Benar-benar Percaya

Ujung timur tebet, 29 Desember 2020

Belakangan. Aku mulai ragu soal kebenaran. Dari apa-apa yang tersaji di hadapan. Kata teman, kebenaran hanya milik Tuhan. Sedang Tuhan saja kadang diperdebatkan. Lantas bagaimana kalau datangnya dari ucapan lisan, tulisan koran, atau ocehan si fulan.

Meragukan. Katanya jangan lihat siapa yang mengatakan, tapi apa yang dikatakan. Bualan. Sejatinya kata jadi benar karena percaya. Terutama, kepercayaan pada si fulan yang berucap. Tanpa percaya kata berlalu ditiup angin.

Kepercayaan. Ini yang hilang belakangan. Hinggi sinis menyelimuti pikiran. Terlalu banyak citra yang ditampilkan. Namun ternyata tidak sesuai dengan kenyataan. Perlakuan yang dirasa tak sejalan dengan ucapan.

Arogan. Mungkin orang sudah bosan. Tampilan mu sudah terlalu kusam, kawan. Kau tidak perlu teori untuk jadi sandaran. Tidak perlu berteriak lebih lantang. Tidak perlu ratusan, ribuan, bahkan jutaan pembela untuk bertahan. Apalagi memaksa dan memenjarakan yang berseberangan.

Karena benar bukan sekedar selera. Untuk benar, butuh dipercaya.


Minggu di hari rabu



Ujung timur tebet, 9 Desember 2020

Kalo bukan karena nafsu
Mereka-mereka yang beradu
Berebut suara
Tentu minggu
Tidak akan datang lebih dulu
Setelah selasa
Jauh sebelum sabtu
Kalau bukan karena pesta mereka
Tak akan ada pesta untuk aku
Di tengah minggu
Di hari rabu
Buatku
Bukan soal bebas bersuara
Dan bukan soal perayaan pemenang
Suaraku tak diundang
Jagoanku tak bertanding
Maka jadilah aku
Menikmati pestaku
Sendiri di sini
Diantara pagi dan petang
Kopi kiriman teman
Lagu tempo dulu
Buku bacaan
Hiburan untuk pikiran
Obrolan tongkrongan
Tentang masa lalu
Yang bukan milikku
Waktu yang tak memburu
Semua berpadu
Jadi satu
Pada rabu berasa minggu

Jingga

Ujung timur tebet, 29 November 2020

Jingga
Merekah di angkasa
Turun kemudian
Bawakan cahaya
Pada pagi yang muram
Menyingkap malam mencekam
Percik sejuk kelembutan
Mengetuk mata terpejam
Bangkit jemput harapan
Pada hari yang jelang
Bersama
Dekat lagi hangat
Jingga
Bukan sekedar warna
Dari lengkung bianglala
Atau riasan mega
Di hujung sore nan megah
Jingga
Di sana kuletak asa
Cita-cita
Doa
Rasa percaya
Pada mereka
Mulia bersahaja

Kampungan




Ujung timur tebet, 18 November 2020

Aneh benar orang kota ini. Jika ada yang menyimpang dari standar dan kualitas perilakunya maka disebutnya kampungan. Menempatkan kampung tertinggal di belakang atau terinjak di bawah. Seakan kota adalah segalanya. Tapi setiap minggu, berjamaah orang-orang kota menuju kampung, menjadi orang kampung, mengagumi kampung. Kampungan.

Akhir-akhir ini kampung sepertinya tidak lagi kampungan. Bahkan yang tidak ikut wisata ke kampung lah yang bisa-bisa dicap kampungan. Jika belum ada gambar treking di tengah sawah, duduk kelelahan di jalur pendakian, mandi di sungai, pose di bawah air terjun dengan tangan ke atas penuh kemenangan, terpajang di status atau story sosial media, rasanya ketinggalan sekali. Kampungan sekali.

Ternyata kota tidak hebat-hebat amat. Gedung-gedung tinggi kota memang mengagumkan tapi ternyata tidak cukup membuat hati tenteram. Toilet-toilet di dalamnya menawarkan kenyamanan fungsional tapi ternyata buang hajat di gunung jauh lebih melegakan. Air hangat yang keluar dari selang pancur kalah sensasional dari dinginnya air yang jatuh dari pinggir tebing saat menghantam punggung ringkih manusia kota. Tidak usah bandingkan udara sejuk yang berhembus dari ujung gunung dengan ac di langit-langit kamar. Pastilah angin gunung lebih perkasa. Hebatnya lagi, kampung memberikannya dengan gratis tanpa urusan bisnis. Kampungan.

