Selamat tinggal


Ujung timur tebet, 12 November 2022

Bicaralah
Tak akan ku bantah tidak pula ku sanggah
Walau kata telah bergumul di ujung lidah
Akan kutelan ia bersama ludah yang melarutkan resah
Kesahmu tak akan buatku gelisah
Tak perlu sungkan 
Ku tahu betul memang kau tak akan
Aku akan dengar dengan seksama
Semuanya
Tiap kata, kalimat dan cerita
Entah benar entah salah
Entah khayal entah nyata
Akan kubiarkan mereka percaya
Seperti halnya pada hikayat dan legenda berdalil beribu katanya
Karena kupikir kau memang butuh hidup dalam cerita
Sebab kau hanya ada dengan berlandas katanya
Jadi biarlah bualmu kumampatkan saja dalam telinga
Bukan perkara yang luar biasa
Toh sebentar mereka pasti lupa
Dan ketika akhirnya cerita singkatmu tamat
Yang tinggal hanya memori samar 
bahwa katanya kau pernah ada. 
Atau jangan-jangan mereka tak pernah benar-benar percaya. 





Video diambil dari youtube (impresi - PAS) 

Siapa tahu, sampai ketemu


Ujung timur tebet, 20 Oktober 2022


Apa bisa kita sudahi saja. Aku tidak lagi bisa bermanis muka. Lelah juga berpura-pura. Serapah. Kuat-kuat kutahan di pangkal lisan. Sementara pahit terpaksa juga kutelan. Muak. Mual. Padahal ingin sekali kumuntahkan. Entah pada siapa. Atau biarlah saja nanti menjadi isi jamban. Percuma. Citra. Tak bisa lagi kupertahankan. Maka biarkan semua kutanggalkan. Dengan begitu. Aku akan kembali aku. Biarlah cela. Bukan pula engkau yang tentukan harga. Kenapa juga tiba-tiba peduli. Dimana dulu ketika dicari. Tapi sudahlah. Tidak perlu cari siapa yang salah. Timpakan saja semua padaku. Aku sama sekali tak keberatan. Biarlah ini jadi tanggunganku. Terakhir kali. Setelahnya aku akan berjalan. Sendirian. Di jalan yang kupilih. Dengan tujuan yang ku tentukan. Sendiri. Bukan kau. Bukan dia. Biarlah hina. Aku pun nanti biasa. Akhirnya pasti sirna jua. Ketika datang lupa. Kau juga belum tentu mulia. Surga. Barang tentu kita berharap kelak bertemu di sana. Tapi siapa yang bisa jamin. Jangan-jangan. Bersama kita justru menghuni neraka. Siapa sangka. Siapa tahu. Maka, sampai ketemu. 



Video diambil dari youtube (in the garage - weezer) 

Benci rindu pulang


Ujung timur tebet, 31 Juli 2022

Pagi melontarnya bangun. Bergegas membasuh badan. Sekedar mencari segar. Hari ini ia sudah sangat tidak sabar. Menyambar ransel dan selembar roti. Segera berangkat dengan wajah sumringah. 

Hangat udara di ambang kemarau. Membawanya pergi. Tinggalkan kota di belakang. Lambaikan tangan pada deru kesibukan membosankan. Dihirupnya sekali lagi sebelum melompat dan berlalu. 

Sejuk menyambut di hadapan. Ucapkan selamat datang pada jiwa petualang. Kaki kecilnya berjingkrak riang. Nyanyikan lantang mars kebebasan. Seraya ayunkan langkah ringan. Bersiap tenggelam dalam rimbunnya pepohonan. Sekejap hilang ditelan belantara. 

Ia bukan petualang. Bukan pula anggota kelompok pecinta alam. Ia cuma bocah kota yang sedang bosan. Bosan dengan bising keramaian. Dengan pekik hiruk pikuk pekak menyesakkan. Ia hanya butuh pelarian. Ia hanya perlu penghiburan. Di tengah hutan dalam pelukan rimba. Di tepian telaga di kaki deras air yang jatuh. Di tepi pantai digoda ujung ombak yang menyentuhnya malu-malu. 

Di sana hatinya tenang berharap tak pernah pulang. Tapi ia tahu bahwa tak akan pernah bisa tinggal. Jamban duduknya pasti sangat merindukan pantatnya. Perutnya pasti merintih menagih hidangan cepat saji. Telinganya perlu dimanja hingar bingar celoteh masyarakat urban. Rindunya pada lampu jalan yang temaram. Dengan tirai asap polusi yang menyesakkan. Semua memaksa untuk kembali pulang. Ya, PULANG. Ternyata, kota telah mengikatnya erat. 



