Bayangkan


Ujung timur tebet, 27 Februari 2022


Lennon, kawan kecilku, pernah menyuruhku membayangkan apa jadinya kalau-kalau dunia tidak pernah kenal surga dan agama, tidak ada negara, dan manusia tidak punya nafsu menguasai. Katanya dunia akan jadi damai sebab tidak ada sesuatu untuk dipertengkarkan dan jadi alasan untuk saling bunuh. Katanya lagi, umat dunia akan dapat hidup berdampingan dalam dunia yang satu.

Dulu, aku tak pernah benar-benar membayangkan apa yang dia bilang. Mencoba saja tidak. Walaupun katanya itu bukan hal yang susah-susah amat. Mungkin aku masih terlalu kecil untuk memahami apa yang dia maksud. Mungkin juga karena dulu aku tidak bisa bahasa inggris. Jadilah bagiku apa yang diutarakan Lennon hanya sebuah alunan nada yang kunikmati sambil tidur-tiduran di ruang tengah. 

Namun, akhir-akhir ini mimpi kawan masa kecilku ini kembali mengalun dan menggema di ruang kepala. Kini aku bukan hanya sekedar mendengar alunan nada yang nikmat, tapi juga mulai dapat merasakan keresahannya. Resah yang sama yang mungkin menjadi hal ihwal ditulisnya lagu itu. Resah yang kini memudahkan ku untuk membayangkan sederet kalimat yang dulu aku tidak pahami itu. 

Kini aku bisa paham kenapa ketiadaan surga, agama, negara, dan kekuasaan menjadi syarat dari dunia yang lebih baik dalam imajinasi Lennon. Keempat hal ini selalu dijadikan alasan dan pembenaran atas kegaduhan di muka bumi. Walaupun bisa jadi yang salah bukan keempat hal tadi, tapi manusia sebagai pelakunyalah yang salah. Namun, mungkin saking sebalnya, dia langsung ambil singkatnya saja. Toh tidak mungkin membayangkan dunia tanpa manusia. Dan mebayangkan manusia mengekang hawa nafsunya sepertinya mustahil. Jadi lebih baik objeknya saja yang ditiadakan.

Sepertinya sekarang semua menjadi lebih relevan buatku. Terlebih dengan rasa muak ku pada politik di negeri ini. Mungkin itu sebabnya pula aku berandai negeri ini hari ini tidak ada yang namanya politik. Biang dari kekisruhan yang terjadi, hari ini, di negeri ini. Tentu bukan politiknya yang salah, tapi pelakunya yang salah pakai. Tapi sama seperti kesimpulan dari mimpi Lennon, sepertinya lebih simpel kalau politiknya saja yang dihilangkan. 

Tanpa politik sepertinya kita bisa menikmati hubungan yang akrab antar sesama dilandaskan ketulusan bukan karena keinginan mempengaruhi satu sama lain demi suara dalam bilik pemilu. Tanpa politik mungkin tidak ada energi yang terbuang percuma mencari cela dari kerja orang lain karena kita semua akan sibuk dengan karya. Tanpa politik mungkin tidak ada keributan dunia maya yang terdengar bising hingga ke dunia nyata. Tanpa politik tidak perlu risau soal statistik dukung mendukung yang entah benar entah tidak.

Dan tanpa politik bisa jadi tidak ada korupsi. Karena politik perlu biaya, maka uang dan politik seperti sahabat setia. Karena politik bisa jadi mata pencaharian, maka politik dan uang tidak dapat dipisahkan. Ini sepertinya berlaku pada tiap tingkat politik, baik tingkat tinggi maupun tingkat kampung. Jadi wajarkan kalo politik adalah tanah tempat korupsi tumbuh? Dan kalau tanahnya tidak ada maka tidak akan ada yang tumbuh. 

Maka coba bayangkan kalau politik tidak ada.  Kau mungkin bilang aku pemimpi tapi mungkin aku bukan satu-satunya. 



Video diambil dari youtube (imagine - john lennon?)