MENELUSURI KELUHURAN PASAR DAN LEMBAGA KEUANGAN

Ujung timur tebet, 6 Oktober 2010, 01:35WIB


Peradaban manusia berubah dan berkembang mengikuti semakin rumitnya pola hubungan antar manusia. Kemampuan manusia untuk berpikir memungkinkan dirinya menciptakan inovasi sebagai solusi atas segala permasalahan yang ditemuinya di dalam hidup sehingga dapat berdamai dengannya. Kelebihan inilah yang mungkin menyebabkan manusia menjadi spesies paling tahan lama di atas bumi. Manusia mampu menyesuaikan diri dengan berbagai macam keadaan dan menjawab semua tantangan zaman.


Tak terkecuali pasar dan lembaga keuangan. Ia adalah hasil buah pikir manusia dalam menjawab tantangan kehidupan dalam hal ekonomi. Kompleksitas pasar, lembaga keuangan, dan segala instrumennya hari ini adalah sebuah jawab manusia atas tuntutan untuk memperoleh kesejahteraan ekonomi yang lebih baik untuk semua. Kalaupun dalam prakteknya boleh jadi, dan sudah terbukti, tidak demikian adalah suatu hal yang lain. Maka untuk meresapi semangat luhur dari inovasi di pasar dan lembaga keuangan, sangat bermanfaat untuk melihat fase-fase yang telah dilewati oleh pasar dan lembaga keuangan hingga hari ini.


Mari kita mulai dari titik nol, dimana manusia masih melakukan transaksi ekonomi secara sederhana. Bukan, bukan itu. Ini lebih maju daripada transaksi primitive tukar barang atau yang lazim disebut barter. Di sini pertukaran sudah dilakukan dengan menggunakan mata uang hanya saja perpindahannya hanya dapat dilakukan melalui perdagangan barang maupun jasa.


Dan demi kepentingan kita kembali ke titik nol ini yaitu untuk memahami semangat luhur tercipatanya pasar dan lembaga keuangan, mari kita buat ilustrasi sederhana yang mungkin agak ekstrim sebagai berikut.


Sebutlah dalam perkenomian di titik nol ini hanya terdapat dua orang homo economicus: A dan B. A adalah orang yang diberkahi Tuhan dengan kepemilikan atas sumber daya berlebih dan menjadi sangat kaya raya. Sedangkan B, kasih sayang Tuhan menghantarkannya menjadi orang yang berkekurangan namun penuh kesabaran. A memiliki kekayaan sebesar tiga ribu dinar dan mengkonsumsi dua ribu dinar sehingga tersisa seribu dinar di kotak uangnya karena tak punya lagi kapasitas untuk memanfaatkannya. Si miskin B memiliki seribu dinar dan mengkonsumsi semuanya hingga tak ada lagi yang tersisa walaupun masih membutuhkan. Dalam kondisi seperti ini keluaran perekonomian titik nol ini berjumlah tiga ribu dinar dengan seribu dinar menganggur tak termanfaatkan di kotak uang si kaya A plus potensi produktivitas B yang terabaikan karena tak punya cukup dinar.


Kiranya A dapat memberikan dinarnya yang tersisa kepada B atau B dapat memanfaatkan dinar yang teronggok di kotak uang A, tentulah keluaran ekonomi akan menjadi lebih besar, mengisyaratkan kesejahteraan yang bertambah. Maka kemudian kita beranjak dari titik nol. Untuk itu mari kita hadirkan satu lagi homo economicus:bank.


Bank hadir mengambil peran perantara yang menghubungkan A yang berlebihan dana dengan B yang membutuhkan dana. Sederhananya seperti ini. Bank bersedia menjadi tempat penitipan uang bagi A dan menjamin keberadaannya bahkan memberikan tambahan atas uang tersebut. Dan demi memberikan tambahan tersebut, bank akan meminjamkan uang A kepada B dan memungut pula tambahan atas uang yang dipinjamkan. Tentu tambahan yang dipungut jumlahnya lebih besar dari yang akan diberikan karena dengan begini bank dapat memperoleh keuntungan sehingga mau mengambil peran sebagai perantara. Oh ya, singkirkan dulu yah perdebatan mengenai boleh tidaknya praktek ambil keuntungan seperti ini karena bukan ini maksud dan tujuan kita jauh-jauh pergi ke titik ini.


Dengan hadirnya bank, di titik nol plus satu ini, konfigurasi perekonomian akan menjadi seperti ini. A mengkonsumsi dua ribu dinar dan menitipkan seribu sisanya kepada bank. Bank meminjamkan seribu dinar tersebut kepada B. Kemudian B mengkonsumsi seribu dinar ditambah seribu dinar hasil pinjamannya sehingga konsumsinya menjadi dua ribu pula. Lalu Bank memungut tambahan dari B sebesar seratus dinar dan memberikan lima puluh dinar untuk A dan mengambi sisanya sebagai keuntungan. Dengan hadirnya bank keluaran ekonomi naik menjadi empat ribu. (A:2000 B:2000). Dan tentu tumbuhnya ekonomi menandakan peningkatan kesejahteraan.