Video diambil dari youtube (Pulang - Silampukau) 

Menang


Ujung timur tebet, 13 Maret 2022

Kenapa harus marah padahal aku tidak keberatan mengalah. Tidak perlu merasa resah apalagi gelisah, biarlah aku yang menanggung semua salah. Jangan khawatir tak mendapat tempat, akan kusiapkan satu untukmu yang paling terhormat. Meski bukan pujian yang kau harap, bukan pula sanjung setinggi langit, biarlah kurendahkan juga aku agar kau nampak tetap menjulang. Jika belum cukup, maka ini kusiapkan pundakku untukmu berpijak. Naiklah agar semakin tinggi kau terlihat. Majulah dengan gagah, akan ku dorong kau dari belakang setelah ku lapangkan jalan di hadapan. Tak usah sebut namaku ketika mereka menjabat tanganmu sambil mengucapkan selamat. Biar namamu saja menggema seantero jagat. Segala puja dan puji mereka ambilah semua untukmu. Sungguh aku tak perlu. Aku tak punya lagi keinginan. Aku tak ada lagi ambisi. Tapi bukan aku tak punya mimpi. Hanya saja pertandinganmu tak menarik buatku. Juaramu tak berarti bagiku. Pialamu tak berharga untukku. Tapi bagiku, aku sudah menang. 



Video diambil dari youtube (rayakan pemenang - morfem) 

Bayangkan


Ujung timur tebet, 27 Februari 2022


Lennon, kawan kecilku, pernah menyuruhku membayangkan apa jadinya kalau-kalau dunia tidak pernah kenal surga dan agama, tidak ada negara, dan manusia tidak punya nafsu menguasai. Katanya dunia akan jadi damai sebab tidak ada sesuatu untuk dipertengkarkan dan jadi alasan untuk saling bunuh. Katanya lagi, umat dunia akan dapat hidup berdampingan dalam dunia yang satu.

Dulu, aku tak pernah benar-benar membayangkan apa yang dia bilang. Mencoba saja tidak. Walaupun katanya itu bukan hal yang susah-susah amat. Mungkin aku masih terlalu kecil untuk memahami apa yang dia maksud. Mungkin juga karena dulu aku tidak bisa bahasa inggris. Jadilah bagiku apa yang diutarakan Lennon hanya sebuah alunan nada yang kunikmati sambil tidur-tiduran di ruang tengah. 

Namun, akhir-akhir ini mimpi kawan masa kecilku ini kembali mengalun dan menggema di ruang kepala. Kini aku bukan hanya sekedar mendengar alunan nada yang nikmat, tapi juga mulai dapat merasakan keresahannya. Resah yang sama yang mungkin menjadi hal ihwal ditulisnya lagu itu. Resah yang kini memudahkan ku untuk membayangkan sederet kalimat yang dulu aku tidak pahami itu. 

Kini aku bisa paham kenapa ketiadaan surga, agama, negara, dan kekuasaan menjadi syarat dari dunia yang lebih baik dalam imajinasi Lennon. Keempat hal ini selalu dijadikan alasan dan pembenaran atas kegaduhan di muka bumi. Walaupun bisa jadi yang salah bukan keempat hal tadi, tapi manusia sebagai pelakunyalah yang salah. Namun, mungkin saking sebalnya, dia langsung ambil singkatnya saja. Toh tidak mungkin membayangkan dunia tanpa manusia. Dan mebayangkan manusia mengekang hawa nafsunya sepertinya mustahil. Jadi lebih baik objeknya saja yang ditiadakan.

Sepertinya sekarang semua menjadi lebih relevan buatku. Terlebih dengan rasa muak ku pada politik di negeri ini. Mungkin itu sebabnya pula aku berandai negeri ini hari ini tidak ada yang namanya politik. Biang dari kekisruhan yang terjadi, hari ini, di negeri ini. Tentu bukan politiknya yang salah, tapi pelakunya yang salah pakai. Tapi sama seperti kesimpulan dari mimpi Lennon, sepertinya lebih simpel kalau politiknya saja yang dihilangkan. 

Tanpa politik sepertinya kita bisa menikmati hubungan yang akrab antar sesama dilandaskan ketulusan bukan karena keinginan mempengaruhi satu sama lain demi suara dalam bilik pemilu. Tanpa politik mungkin tidak ada energi yang terbuang percuma mencari cela dari kerja orang lain karena kita semua akan sibuk dengan karya. Tanpa politik mungkin tidak ada keributan dunia maya yang terdengar bising hingga ke dunia nyata. Tanpa politik tidak perlu risau soal statistik dukung mendukung yang entah benar entah tidak.

