Manusia

Ujung timur tebet, 29 jul 2019

Coba ingat bagaimana kau datang
Mulai dari pergumulan bak binatang
Cairan menjijikan yang terbuang
Hingga keluar dari lubang
Diantara kaki yang mengangkang

Bukankah Tuhanmu yang menjadikanmu sebaik-baik bentuk
Yang memuliakanmu diantara makhluk

Bukankah Tuhanmu yang mengajarkanmu nama-nama
Yang memberikanmu ilmu mengelola dunia

Bukankah Tuhanmu yang menyuburkan tanah dan memberimu rizki yang banyak
Yang dengannya kamu makan dan beranak pinak

Lantas kenapa merasa digdaya
Berjalan dengan jumawa
Karena tumpukan titipan harta?
Yang akan membawamu ke neraka?

Lantas kenapa merasa besar
Seolah-olah yang paling benar lagi pintar
Karena lembar ijazah tanda pernah menuntut ilmu?
Yang hanya setetes air di ujung kuku?

Lantas kenapa begitu angkuh
Kepala tengadah memberi dawuh
Karena status yang membalut tubuh?
Yang kelak kau sesali saat di mahsyar bermandi peluh

Saudara,
Kau dan aku berasal dari jenis yang sama
Siapa tahu yang lebih taqwa
Siapa lebih mulia
Siapa berhak mendapat surga

Sahabat,
kita mungkin hanya manusia bangsat
Tak layak mendapat hormat
Kita mungkin hanya manusia keparat
Pantas mendapat laknat

Bunga, Pohon, Daun, Matahari dan Angin



Ujung Timur Tebet, 25 Juli 2019

Lembah damar pagi ini. Aku terjaga diantara batang-batang besar pohon damar yang menjulang. Suara binatang malam yg penuh misteri berganti dengan kicau burung pagi yang membangkitkan kecerian. Lagu yang sama indahnya namun dengan genre yang berbeda. Daun dan tanah lembab dibasuh embun pagi. Angin pagi lembut berhembus membelai wajah. Kabut tebal beringsut pergi, seperti tirai panggung pertunjukan, bergeser terbuka mempertontonkan keindahan kreasi Sang Kuasa. Suasana tak lagi gelap, tapi sinar matahari belum lagi menyala. Syahdu. Misteri malam yang tersisa berpadu dengan harapan pagi yang mulai tumbuh. Hidup memang penuh tanda tanya, tetapi selalu tersedia jawaban di akhir babak. Dan pagi, adalah awal untuk mencari jawab.

Aku duduk di depan kemah. Sisa air wudhu  di wajah membuat belaian angin semakin terasa. MenghadapNya di masjid berkubah langit, bersajadah tanah dan bermihrab kaki gunung memberikan rasa yang berbeda dari biasanya. Andai rasa yang sama ada ketika biasanya aku menghadapNya, diwaktu yang harus dibagi dengan makan siang, terburu-buru karena jadwal rapat menanti, dengan pikiran yang bercabang, dengan hati dan jasad yang lelah menghadapi macet ibu kota. Lembah damar pagi ini menguatkan arti Maha Besar, Maha Suci dan Maha Agung dalam setiap dzikirku yang biasanya berhenti sampai di ujung lidah.

Bidadari-bidadariku masih terlelap diselimuti dingin pagi yang menyejukkan. Melihat wajah-wajah mungil itu membuat hati tenang. Istriku melipat mukena di sudut tenda. Wajahnya tak pernah terbalut kosmetik namun tetap terlihat cantik. Dan bertambah cantik pagi ini. Sepertinya alam dan wanita merupakan padanan yang tepat. Lembah damar pagi ini menyadarkanku bahwa harta yang paling berharga sudah ada di depan mata tak perlu lagi mati-matian dikejar. Tinggal mati-matian dipertahankan.

Aruni, si sulung, ia ingin menjadi bunga. Karena bunga disukai banyak orang katanya. Jadilah bunga, namun jadilah seperti bunga hutan atau gunung. Seperti edelweis. Dia indah namun tidak mengumbar keindahannya. Dia jauh di atas gunung. Perlu perjuangan dan komitmen untuk dapat menikmati keindahannya. Dia indah lagi terhormat. Jadilah engkau disukai banyak orang karena keindahan dan kehormatanmu.

Ghifara, si tengah, bilang ia ingin menjadi pohon. Karena pohon banyak yang menyayangi. Jadilah seperti pohon di hutan, nak. Besar, tinggi, kokoh dan penuh kasih sayang kepada manusia. Seperti damar yang menghasilkan getah, seperti jati yang menghasilkan kayu, seperti cantigi yang merelakan dirinya bagi pendaki berpegangan. Jadilah engkau disayangi karena kasih sayang yang engkau berikan pada orang lain, karena pengorbanan yang kau lakukan atas nama mereka yang membutuhkan.

Laras, bayi kecilku dulu. Dia ingin menjadi daun. Karena daun digendong pohon. Ia ingin digendong sama kakak pipa, panggilannya untuk ghifara anak ku yang kedua. Ia hanya ingin dimanjakan. Ah, kamu memang masih terlalu kecil nak. Mudah-mudahan kasih sayang kakak-kakakmu akan membantumu mendapatkan cita-citamu. Yakinlah bahwa dunia penuh kasih sayang, kau hanya perlu mencarinya pada tempat yang tepat.

Istriku. Ia ingin menjadi matahari yang memberi manfaat. Kamu memang matahari bagi kami, yang menghangatkan, menghidupkan, dan menerangi. Tak terbayang bagaimana kami hidup tanpa matahari kami. Bersinarlah terus, sayang!

