Sekali lagi soal isi!

Ujung Timur Tebet, 15 Agustus 2011 03.22WIB

Sampai hari ini aku masih saja tidak mengerti sebab musyabab mereka begitu perhatian dengan apa-apa yang ada di luar. Ribut riuh rendah, hiruk pikuk berbicara mengenai penampilan. Saut menyaut, sambar menyambar, timpal menimpal tentang apa yang menurut mereka adalah yang “seharusnya”. Tapi semakin nyaring bunyinya semakin tahu aku bahwa di dalam, dibalik kulit luar yang mereka peributkan itu, kosong tak berisi. Tapi siapa juga yang peduli dengan isi, toh standar penilaian dibuat bukan terhadap isi, tapi terhadap apa yang tampak tersaji.


Hidup adalah soal rangkaian peristiwa yang terkait satu dengan lainnya. Maka memandang persoalan hidup dalam rangka mencari pemecahannya adalah persoalan megurutkan keterkaitan-keterkaitan itu dengan seksama. Boleh jadi persoalan yang ada di muka adalah resultan dari persoalan yang ada nun jauh di belakang sana. Karena setiap sebab adalah akibat dari sebab yang lain, begitu kata seorang filusuf. Tapi aku secara sederhana ingin mengatakan bahwa yang sedang diributkan itu bukanlah soalan inti yang menjadi asal muasal permasalahan yang sedang diperdebatkan itu. Karena setiap yang terlihat itu belum tentulah yang menjadi inti persoalan. Tapi siapa peduli dengan yang tidak terlihat, toh standar penilaian bukan untuk yang tersirat tapi yang tersurat.


Kalau begitu apa juga peduliku? Aku memang tak ingin peduli. Apalagi sudah kubilang di awal bahwa aku tak mengerti. Lalu kenapa pula aku menjadi peduli? Karena mereka memaksaku terlibat dalam perdebatan itu. Begitu pun aku tak kuasa untuk tidak melibatkan diri. Tetapi mohon jangan salahkan aku - dan bukan bermaksud ingin menimpakan kesalahan pada Tuhan yang menciptakanku - aku hanyalah manusia makhluk sosial yang tak mungkin hidup menyendiri. Karenanya demi eksistensiku di tengah perikehidupan manusia ini dan demi memenuhi takdir sosialku, aku melibatkan diri jua pada perdebatan tak berisi itu, mengikatkan diri pada kesepakatan prematur karena tak sempurnanya memandang inti persoalan, dan membiarkan diriku mengikuti aturan-aturan konyol tak berdasar..


Tetapi sekali lagi jangan salahkan aku, Kawan. Aku hanyalah makhluk sosial yang lemah. Tapi yakinlah bahwa aku hanya menggadaikan pada mereka diriku yang bagian luar saja. Tetapi didalam diriku, di inti jiwaku, di saripati keberadaanku, aku tetap lebih menghormati substansi daripada presentasi, isi daripada kulit, hakikat daripada derivat. Maka biarlah di luar aku turut mengamini mereka tapi di dalam hatiku tetap mengingkarinya walaupun ini tentu selemah-lemahnya keyakinan.