Memang aneh orang kota ini. Ketika kota sudah menghisapnya tak bersisa, pergilah ia ke kampung untuk mengisi kembali energinya. Mungkin kota seperti hawa nafsu yang menggoda yang memalingkan dari fitrah sehingga membuat lelah. Maka bagi orang kota kembali ke kampung sama dengan kembali ke fitrah.

Ah, kampungan sekali!

Senja Bhakti Karya

Ujung timur tebet, 12 November 2020


Senja di bhakti karya
Saat hati sepi menepi
Menanti
Di atas sepeda motor tua
Tunggu seraut wajah tiba
Menyapa
Semilir angin bergilir
Layangkan rindu
Dalam pesan terbang
Keseberang jalan
Segeralah datang

Senja mulai mengalah
Segaris senyum mengusir resah
Merekah
Suara dari belakang telinga
Lamat-lamat cinta terasa
Mesra
Cepat-cepatlah dekat
Dekapku lebih erat
Biar terasa hangat
Seketika berangkat
Bersama hilang ke dalam gelap

Kuasa Rasa

Ujung timur tebet, 1 Oktober 2020

Pada akhirnya
Sejatinya
Kita semua manusia
Tidak pernah menjadi dewa
Bahkan tidak juga separuhnya
Sebab tiap kita punya rasa
Dan merasa
Kadarnya saja yang berbeda
Tergantung ada dimana,
Bagaimana dan mungkin juga kenapa
Karenanya aku tak pernah percaya
Bahwa manusia akan selalu sama
Yang kini baik esok bisa saja bejat
Yang bejat tidak juga selamanya jahat
Yang kini cantik mungkin tak lagi menarik
Yang tak menarik jadi memikat
Yang rendah hati tiba-tiba tinggi
Yang tinggi hati jatuh tersungkur
Beda masa beda rasa
Beruntunglah yang punya kuasa atas rasa
Amat sial mereka yang dipenjara rasa

Akhir akhir pekan

Ujung timur tebet, 21 Juni 2020

Aku ingin hari ini
Tidak pernah berganti
Tetap disini
Temani aku menari
Menyanyi
Dalam tidur hingga kuning mentari
Bunga-bunga rindu
Mulai tumbuh sejak sabtu
Merekah semerbak di hari minggu
Kukecup satu-persatu
Kuhirup dalam-dalam
Sebelum menjadi layu menjelang sore
Ah, senin
Kenapa selalu datang mengganggu
Bisakah kau cuti barang sehari
Biarkan minggu memeluk lebih dari sehari



Entah

Ujung timur tebet, 4 Juni 2020

Ada sesuatu yang selalu menganggu
Menggelitik, menarik kadang mencabik
Jari-jari iri mengikat
Jerat-jerat dengki
Kuat-kuat
Di sini
Di salah satu bagian hati
Bersatu membatu
Tak biarkan aku
Dikalahkannya aku
Selalu
Ah, aku
Tidak kah merasa lelah mengejar entah
Dipacu amarah pada entah
Bertanding melawan entah
Entahlah
Ayolah
Jangan biarkan ia
Walau sekedar sebesar zarah

Kembali Lagi

Ujung timur tebet, 24 Mei 2020

Hari ini dia pergi
Diiring riang wajah berseri
Tapi
Bukankah harusnya bersedih
Berpisah tak pernah menyenangkan
Bisa jadi tak pernah ada lagi pertemuan
Mengingat apa yang selalu dibawanya saat datang
Dan betapa mulia dirinya
Apa pasal melepasnya dengan gembira
Apakah karena tak ada lagi lelah bangun pagi?
Tak perlu menahan perih lambung hingga mentari pergi?
Pegal kaki terlalu lama berdiri?
Atau bosan dengan bacaan yang tak dimengerti?
Hari ini
Yang seharusnya fitri
Semua hilang bersamanya pergi
Aku malah berjingkrak menari
Rayakan kebebasan lagi
Menyimpan kembali semua ke dalam laci
Atau lemari
Membiarkannya berdebu hingga nanti
Jika sempat bertemu kembali
Ah, betapa bodohnya.
Na'uudzubiLlaahi min dzaalik

