu, mengantarkan anak-anak meraih cita-citanya. Sesekali juga menjadi topan dahsyat yang menghancurkan halang yang melintang di hadapannya.
Sungguh luar biasa pengaruh alam pada manusia.

Sepertinya anak kota sepertiku memang perlu sesekali menjauh dari kota. Memutus diri dari jaringan internet, melarikan diri dari grup wa, mengucilkan diri dari berita online, mengistirahatkan diri dari target, bonus, laporan, meeting dan aksesoris kehidupan urban lainnya. Alam mampu mengajarkan apa yang tidak diajarkan kota. Dan soal hidup, alam memang guru terbaik.

Lelaki, Sepi dan Kopi



Ujung Timur Tebet, 23 Juli 2019

Lelaki itu duduk sendiri
Menepi
Mengadu pada secangkir kopi

Tentang hari
Kemarin yang kerap kembali
Kini yang akan datang lagi esok hari

Tentang kebiasaannya onani
Di atas jamban penuh tai
Dengan nafsu yang tak utuh lagi

Tentang kerja
Yang memaksanya terjaga
Memecutnya berlari seperti kuda

Tentang kawan-kawannya
Bertukar tawa tanpa gembira
Berjual beli canda selepas senja

Tentang wanita-wanita
Yang wangi keringatnya tertinggal di meja kerja
Namun hilang seketika seperti tak pernah ada

Tentang semua-semua
Pengusik minda
Penyesak dada

Lama sudah ia bercerita
Mengaduk kopi dengan kata
Menyesap pahit ditiap jeda

Lama sudah ia mencari jawab
Atas tanya yang tak terungkap
Pada hitam kopi pekat lagi gelap

Kopi selalu saja diam
Selalu demikian
Tapi cuma itu yang diperlukan

Tidak perlu jawaban
Tidak juga komentar atas setiap ucapan
Hanya kehangatan yang memberikan ketenangan

Sisa kopi mulai dingin
Darah bercampur kafein
Gelisah terbawa angin

Lelaki itu beranjak pergi
Sepi
Tinggalkan luka di cangkir kopi

Namun esok ia akan kembali
Lagi, lagi
Dan lagi

Tebet-Bogor

Commuter Line, 6 Juli 2019

Tebet
Gerbong kereta berderet-deret
Manusia sesak berdempet
Cawang
Begitu cepat rindu datang
Seraut wajah jelas terbayang
Duren kalibata
Bukan ingin meninggalkan cinta
Karena hasrat ingin selalu bersama
Pasar minggu baru
Tunggu aku di ujung minggu
Di sebuah hari yang sendu
Pasar minggu
Waktu akan cepat berlalu
Sekejap mata tanpa kau tahu
Tanjung barat
Memendam rasa tentulah berat
Memacu jantung berdegup cepat
Lenteng agung
Biar kunyanyikan sebuah kidung
Agar cinta turut bersenandung
Universitas pancasila
Temani hati yg sedang lara
Sebab setelah lara ada gembira
Universitas indonesia
Setengah jalan sudah
Rindu makin bertambah-tambah
Pondok cina
Adakah kau merasa sama
Atau lupa mulai menyapa
Depok baru
Masihkah engkau akan menunggu
Di ujung waktu
Depok lama
Bersama cinta
Karena aku akan setia
Citayam
Lihatlah dalam dalam
Di tempat cinta bersemayam
Bojong gede
Di tempat segala rasa berparade
Menjadikan indah setiap episode
Cilebut
Akhir sudah terlihat menjemput
Kubisikkan salam perpisahan nan lembut
Bogor
Mungkin ada baiknya jeda sebentar
Basuh cinta yang sedikit kotor

Tua



Ujung Timur Tebet, 7 Juli 2019

Kemarin tak pernah terpikir menjadi tua
Pagi ini kulihat wajah yang mulai renta
Sinarnya tak lagi terang menyala
Binar matanya teramat lelah

Kemarin berdiri menantang usia
Pagi ini kulihat lemah tak berdaya
Tulang-tulang berderit tak berirama
Ototnya nyeri tak terkira

Kemarin gagah berwibawa
Pagi ini punggung tunduk terpaksa
Rambut hitam mulai kehilangan warna
Jemari menggenggam tanpa tenaga

Tak pernah kukira tua kan datang
Padahal belum usai bersenang-senang
Belum selesai lagi cerita kukarang
Belum usai lagu kudendang
Garis maut kini menjelang

Masih sempatkah aku menulis epilog
Sementara tersesat di tengah babak
Pada sebuah cerita tak bertema
Dengan tulisan tak terbaca

Sampaikah aku di akhir kalimat
Sementara tertatih di awal bait
Pada sebuah puisi tak berima
Dengan kata tak bermakna

Bukan tua yang membuatku takut
Bukan pula maut yang membuat nyali ciut
Tetapi menjadi tua tanpa pernah dewasa
Kemudian mati dan terlupa begitu saja

Tak cukup cerita untuk mengenang
Tak ada rupa untuk diingat
Hanya nisan yang akan hancur dikikis hujan
Setelahnya, benar-benar tak pernah dilahirkan