Semangat Pagi



Ujung timur tebet, 25 September 2019

Bangunlah
Tak perlu marah
Bersegeralah
Singkirkan selimut yang menutup badan
Dan biarkan
angin pagi membawa dingin menusuk tulang,
mendudukkanmu di tepi ranjang
Lawanlah kantuk di kelopak mata
Dengan kepal tangan meninju angkasa
Biar sejuk embun membasuh muka
Mengusir malas tak bersisa
Menumbuh semangat menggapai cita

Berangkatlah ke sekolah
Kutunggu disini sore nanti
Bercerita tentang angka, warna dan gembira
Hormati gurumu selalu
Dengan berbuat salah,
Karena ilmu datang setelah salah
Dengan tanya,
Karena tahu hadir setelah tanya
Dengan tetap merasa bodoh,
Karena belajar ada ketika bodoh

Sayangi temanmu
Lebih dahulu,
Sebelum mengharapnya untukmu
Ringan ulurkan tangan
Jabat erat hangat
Memilih tanpa pilih kasih
Siapa pantas jadi kawan
Tak usah khawatir sendirian
Tetap tegak berpendirian
Jangan hirau caci bibir mencibir
Juga cerca dan makian
Jadilah selalu murid budiman


Catatan hati sepasang kaki

Ujung timur tebet, 19 September 2019

Pagi ini
Bangun manduhului mentari
Ada bara menyala
Pada dada yang lama sempit sesak
Kini mendesak berteriak
Suara tak bersuara tak mungkin dielak
Di depan gerbang terhenti
Bertanya kaki
Mau kemana kini
Melangkahlah sesuka hati

Tak ada yang akan menahan berlari
Tidak menit tidak pula hari
Tidak juga kereta api
Yang melewatkanku berkali-kali
Akan ku kejar dia nanti
Pikirku diatas bis reot sepi penghuni
Yang kubayar sesuka hati

Berhenti menepi pada jantung kota
Bersama jutaan manusia
Mengalir dan mengular di atas trotoar
Terburu-buru, tetapi tidak aku
Kunikmati secara perlahan
Semua yang kota sajikan
Salak klakson dan cacian bersahutan
Asap knalpot yang memuakkan
Aroma wangi yang memabukkan
Menyeruak dari jasad para pengabdi
Kuhirup sesuka hati

Matahari beranjak tinggi
Angkuh di pucuk dunia
Tak kuasa ku menentangnya kini
Parau suara muadzin tua
Terdengar samar menerus pesan dari yang maha akbar
Memanggil hati yang renjana
Dari mushola kecil yang jauh dari megah,
meringkuk di bawah kaki gedung-gedung yang menjulang gagah
Lantai yang pecah, karpet lusuh dan basah
Jendela, pintu yang tak lagi utuh dan tiang-tiang lelah penyangga atap yang mulai goyah
Terasa indah dalam khusyuknya doa dan ibadah
Ku adukan semua keluh, kesah dan resah
Ku biarkan air mata tertumpah
Menangis sesuka hati

Malam telah menjelang
Saatnya kembali pulang
Kota tertinggal di belakang
Biarlah, karena ia akan tetap disana saat esok datang menyapa
Selalu sama
Begitulah sedari lama
Tidak ada yang berbeda
Dan tak akan pernah berbeda
Tetapi rasa
Tidak akan pernah lagi sama
Semenjak hati merebut takhta
Menyalakan bara dalam dada
Sesuka hati ia berkuasa

Dunia anak



Ujung timur tebet, 15 September 2019

Kalau dunia hanya gurauan dan permainan, maka tidak perlu terlalu serius dipikirkan.
Jalani saja dengan canda riang dan hati lapang.
Seperti anak-anak, kekanakan
Berlarian berkejaran
Bersorak diguyur hujan
Tidak sedih dengan kekalahan
Menjadikan tawa lepas sebagai kemenangan
Berkelahi, berebutan
Menangis karena kehilangan
Kembali gembira seolah semua terlupakan
Menari menembang nyanyian
Anggap hidup adalah suatu perayaan
Tidak ada yang dijadikan beban
Memanjat, melompat
Mengayun bergelantung
Terjatuh mengaduh
Sekejap kembali lagi mendaki
Kini lebih tinggi
Menggambar menumpah warna
Seenaknya suka-suka
Sembarang dimana saja

Ah, hidup jadi begitu sederhana
Tapi sayang kita terpaksa dewasa

Marah malu melulu

Ujung timur tebet, 12 September 2019

Rasa itu
Marah dan malu
Selalu begitu
Seperti benalu
Menghabisi keberadaanku
Menyisa sendu

Marah pada siapa? Atau apa?
Malu karena apa? Atau siapa?