Takut terbiasa



Ujung timur tebet, 23 Mei 2020

Ketika semua seperti jauh dari sudah
Dan terasa semakin sama
Katanya kita harus terbiasa
Menjadi maklum pada yang tak pernah lumrah
Menatapmu separuh wajah
Dengan jarak di antara
Menerka rasa pada binar mata
Adakah kau bicara, tersenyum, tertawa
Atau geram menahan marah
Tanpa hangat erat pelukan atau sekedar tangan yang berjabat
Sesekali melingkar dalam jejaring
Bising namun sepi di keliling
Canggung kala mendadak hening
Terkurung dalam ruang dan waktu yang luang
Masjid yang lengang
Suara muadzin murung kehilangan tuah
Ibadah-ibadah tanpa jamaah
Dalam sempit sehelai sajadah
Sendiri
Ngeri
Jiwa yang pergi
Tak pernah kembali
Tanpa perayaan, penghormatan
Atau sekedar kata perpisahan
Mudah-mudahan ini hanya sementara
Sungguh aku takut jika nanti jadi biasa

Latte dan Croissant Keju

Ujung timur tebet, 4 Mei 2020

Dari dalam jenuh
Ku ketuk pintumu dari jauh
Mencari sela pada jendela
Untuk selipkan rindu
Pada deru suara merdu
Gigi gerigi yang beradu
Semerbak menyeruak
Bersama uap hangat mengasap
Dan cinta yang larut
Hanyut
Dalam bual tanpa asal
Bincang tak berhujung
Gunjing jauh dari rampung
Betapa aku rindu
Pada dulu
Duduk di situ
Di bangku jangkung
Bundar tak bersandar
Tempat biasa ku menunggu
Senyummu membawakanku
Secangkir latte dan croissant keju

Gembira Bicara Tanpa Suara


Ujung timur tebet, 18 April 2020

Kita bertukar kata tanpa suara
Berbagi cerita tanpa bicara
Mencoba mengingat rupa dalam kepala
Berharap untuk tak kehilangan rasa
Dari setiap kata dan tanda baca
Pada awal senja di waktu yang tak biasa
Kita saling melempar sapa serta canda
Sesekali tertawa dengan emoji
Jemari menghibur jiwa dari raga lelah terisolasi
Cerita-cerita tak berfaedah
Soal kopi dalgona dan warung kopi bersahabat lagi ramah
Soal band punk favorit saat SMA
Sekedar menghindar dari jengah
Atas berita dan statistik angka-angka
Perdebatan benar atau salah penambah gelisah
Saat ini
Kita sangat butuh gembira
Walau tidak sempurna
Hingga nanti
Kita bisa lagi bicara
Dengan semestinya

Aku dan Bosku

Ujung timur tebet, 11 April 2020

Si bos makan di dalam, aku menyantap angin malam

Si bos bersama wanita idaman, aku berteman debu jalanan

Si bos bercanda tertawa gembira, aku termangu termenung nelangsa

Si bos menyesap anggur kelas dunia dituang penuh kewaspadaan, aku menyeruput kopi tiga ribuan diseduh serampangan

Si bos menghisap cerutunya dalam-dalam, aku terbatuk asap kretek rasa kemenyan

Si bos mengangguk pelan dialun komposisi rumit produksi musisi berskill tinggi, aku mengangguk terkantuk menahan bosan kesepian selepas radio tutup siaran

Si bos lelap dibelakang, aku tetap terjaga memegang kemudi

Si bos tiba disambut ruang kosong nan dingin, aku disapa bilik sempit penuh kehangatan

Si bos sarapan sambil membaca koran dengan pikiran penuh beban, aku menyesap kopi pahit, gorengan, berteman celoteh penuh kebebasan

Si bos memutar otak seharian, aku mengisi kotak-kotak tts sambil tiduran

Si bos pusing mikir bayar hutang perusahaan dan gaji karyawan, aku sembunyi ditagih bayar kontrakan dan cicilan

Si bos melamun memandang jalan, aku terkaget disalip pemotor sialan

Si bos mengeluh sulitnya hidup, aku teramat akrab dengan beban yang menghimpit

Si bos bilang enaknya jadi aku, aku manggut-manggut tanda setuju

Tini, tawa dan ayahnya

Ujung timur tebet, 3 April 2020

Binar bola matanya
Riang menembus dinding kaca
Batas tebal antara dirinya dan dunia di seberang sana
Berbeda
Lampu menyala aneka warna
Gadis-gadis kecil sebaya
Gembira
Di atas sepatu roda
Lalu dia tertawa
sambil bertanya
Ayah, kapan ajak aku kesana

