Ikthiar Bersanding Syukur

Ujung Timur Tebet, 15 Agustus 2010, 21.00 WIB



Dalam tata kalimat sederhana objek akan selalu berada pada posisi terakhir. Pasrah ditimpakan apapun kata kerja yang dikehendaki oleh subjek yang berdiri perkasa di awal kalimat. Dan mengertilah bahwa kita manusia adalah juga sebuah objek. Objek penciptaan hasil kreasi Tuhan, Subjek yang Maha Agung. Karena kita akan senantiasa terikat oleh kehendakNya, maka sepantasnya objek yang baik, kita menerima kehendak tersebut dengan pasrah dan ikhlas. Dan sepantasnya objek yang beriman, kita meyakini bahwa kehendak Tuhan yang menimpa kita adalah semuanya baik untuk kita. Dengan begitu cukuplah kita atas apa yang menjadi kehendakNya dan kemudian senantiasa mensyukurinya.


Namun menjadi objek tidak berarti menceraikan kehendak dari diri seorang manusia. Karena dalam banyak hal manusia tidak melulu menjadi objek, ia pula menjadi subjek yang sudah barang tentu juga berkehendak dan berkeinginan. Manusia adalah subyek dalam menjalani kehidupannya sekaligus menjadi obyek penciptaan yang terikat pada kehendak Penciptanya. Bukankah kehendakNya bergantung pada kehendak kita untuk berusaha. Karena Tuhan tidak akan merubah keadaan suatu kaum sampai mereka merubah keadaannya sendiri. Maka objek yang beriman adalah terlebih dulu menjadi subjek yang berikhtiar, berusaha, dan berjuang baru kemudian ia menjadi objek yang bersyukur.


Dengan demikian rasa syukur tidak boleh diartikan sebagai pasrah dan menyerah. Sebab perjuangan juga merupakan konsekuensi keimanan pada Tuhan. Karena Tuhan melengkapi kita dengan akal bersamaan dengan rasa tidak pernah puas dalam nafsu diri. Keduanya membolehkan kita memiliki mimpi dan cita-cita untuk kemudian meletupkan segala potensi diri dalam perjuangan untuk meraihnya. Namun ketika kehendakNya sudah mengejawantah, tidak ada yang bisa dilakukan selain pasrah dan bersyukur, dan sebelum nyata kehendakNya itu, maka kewajiban kita sebagai yang mengimaniNya untuk berjuang sekuat tenaga.


Menjadi orang yang bersyukur bukan berarti menjadi fatalis yang tak berdaya. Karena syukur bukan berarti menerima mentah-mentah segala sesuatunya tanpa proses perjuangan sebelumnya. Syukur bukan berarti memberikan pipi sebelah kanan ketika yang kiri mendapat tamparan tanpa perlawanan. Syukur bukan pula berarti kita menerima diupah kecil dan tetap pada kemiskinan tanpa ikhtiar merubah nasib. Syukur bukan merasa cukup pada apa yang ada sekarang padahal Tuhan memberikan kesempatan pada kita untuk menerima lebih. Syukur bukan berarti berhenti dan tidak berubah karena yang demikian merupakan pengkhianatan pada kehidupan yang pasti senantiasa bergerak dan berubah. Syukur adalah sikap lapang dada dan berterima kasih yang muncul atas apapun kehendak Tuhan terhadap hasil perjuangan kita yang melelahkan. Maka syukur hendaknya selalu datang mengikuti ikhtiar, karena ikhtiar kan memberikan makna pada lantunan syukur kita kepada Tuhan.


Sadarilah bahwa kita adalah subjek sekaligus objek. Maka berikhtiarlah dengan segenap daya upaya, bersabarlah dalam kesulitan, kepenatan, kejenuhan, serta keletihan yang menyertai perjuangan itu kemudian tersungkurlah dalam sujud mensyukuri apapun takdir Tuhan atas apa yang telah kau upayakan. Berjuanglah, bertawakallah dan kemudian bersyukurlah.