Sedangkan aku. Aku ingin menjadi angin. Yang berhembus lembut memberikan ketenangan namun dapat juga menjadi topan yang menghancurkan. Aku ingin menjadi lembut agar selalu menjadi tempat kembali yang tenang bagi keluargaku. Menjadi seperti angin darat yang meniup perahu, mengantarkan anak-anak meraih cita-citanya. Sesekali juga menjadi topan dahsyat yang menghancurkan halang yang melintang di hadapannya.
Sungguh luar biasa pengaruh alam pada manusia.

Sepertinya anak kota sepertiku memang perlu sesekali menjauh dari kota. Memutus diri dari jaringan internet, melarikan diri dari grup wa, mengucilkan diri dari berita online, mengistirahatkan diri dari target, bonus, laporan, meeting dan aksesoris kehidupan urban lainnya. Alam mampu mengajarkan apa yang tidak diajarkan kota. Dan soal hidup, alam memang guru terbaik.

Lelaki, Sepi dan Kopi



Ujung Timur Tebet, 23 Juli 2019

Lelaki itu duduk sendiri
Menepi
Mengadu pada secangkir kopi

Tentang hari
Kemarin yang kerap kembali
Kini yang akan datang lagi esok hari

Tentang kebiasaannya onani
Di atas jamban penuh tai
Dengan nafsu yang tak utuh lagi

Tentang kerja
Yang memaksanya terjaga
Memecutnya berlari seperti kuda

Tentang kawan-kawannya
Bertukar tawa tanpa gembira
Berjual beli canda selepas senja

Tentang wanita-wanita
Yang wangi keringatnya tertinggal di meja kerja
Namun hilang seketika seperti tak pernah ada

Tentang semua-semua
Pengusik minda
Penyesak dada

Lama sudah ia bercerita
Mengaduk kopi dengan kata
Menyesap pahit ditiap jeda

Lama sudah ia mencari jawab
Atas tanya yang tak terungkap
Pada hitam kopi pekat lagi gelap

Kopi selalu saja diam
Selalu demikian
Tapi cuma itu yang diperlukan

Tidak perlu jawaban
Tidak juga komentar atas setiap ucapan
Hanya kehangatan yang memberikan ketenangan

Sisa kopi mulai dingin
Darah bercampur kafein
Gelisah terbawa angin

Lelaki itu beranjak pergi
Sepi
Tinggalkan luka di cangkir kopi

Namun esok ia akan kembali
Lagi, lagi
Dan lagi

Tebet-Bogor

Commuter Line, 6 Juli 2019

Tebet
Gerbong kereta berderet-deret
Manusia sesak berdempet
Cawang
Begitu cepat rindu datang
Seraut wajah jelas terbayang
Duren kalibata
Bukan ingin meninggalkan cinta
Karena hasrat ingin selalu bersama
Pasar minggu baru
Tunggu aku di ujung minggu
Di sebuah hari yang sendu
Pasar minggu
Waktu akan cepat berlalu
Sekejap mata tanpa kau tahu
Tanjung barat
Memendam rasa tentulah berat
Memacu jantung berdegup cepat
Lenteng agung
Biar kunyanyikan sebuah kidung
Agar cinta turut bersenandung
Universitas pancasila
Temani hati yg sedang lara
Sebab setelah lara ada gembira
Universitas indonesia
Setengah jalan sudah
Rindu makin bertambah-tambah
Pondok cina
Adakah kau merasa sama
Atau lupa mulai menyapa
Depok baru
Masihkah engkau akan menunggu
Di ujung waktu
Depok lama
Bersama cinta
Karena aku akan setia
Citayam
Lihatlah dalam dalam
Di tempat cinta bersemayam
Bojong gede
Di tempat segala rasa berparade
Menjadikan indah setiap episode
Cilebut
Akhir sudah terlihat menjemput
Kubisikkan salam perpisahan nan lembut
Bogor
Mungkin ada baiknya jeda sebentar
Basuh cinta yang sedikit kotor

Tua



Ujung Timur Tebet, 7 Juli 2019

Kemarin tak pernah terpikir menjadi tua
Pagi ini kulihat wajah yang mulai renta
Sinarnya tak lagi terang menyala
Binar matanya teramat lelah

Kemarin berdiri menantang usia
Pagi ini kulihat lemah tak berdaya
Tulang-tulang berderit tak berirama
Ototnya nyeri tak terkira

Kemarin gagah berwibawa
Pagi ini punggung tunduk terpaksa
Rambut hitam mulai kehilangan warna
Jemari menggenggam tanpa tenaga

Tak pernah kukira tua kan datang
Padahal belum usai bersenang-senang
Belum selesai lagi cerita kukarang
Belum usai lagu kudendang
Garis maut kini menjelang

Masih sempatkah aku menulis epilog
Sementara tersesat di tengah babak
Pada sebuah cerita tak bertema
Dengan tulisan tak terbaca

Sampaikah aku di akhir kalimat
Sementara tertatih di awal bait
Pada sebuah puisi tak berima
Dengan kata tak bermakna

Bukan tua yang membuatku takut
Bukan pula maut yang membuat nyali ciut
Tetapi menjadi tua tanpa pernah dewasa
Kemudian mati dan terlupa begitu saja

Tak cukup cerita untuk mengenang
Tak ada rupa untuk diingat
Hanya nisan yang akan hancur dikikis hujan
Setelahnya, benar-benar tak pernah dilahirkan