Sayu sinar matanya
Menatap samar bayang si tini pada dinding kaca
Batas tebal antara dirinya dan harapan di seberang sana
Air mata
Bertanya kenapa tidak di sana
Ingin rasanya ajak tini kesana
Tapi tangan hitamnya
Tak cukup daya
Lirih dia berkata
Kalimat yang selalu sama
Maaf nak, lain waktu saja

Matanya menatap lekat-lekat
Wajah lelah penuh gurat
Ia tersenyum hangat
Memeluk kaki pria itu erat-erat
Binar matanya memberi isyarat
Tidak perlu kau kecewa
Karena tidak juga aku
Tak perlu lain waktu
Aku tidak menunggu
Di sini pun tidak mengapa
Kemudian dia tertawa
Tawa yang persis sama

Dari dalam tenda



Teras danoe - pengalengan, 8 Maret 2020

Alam selalu jadi guru terbaik soal kehidupan
Tanyalah dia tentang semua persoalan
Maka kau akan dapatkan jawaban
Bukan lewat berbaris teks membosankan pada buku-buku tebal berdebu di atas rak perpustakaan
Namun melalui keindahan penciptaan
Tanyalah dia soal harapan
Kau temukan fajar yang merekah
Tanyalah dia soal kelembutan
Kau jumpai senja yang memerah
Tanyalah dia soal kekuatan
Kau dapati gelombang dan badai topan
Tanyakan dia soal keteguhan
Kau temui gunung dan karang
Tanyakan dia soal ketekunan dan kesabaran
Kau lalui tebing tajam dan curam
Tanyakan dia soal kerendahan hati
Kau tertunduk di kaki langit yang tak berhad
Tanyakan dia soal kebijaksanaan
Kau terapung di laut yang dalam
Dan tanyakan dia soal ketulusan
Maka semuanya akan dia berikan
Tanpa balasan
Tanpa bayaran
Semua datang dari dalam hati
Seperti cantigi bagi pendaki
Sepenuh hati
Seperti eidelweis di puncak yang tinggi
Dan akhirnya Menyentuh hati
Karenanya alam selalu mengagumkan

Kembalilah ke alam
Belajar padanya
Jadilah sepertinya
Karena kita sejatinya
Bagian darinya

AlSalaam 28tahun

Ujung timur tebet, 26 Februari 2020


Setelah jauh perjalanan
Ada baiknya berhenti sebentar, melihat kebelakang
Agar ingat dari mana asal melangkah
Apa yang dilewati dan mungkin tak sengaja terlewat
Hingga jelas kemana kaki akan melangkah berikutnya
Sahabat,
Darimu kami memulai perjalanan ini
Karenamu kami sampai pada hari ini
Bersamamu kami akan lalui berbilang tahun di hadapan
Terima kasih atas kepercayaan menjadikan kami bagian dari perjalanan hidupmu

Rindu putih abu-abu

Ujung timur tebet, 25 Februari 2020

Dia datang bersamaan
dengan lalunya angin selatan
Terbawa deras hujan
Terselip pada dingin malam
Tumbuh bak cendawan
Memabukkan otak yang kelelahan
Pada semua yang di hadapan
Musim penghujan
Datangkan rindu pada kenangan
Dari dua puluh tahun silam
Waktu masih berseragam
Putih abu-abu
Saat kata suka mengganti cinta
Karena tidak mengerti cinta itu apa
Hanya sebuah rasa
Menggelitik dada
Membuat malu saat jumpa
Pada dia
Yang wajahnya manis bertahi lalat
Atau dia
Yang ayu bermata sayu
Atau dia
Yang lucu bermuka bulat
Atau dia
Yang merona pipi dan bibirnya
Atau dia
Yang berkerudung
Dan mendung yang murung
Pada sore yang basah
Hanyutkanku dalam kenangan
Ah, indah nian kawan
Kisah cinta si monyet berseragam
Putih abu-abu

Senja lampu merah

Ujung timur tebet, 22 Februari 2020

Di hadapan lampu merah
Sebelum hitam putih yang terbelah
Di sebelah trotoar yang pecah
Kaki-kaki lemah menyanggah
Dua roda sedikit goyah
Jiwa terpenjara
Dalam kotak kecil berbatas kaca
Deru mesin terengah
Pekik klakson jauh dari ramah
Marah-marah
Sabar punah bersama lelah
Sehari penuh memerah
diperah
Mengumpul rupiah
Remah demi remah
Dalam wadah dengan puluhan celah
Ratusan masalah
Tak pernah sudah
Malah kian bertambah
Wajah-wajah gelisah
Datang dari berbagai arah
Di hadapan lampu merah yang kini mulai menyerah
Tak ada yang mau mengalah
Semua sudah
sangat rindu rumah