Pada dia yang membiarkanku berjalan
Namun melarangku menentukan tujuan
Pada dia yang mengajarkan bahasa
Namun tak mengizinkan bicara
Pada dia yang melatihku menggerakkan kaki
Namun menahanku berdiri dan berlari
Pada dia yang ingin selalu kutinggalkan
Tetapi tiap kali kembali kepadanya sambil sesengukan

Pada diri yang terus menyalahkan atas setiap kalah
Pada diri yang tak mampu melangkah
Tanpa bayang-bayang lekat di belakang
Pada diri yang pantas memikul beban
Tapi tak bernyali tampil ke depan
Pada diri yang bersembunyi
Mengharap dikasihani

Karena ketidakberdayaan
Karena ketidakmampuan
Karena matinya kehendak untuk melawan
Karena ketakutan tanpa alasan
Karena air mata yang tertahan
Karena sulitnya melupakan
Dan memaafkan
Karena marah mencekik kerongkongan

Rasa itu
Marah dan malu
Kenapa kau biarkan begitu
Menjadi benalu
Menghabisi dirimu
Menyisakan sendu

Mimpi



Ujung timur tebet, 10 September 2019

Sebait mantra
Terlantun dalam gumam
Mata terpejam
Mengucap salam
Jabat erat peri malam
Di ambang gerbang keraguan
Antara angan dan kenyataan
Melepas kuasa atas kesadaran
Menyerahkan diri pada kelam
Raga teronggok tanpa jiwa
Memberi jeda pada daya
Memberi lupa pada ingatan
Melepas belenggu pada perasaan
Mematikan kefanaan
Menghidupkan khayalan
Segalanya lebih indah disini
Di alam khayali
Penuh fantasi
Menikmati ekstasi
Kadang berakhir dengan sensasi
Di antara dua pangkal kaki
Sesaat sebelum tiba peri pagi
Menuntun jiwa kembali
Menghidupi mimpi
Pada dunia yang tak sepenuhnya ia ingini

Garuda dan kucing tetangga

Ujung timur tebet, 6 September 2019

Pagi benar ia sudah terjaga
Bergegas mencuci muka
Sekenanya
Kemudian berangkat kerja
Tidak ingin ia datang terlambat
Bisa-bisa gajinya kena sunat
Hidupnya sudah melarat
Tak mau jadi sekarat
Istrinya pasti akan kecewa
Kalau kurang uang yang diterima
Bagaimana bayar cicilan
Bisa tambah beban pikiran
Demi kesejahteraan
Ia menyeberang lautan
Tinggalkan tanah kelahiran

Hampir saja ia terlambat
Tetapi tetap saja kena damprat
Maki-maki si mandor keparat
Makanannya setiap saat
Hatinya dipaksanya untuk kuat
Walaupun ingin juga mulut menghujat
Tapi apalah kuasa dia
Ia hanya pekerja di tanah orang
Sudah sepatutnya menjadi hina
Bukan dia yang memiliki uang
Masih patutkah punya rasa bangga
Masihkah layak dagu mendongak
Pikirnya
Dadanya sesak

Sambil menumpuk bata
Dia teringat cerita kakeknya
Tentang kemahsyuran negerinya
Pada zaman dulu kala
Tentang kekuasaan raja-rajanya
Yang melintas sampai tanah dibawah kakinya
Tentang orang-orang cendikia alim ulama
Kepada mereka ramai manusia datang mencari ilmu
Termasuk nenek moyang si mandor dan tuannya itu
Tentang kekayaan alam melimpah
Diburu ribuan kapal dagang dari cina sampai eropa
Yang tak dipunya negeri tempat ia kini mencari nafkah
Semua tampak seperti khayal belaka
Kalaulah bukan kakek yang bercerita
Tentulah ia tak akan percaya