Sampai sini tentu sudah terasa bukan semangat luhur dari hadirnya lembaga keuangan. Lalu bagaimana dengan pasar? Sabar sebentar. Mari kita berjalan lagi ke titik nol plus satu plus satu.


Sebagai manusia eknomis, A dan B tentu selalu ingin mendapatkan keuntungan lebih dari transaksi ekonominya. Oleh karena itu A pun mulai berpikir untuk mendapatkan keuntungan lebih dari dinarnya yang menganggur. Sedang B juga berpikir bagaimana untuk mendapatkan pinjaman yang lebih murah. Gayung pun bersambut, A dan B kemudian bertemu di sebuah tempat dan melakukan perjanjian bahwa A akan meminjamkan kelebihan dananya yang sebesar seribu dinar kepada B dengan syarat B akan mengembalikannya dengan tambahan sebesar delapan puluh dinar. Maka semuanya senang. A akan dapat lebih banyak dibandingkan menitipkan uangnya kepada bank dan B membayar lebih sedikit untuk uang yang dipinjamnya.


Di tempat itu, yang kemudian disebut pasar modal, beredarlah berbagai macam perjanjian antara orang-orang kelebihan uang seperti A dan membutuhkan uang layaknya B. Perjanjian itu bisa berbentuk hutang-piutang ataupun kerjasama permodalan. Intinya, pasar memfasilitasi pertumbuhan ekonomi dengan ongkos yang lebih murah. Maka betapa tak kalah luhurnya motivasi hadirnya pasar dalam perekonomian di titik nol plus satu plus satu.


Sudah semakin dapat meresapi keluhuran dibalik keberadaan pasar dan lembaga keuangan? Kalau sudah mari kita beranjak lebih jauh lagi dari titik nol. Dan beginilah ceritanya.


Tidak ada yang pasti dalam hidup ini dan tidak ada pula yang dapat memastikan apa yang akan terjadi hari ini, esok hari atau lusa nanti. A dan B pun sangat meyakini akan hal ini. A mulai mengalami keraguan untuk meminjamkan dinar-dinarnya yang berlebih. Bagaimana kalau ternyata B tidak melunasi hutangnya? atau imbalan dan pinjamannya tidak seperti yang dijanjikan atau diharapkan? Pun demikan B yang ragu untuk meminjam uang karena takut tidak dapat mengembalikanya. Bagaimana kalau usahanya bangkrut? Bagaimana jika harga jual produknya turun sehingga hasil usahanya tak sesuai harapan? Kalau sudah begini A tidak mau meminjamkan uang dan B urung meminjam uang untuk meningkatkan produktivitasnya.


Ketidakpastian atau risiko pun menjadi penghalang tumbuhnya perekonomian. Lalu bagaimana nasib pasar dan lembaga keuangan yang sudah hadir dengan segala keluhurannya? Menjadi mandul dalam menjalankan fungsi intermediasi dan pendorong pertumbuhan ekonomi?


Di titik nol plus satu plus satu plus satu ini, semangat luhur yang melatarbelakangi hadirnya pasar dan lembaga keuangan mengejawantah dalam perkembangan keduanya beserta produk-produknya yang memungkinkan dilakukannya pengelolaan risiko. Kompleksitas lembaga keuangan dan instrumennya yang telah berkembang di titik ini memungkinkan ketidakpastian untuk dapat dikendalikan. Dengan begini arus dana dari A dan B tetap dapat terjadi tanpa perlu ada yang dikhawatirkan. Maka mari kita hadirkan asuransi dan instrument derivative sebagai fasilitator untuk A dan B mengusir keraguannya. Hasilnya: ekonomi tetap tumbuh, kesejahteraan tetap meningkat.


Sepertinya di titik ini kita harus berhenti karena semuanya pun sudah lebih jelas. Hikmahnya? Pasar dan lembaga keuangan hadir untuk memungkinkan perpindahan dana dari mereka yang berlebih kepada mereka yang membutuhkan. Pasar dan lembaga keuangan memungkinkan alokasi sumber daya (dana) secara efisien sehingga tidak ada yang tidak termanfaatkan. Keduanya mendorong produktivitas yang berujung pada pertumbuhan ekonomi yang juga berarti kesejahteran.


Itulah semangat luhur di balik perkembangan keduanya yang hari ini menjadi kompleks. Dan kalau hari ini semangat itu sudah luntur hingga tidak terasa lagi pada kenyataanya, dimana pasar dan lembaga keuangan lebih sering menjadi biang keladi terjadinya krisis, menguntungkan yang satu dan mempailitkan yang lain, mungkin kita harus segera beranjak ke titik plus berikutnya dari titik ini. Mengutip kata Sitglitz: kalau kecelakaan kerap kali terjadi di sebuah jalan maka kita harus memperbaiki jalannya bukan pengemudinya.