Kembara: liburan pertengahan bulan

Ujung timur tebet, 16 Februari 2020

Bapak itu bilang ini soal peradaban
Ah, untukku terlalu kajauhan
Dia bilang, ini soal menjadi bangsa bermartabat
Ah, sepertinya amanat itu terlalu berat
Katanya lagi, ini soal membangun organisasi
Ah, rasanya aku hanya mampu mengamini
Dan ini soal membangun pribadi
Ah, yang ini mungkin sebab aku disini
Yah, bagiku baru begini
Tapi jangan menghakimi
Mungkin setelah ini
Siapa sangka
Aku akan punya peran seperti yang bapak harapkan
Mencatatkan nama dalam sejarah peradaban

Sementara itu,
Biar kuceritakan sedikit soal ini dalam versiku
Versi lebih ringan
menenangkan
Sehingga tak lagi jadi momok menakutkan bagi sebagian
Anggaplah ini euforia
Tapi apa salahnya
Biar kau tahu
Betapa senangnya aku

Bagiku, ini hanya sebuah liburan
Pertengahan bulan
Menyenangkan
Nongkrong di pinggir jalan
Bertukar canda menanti omprengan
Berjungkat-jungkit terguncang mobil tua tak berperedam kejut
Tertawa bersama
Ditampar manja angin malam yang cemburu tak diajak bicara
Gembira
Menari, menyanyi dibawah hangat mentari pagi
Berlari berkejaran
kadang dibawah deras hujan
Berbagi cerita
Soal kita
Soal mereka
Soal apa saja
Mengasyikan
Bermain peran menjadi jagoan
Tidak kecewa saat kebagian peran sebagai korban
Bahagia
Terjaga hingga pagi
merapal syair indah menyentuh hati
Berbagi
Menghadir senyum di sudut bibir tua pak kyiai
Dengan bakti sederhana dari hati sepenuh hati

Menyenangkan bukan?
Maka mari bersama kita berdendang
Di sini senang...
Di sana senang...
Dimana-mana hatiku senang...

Karpet selepas sholat

Ujung timur tebet, 8 Februari 2020

Bagimu biasa saja
Tak istimewa
Tak cukup jadikanmu juara
Mengangkat piala
Menjadi berita
Viral di sosial media
Apalagi membuatmu jumawa

Bagimu kurang berarti
Hanya seujung kuku jari
Bukan sesuatu untuk berbangga diri
Tak akan membuat iri
Tak akan jadi sensasi
Pada insta story
Apalagi menginspirasi

Tapi bagiku
Tidak begitu
Tidak melulu seperti itu
Bukan itu
Bagiku kau luar biasa
Karena hatimu tulus bicara
Mengirim rasa pada jiwa
Nyala terang dalam netra
Tuntun tangan mungilmu bekerja
Dalam senyap
Sederhana
Penuh makna
Karena itu aku bertepuk dada
Bangga

Kau hebat
Bukan karena paling kuat
Kau hebat
Bukan karena yang tercepat
Kau hebat
Bukan karena cerdas dan cermat

Tetapi
Kau hebat
Meski hanya karena
melipat karpet selepas sholat

Puncak

Ujung timur tebet, 4 Februari 2020

Merambat
Berjalan pelan
Kemana menuju
Mengapa habiskan waktu
Menunggu termangu
Tidur berselimut debu
Pesing amoniak
Aroma kopi instan
Hirup dalam-dalam
Warna-warna membosankan
Hitam kelam
Merah terang monoton
Kenapa bertahan
Untuk apa
Ada apa
Di atas sana
Di akhir jalan menanjak
Klimaks
Memanja otak
Sesuatu yang tidak ada
Di tanah tempat kita beranjak?
Benarkah?