Rasanya tak pantas ia merasa hina
Ingin rasanya berdiri tegak
Dan berteriak
Tentang cerita kakek
Soal negeri besar tempat dia berasal
Tapi pasti si mandor akan terpingkal
Menganggapnya hanya berkhayal
Karena tak pernah masuk di akal
Penumpuk bata?
Dari negeri kaya?
Pastilah dusta
Jadilah ia menyerah pasrah
Tertunduk rendah

Seumur hidup sudah ia jadi pecundang
Ingin sekali menjadi pemenang
Menjadi raja
Walau sehari saja
Melangkah gagah
Dengan senyum menghias wajah
Membungkam mulut kotor si mandor tua
Dengan kepal tangan juara
Membalas semua maki yang pernah diterima
Dengan liputan dalam berita
Bukan khayal tapi fakta
Tentang perkasanya sang garuda
Dalam benteng penuh gelora
Mencengkeram kucing tetangga
Membawanya ke angkasa
Menghempaskannya seketika
Mengusirnya dengan malu tak terkira
Garuda
Satu-satunya kebanggaan dirinya
Peninggalan masa lalu yang tersisa

Tapi apa mau dikata
Benteng sudah kehilangan tuah
Sang garuda beranjak tua
Tak dapat lagi terbang tinggi
Dan kucing tetangga
Tumbuh menjadi harimau buas
Menerkam dengan ganas
Koyaklah garuda diujung taringnya
Hilang sudah kebanggaannya
Tak ada lagi yang tersisa
Semakin sesak dadanya
Semakin sakit hatinya







Rumput Tetangga

Ujung timur tebet, 5 September 2019

Akui saja kalau kecewa
Tak perlu berlagak bijaksana
Memang begitu sepantasnya
Karena harapan yang terlanjur mengangkasa
Jauh sebelum sepakan pertama
Namun jatuh menghujam bumi
Sesaat pluit wasit nyaring berbunyi
Ini bukan sekedar menang dan kalah
Ini soal marwah
Perasaan besar yang pernah ada
Kalaulah itu memang nyata
Mana pernah bisa berlapang dada
Ternyata rumput lebih hijau di halaman tetangga


Kenapa kumpul?

Ujung timur tebet, 4 September 2019

Sudah jadi tabiat manusia untuk tidak bisa hidup sendiri walaupun kadang ingin menyendiri. Karena kita tak tahan untuk tidak berkomunikasi. Karena kita tidak betah memendam perasaan dalam hati. Karena butuh tempat untuk menumpahkan emosi. Karena butuh bantuan untuk tegak berdiri. Karena perlu dorongan, pijakan dan tuntunan untuk menggapai citanya yang tinggi.

Karena itulah manusia berkumpul. Dan atas dasar itulah kita semua bisa berkumpul. Mengumpulkan kita yang berserak. Mengikat yang bercerai. Mencampur yang berbeda. Menghapus rikuh dan canggung diantara kita. Sehingga semua menjadi terbuka. Jujur bertukar kata. Menanggung rasa yang sama. Sakit maupun gembira. Nyaman ketika bersama. Rindu saat berpisah. Bersama melangkah searah. Laksana tubuh yang wihdah menjadi quwwah karena mahabbah.

Kadang kita tidak bisa memilih. Atau tidak berani untuk memilih. Kepada apa kita akan mengikat diri. Dengan apa kita terasosiasi. Tuntutan profesi. Status sosial dan rekognisi. Tren dan gaya hidup masa kini. Membuat kita merubah diri agar diterima diantara mereka yang sebenarnya tidak kita sukai. Berpura-pura sambil menahan perih menyiksa diri. Memoles wajah yang tak asli. Mengucap kata yang berbeda dari isi hati. Terbahak pada lelucon tidak lucu. Menahan tawa ketika menangis tersedu. Terbawa arus ke hilir tanpa pernah mau meninggalkan hulu.

Kita terlalu malu untuk membusungkan dada sambil lantang berteriak aku. Terus menerus bermain laku sampai tidak lagi mengenali aku. Terpaksa mengingkari diri demi eksistensi. Aku dipaksa untuk sembunyi. Apa yang mereka pikir itu yang kita peduli. Tentu ada norma yang harus diikuti. Sebagai konsekuensi atas pilihan tempat kita berdiri. Tidak ada dosa merubah diri asalkan tidak menipu diri.