Dan tanpa politik bisa jadi tidak ada korupsi. Karena politik perlu biaya, maka uang dan politik seperti sahabat setia. Karena politik bisa jadi mata pencaharian, maka politik dan uang tidak dapat dipisahkan. Ini sepertinya berlaku pada tiap tingkat politik, baik tingkat tinggi maupun tingkat kampung. Jadi wajarkan kalo politik adalah tanah tempat korupsi tumbuh? Dan kalau tanahnya tidak ada maka tidak akan ada yang tumbuh. 

Maka coba bayangkan kalau politik tidak ada.  Kau mungkin bilang aku pemimpi tapi mungkin aku bukan satu-satunya. 



Video diambil dari youtube (imagine - john lennon?) 

Nasihat raja laut


Ujung timur tebet, 24 Januari 2022

Andai Tuhan bisa selalu jadi alasan. Pasti hidup akan terasa ringan dan menyenangkan. Karena kita tidak akan pernah merasa sendirian, ada atau tiadanya teman dalam memikul beban. Tidak merasa kesepian dalam menempuh hiruk pikuk jalan kehidupan. Tidak pernah terbawa perasaan, saat bergelimang pujian atau saat cacian datang menghantam. Tidak larut dalam kekecewaan penuh kesedihan. Tidak pula silau dengan gemerlap keberhasilan dan kebahagiaan. 

Andai Tuhan selalu menjadi ukuran. Maka apa peduli kita dengan penilaian manusia. Apa peduli kita tentang apa yang mereka bilang. Apa peduli kita dengan ukuran dunia yang profan. Apa pentingnya menampilkan diri. Apa gunanya habis-habisan mencari perhatian. Apa gunanya meninggikan diri sambil merendahkan yang lain. Apa manfaatnya pamer prestasi atau  murung karena tak dapat apresiasi. Toh kita yakin Tuhan maha melihat dan seadil-adilnya pemberi balasan. 

Andai Tuhan selalu menjadi tujuan. Tentu kita tak akan pernah kehilangan arah. Kita tak akan pernah berhenti berjalan. Bukankah pertemuan denganNya ada di akhir kehidupan. Segalanya adalah persembahan wujud penghambaan. Maka apa arti dunia selain sekedar persinggahan menuju kehidupan yang lebih kekal kelak. 

Ah, tapi ternyata bagiku dunia jauh lebih menggiurkan untuk  dijadikan alasan, tujuan dan ukuran. Hingga usia habis untuk mengejarnya. Bersolek mencuri perhatiannya. Bertengkar dan berkelahi memperebutkannya. Kecewa karena tak sepenuhnya berhasil merengkuhnya. Sesekali membusung dada atas secuil keberuntungan yang menghampiri. 

Ah, semoga Tuhan mengampuni. 



Video dari youtube (nothing else matters - metallica) 

Sepotong tahi




Ujung timur tebet, 22 Januari 2022


Kaki-kaki takdir mengayuh pedal kuat-kuat. Memutar roda menggilir nasib naik dan turun. Cuma soal waktu semua berganti tempat. Kita hanya sepotong tahi yang terinjak menempel dibawa naik dan turun. Sebelum akhirnya tercecer tertinggal zaman.   

Jika takdir membawa kita naik sejatinya itu hanya kebetulan. Lalu apa gunanya congkak sambil terbahak mencela yang di bawah. Sebentar pasti naik berganti posisi. Toh sehebat apapun tahi tetap saja tahi. Maka jadilah sebaik-baiknya tahi dengan bersyukur dan rendah hati. 

Jika takdir menempatkan kita di bawah itu tentu juga kebetulan. Jadi tak ada gunanya mengumpat dan iri pada yang di atas. Sebentar mungkin akan turun juga. Lagipula apa ada tempat yang lebih pantas dari sepotong tahi selain terhimpit di bawah. Maka jadilah sebaik-baik tahi dengan sabar sambil menahan dengki. 

Kita hanya sepotong tahi terbawa menempel pada roda nasib dikayuh takdir naik dan turun. Hanya soal waktu kita berganti tempat. Cepat atau lambat. Tapi tahi tetap saja tahi. Tak ada yang lebih baik satu dari yang lain. 




Video diambil dari youtube (kosong - pure saturday)