Kini di sini



Ujung timur tebet, 22 Januari 2020

Kini
Adalah awal sekaligus akhir
Awal bagi riang dan akhir dari murung
Kala sedih menemui tepi pada ambang pagi yang benderang
Saat gelap mulai tersingkap dan mentari naik merayap
Saat air mata menguap lenyap dan semburat cahaya aneka warna mulai melukis canda dan gembira
Ketika mahluk-mahluk angkasa tiba-tiba tiba mengisi kepala
Imaji, mimpi, cita
Dan hantu-hantu masa lalu buru-buru berlalu
Lara, luka, nestapa
Kini Lidah tak lagi ada gairah membincangkan kesah
Dan pena tak lagi butuh menuliskan keluh
Hari ini
Mari sudahi
Elegi rekaan sendiri
Drama satir penuh ratap mengharap simpati
Mulailah berjalan
Dalam halaman-halaman kisah petualangan
Mengasyikan
Berseling romansa cinta
Mesra
dan komedi penuh tawa
Dari sini
Kini

Nanti tua

Ujung timur tebet, 21 Januari 2020

Jika nanti tua
Dengan ilmu yang bertambah
Akankah aku semakin bijaksana
Atau semakin angkuh di mata dunia
Saat jatah hidup semakin dekat
Akankah aku semakin ingat pada akhirat
Atau semakin bungkuk dengan beban maksiat
Ketika tubuh tak lagi gagah, wajah tak tampak ramah
Masihkah ramai orang datang menyapa
Atau sepi kawan satu-satunya disaat senja
Dan ketika tak kuat lagi jemari mengenggam
Masihkah dunia kuat mencengkeram
Atau biji-biji tasbih kian terlekam
Kalau nanti tua
Lalu bagaimana?

Bapak

Ujung timur tebet, 12 Januari 2020

Bapak
Bapa
Ab
Katanya punya makna
Kuat dan keluarga
Kekuatan keluarga
Penyangga keluarga
Pemimpin keluarga
Ah, beratnya

Ayah
Tanda
Keterangan
Petunjuk
Keajaiban
Harusnya demikian
Memberi arah
Menjadi keajaiban
Bagi keluaga
Ah, susahnya

Sepertinya hanya orang nekad yang mau posisi itu. Tapi ternyata banyak yang mau.
Termasuk aku. Merasa mampu. Padahal tidak ada satu ijazahpun yang menyatakan kalau aku begitu. Puluhan tahun sekolah tak pernah belajar soal itu. Paling-paling hanya soal reproduksi. Itu yang sedikit mendekati. Tentang peran sebagai laki-laki
Tapi tidak soal menjadi bapak atau ayah.

Mereka yang tiap hari setia menunggu pelukan dan kecupan. Tak pernah memilih siapa yang menjadi ayahnya. Tapi mereka berhak menaruh harap pada sosok laki-laki yang mereka panggil bapak, abi atau ayah. Berharap memperoleh kekuatan, perlindungan, arahan, dan keajaiban. Dan laki-laki itu wajib menjadi pemenuh harapan. Dan sepanjang yang kutahu. Laki-laki itu aku.

Ah, nak. Seharusnya, aku tak perlu habiskan puluhan tahun sekolah mengejar ijazah demi mendapat kerja, melainkan menghabiskan waktu belajar menjadi bapak. Agar tak pernah kecewa kau menunggu saban sore bahkan malam mengharap sesuatu yang jauh dari kenyataan. Karena laki-laki ini akan datang membawakanmu bukan sekedar pelukan dan kecupan, tapi juga kebahagiaan.

Tapi nak, sayang tidak ada sekolah macam itu dulu. Maka kini, hanya janji yang kutawarkan. Akan upayaku menjadi bapak bagi kalian.

Walaupun tidak pantas, mudah-mudahan kalian maklum!

Menjadi rasa

Ujung timur tebet, 11 Januari 2020

Jangan terlalu dalam rasa
Karena rasa tak benar-benar ada dalam kita
Rasa hanya hasil dari olah minda
Atas apa yang dilihat mata
Didengar telinga
Dikecap lidah
Disentuh tubuh
Dipadu dengan pernah dalam kepala
Jadilah ia rasa
yang sering terbawa sampai dada
Rasa tak pernah beridiri sendiri
Tidak abadi
Hilang datang silih berganti
Kecuali untuk yang tidak menyenangkan hati,
jangan pernah hanya merasa
Tapi jadilah rasa
Jadi besar jangan hanya merasa besar
Cukup merasa kecil jangan menjadi kecil
Jadi pintar jangan hanya merasa pintar
Cukup merasa bodoh jangan menjadi bodoh
Jadi tinggi jangan merasa tinggi
Cukup merasa rendah jangan menjadi rendah
Jadi hebat jangan merasa hebat
Cukup merasa payah, jangan menjadi payah
Dengan menjadi maka abadi
Dengan merasa maka sekejap sirna
Maka,
Jadi!
Dan jadilah!