Tapi kita sesungguhnya selalu bisa memilih. Dimana akan kita labuhkan kapal diri ini. Dimana kita akan sandarkan punggung letih ini. Dan tempat yang baik bagi itu semua adalah tempat yang bisa menerima kita sebagaimana kita. Tempat yang bisa memahami kekurangan kita dan sabar melengkapinya. Tempat yang tepat untuh kita tumbuh, berkembang dan berbunga. Tempat yang nyaman untuk beristirahat dan mengisi tenaga untuk melanjutkan perjalanan. Tempat yang kita selalu ingin kembali kepadanya sejauh apapun kita telah meninggalkannya.

Yakinlah bahwa tempat itu benar-benar ada. Kita hanya perlu mencarinya dengan jujur dan sabar. Dan jika kau belum menemukan tempat itu, biarkan aku berusaha menjadinya untuk mu.

Jawab kenapa

Ujung timur tebet, 29 Agustus 2019

Baiklah. Mungkin aku harus mulai bertanya kenapa dan memikirkan jawabannya. Menyediakan waktu untuk merenunginya dengan sungguh-sungguh. Mengarahkan perhatian untuk serius mencari jawaban dan kesimpulan.

Untuk hal seserius dan sesulit ini sebaiknya pertanyaan yang diajukan juga harus serius dan penting. Tidak sekedar soal kenapa kita belajar fisika, kimia, biologi, matematika integral dan diferensial. Tapi sesuatu yang lebih substansial.

Kenapa ada aku di dunia? Kenapa aku harus ada? Kanapa aku dilahirkan?

Itulah pertanyaan kenapa yang harus dijawab. Pangkal dari semua pertanyaan. Inilah maha pertanyaan yang membutuhkan maha jawaban. Setelahnya sepertinya tidak terlalu penting. Setelahnya pastilah hanya turunannya dan atau haruslah berkaitan dengannya.

Takdir Tuhan. Mungkin aku bisa menjawabnya demikian. Tapi sepertinya itu terlalu mudah untuk menjadi maha jawaban. Kalau lah itu sang maha jawaban, maka akan sangat mubazir Tuhan menciptakan otak yang begitu kompleks dengan berbagai fungsi emosi, imajinasi dan kognisi. Maka mari gunakan otak pemberian Tuhan untuk memikirkan jawabannya.

Pertanyaan ini memang sulit dijawab. Apalagi aku tidak punya peran dalam proses kelahiran. Bahkan peran bapak dan ibuku hanya sebatas menjadi penyebab munculnya kemungkinan kelahiranku pada saat memuaskan birahi. Tapi aku punya peran besar dalam menentukan akhir dari hidupku. Karena aku pemegang pena atas cerita hidupku. Maka dengan berhusnudzon bahwa akhir hidup adalah sama dengan alasan kita diciptakan, maka menjawab pertanyaan siapa aku diakhir hidup atau bagaimana aku akan mengakhiri hidup sama dengan mendapatkan maha jawaban dari maha pertanyaan di atas tadi. Dan tentu pertanyaan siapa dan bagaimana lebih mudah dijawab oleh aku yang lebih terbiasa untuk berpikir deskriptif dan naratif.

Siapa aku di akhir hidupku? Bagaimana aku di akhir hidupku?

Dibawah inilah jawabnya.

Aku ingin mengakhiri hidup sebagai orang yang memiliki arti bagi banyak orang. Memiliki arti karena manfaat yang kuberikan, karena ilmu yang kuberikan, karena kebaikan yang kuberikan. Sekedar menjadi pijakan kecil bagi orang lain untuk mencapai cita-citanya. Sekedar menjadi canda ringan bagi orang lain untuk tertawa bahagia. Sekedar menjadi modal receh bagi orang lain untuk meningkatkan kesejahteraannya. Aku ingin menjadi sebab kecil dari kebahagiaan orang lain.

Aku ingin mengakhiri hidup dengan senyum diantara kesedihan ribuan orang yang akan merindukanku. Rindu akan arti yang pernah kuberikan kepada mereka. Biarkan itu menjadi nisan dari kuburku.

Maha jawaban. Di titik ini, sepertinya harus kuyakini itu sebagai maha jawaban. Maha alasan atas keberadaanku. Oleh karenanya ia akan menjadi fundamen dan ukuran dari tiap tindakan yang aku lakukan. Bertentangan dengannya berarti pengkhianatan atas tujuan Tuhan menciptakanku. Apapun itu.