Tuti

Ujung timur tebet, 23 desember 2010, 01:20 WIB


sebentar lagi

emak bapak

tuti kembang desa

kerbauku slamet

kicau si badut

kopi tubruk

singkong rebus

embun pagi

emak bapak

tuti kembang desa

kali

sawah

kidung senja

hening

rembulan

emak bapak

tuti kembang desa

”Maaf, Tiket Habis!!”

Ganjil

Ujung Timur Tebet, 21 Desember 2010 03:15WIB

ia mencintaiku dengan ganjil
ada di antara tiada
tak nyata namun terasa
tersembunyi tak terungkap
lembut, hangat
suci, bersahabat
aku mencintainya dengan ganjil
ada namun tiada
nyata tanpa rasa
terumbar dalam kata
lembut, hangat
palsu, khianat
tapi ia tetap mencintaiku
begitu ganjil

MENELUSURI KELUHURAN PASAR DAN LEMBAGA KEUANGAN

Ujung timur tebet, 6 Oktober 2010, 01:35WIB


Peradaban manusia berubah dan berkembang mengikuti semakin rumitnya pola hubungan antar manusia. Kemampuan manusia untuk berpikir memungkinkan dirinya menciptakan inovasi sebagai solusi atas segala permasalahan yang ditemuinya di dalam hidup sehingga dapat berdamai dengannya. Kelebihan inilah yang mungkin menyebabkan manusia menjadi spesies paling tahan lama di atas bumi. Manusia mampu menyesuaikan diri dengan berbagai macam keadaan dan menjawab semua tantangan zaman.


Tak terkecuali pasar dan lembaga keuangan. Ia adalah hasil buah pikir manusia dalam menjawab tantangan kehidupan dalam hal ekonomi. Kompleksitas pasar, lembaga keuangan, dan segala instrumennya hari ini adalah sebuah jawab manusia atas tuntutan untuk memperoleh kesejahteraan ekonomi yang lebih baik untuk semua. Kalaupun dalam prakteknya boleh jadi, dan sudah terbukti, tidak demikian adalah suatu hal yang lain. Maka untuk meresapi semangat luhur dari inovasi di pasar dan lembaga keuangan, sangat bermanfaat untuk melihat fase-fase yang telah dilewati oleh pasar dan lembaga keuangan hingga hari ini.


Mari kita mulai dari titik nol, dimana manusia masih melakukan transaksi ekonomi secara sederhana. Bukan, bukan itu. Ini lebih maju daripada transaksi primitive tukar barang atau yang lazim disebut barter. Di sini pertukaran sudah dilakukan dengan menggunakan mata uang hanya saja perpindahannya hanya dapat dilakukan melalui perdagangan barang maupun jasa.


Dan demi kepentingan kita kembali ke titik nol ini yaitu untuk memahami semangat luhur tercipatanya pasar dan lembaga keuangan, mari kita buat ilustrasi sederhana yang mungkin agak ekstrim sebagai berikut.


Sebutlah dalam perkenomian di titik nol ini hanya terdapat dua orang homo economicus: A dan B. A adalah orang yang diberkahi Tuhan dengan kepemilikan atas sumber daya berlebih dan menjadi sangat kaya raya. Sedangkan B, kasih sayang Tuhan menghantarkannya menjadi orang yang berkekurangan namun penuh kesabaran. A memiliki kekayaan sebesar tiga ribu dinar dan mengkonsumsi dua ribu dinar sehingga tersisa seribu dinar di kotak uangnya karena tak punya lagi kapasitas untuk memanfaatkannya. Si miskin B memiliki seribu dinar dan mengkonsumsi semuanya hingga tak ada lagi yang tersisa walaupun masih membutuhkan. Dalam kondisi seperti ini keluaran perekonomian titik nol ini berjumlah tiga ribu dinar dengan seribu dinar menganggur tak termanfaatkan di kotak uang si kaya A plus potensi produktivitas B yang terabaikan karena tak punya cukup dinar.


Kiranya A dapat memberikan dinarnya yang tersisa kepada B atau B dapat memanfaatkan dinar yang teronggok di kotak uang A, tentulah keluaran ekonomi akan menjadi lebih besar, mengisyaratkan kesejahteraan yang bertambah. Maka kemudian kita beranjak dari titik nol. Untuk itu mari kita hadirkan satu lagi homo economicus:bank.


Bank hadir mengambil peran perantara yang menghubungkan A yang berlebihan dana dengan B yang membutuhkan dana. Sederhananya seperti ini. Bank bersedia menjadi tempat penitipan uang bagi A dan menjamin keberadaannya bahkan memberikan tambahan atas uang tersebut. Dan demi memberikan tambahan tersebut, bank akan meminjamkan uang A kepada B dan memungut pula tambahan atas uang yang dipinjamkan. Tentu tambahan yang dipungut jumlahnya lebih besar dari yang akan diberikan karena dengan begini bank dapat memperoleh keuntungan sehingga mau mengambil peran sebagai perantara. Oh ya, singkirkan dulu yah perdebatan mengenai boleh tidaknya praktek ambil keuntungan seperti ini karena bukan ini maksud dan tujuan kita jauh-jauh pergi ke titik ini.


Dengan hadirnya bank, di titik nol plus satu ini, konfigurasi perekonomian akan menjadi seperti ini. A mengkonsumsi dua ribu dinar dan menitipkan seribu sisanya kepada bank. Bank meminjamkan seribu dinar tersebut kepada B. Kemudian B mengkonsumsi seribu dinar ditambah seribu dinar hasil pinjamannya sehingga konsumsinya menjadi dua ribu pula. Lalu Bank memungut tambahan dari B sebesar seratus dinar dan memberikan lima puluh dinar untuk A dan mengambi sisanya sebagai keuntungan. Dengan hadirnya bank keluaran ekonomi naik menjadi empat ribu. (A:2000 B:2000). Dan tentu tumbuhnya ekonomi menandakan peningkatan kesejahteraan.


Sampai sini tentu sudah terasa bukan semangat luhur dari hadirnya lembaga keuangan. Lalu bagaimana dengan pasar? Sabar sebentar. Mari kita berjalan lagi ke titik nol plus satu plus satu.


Sebagai manusia eknomis, A dan B tentu selalu ingin mendapatkan keuntungan lebih dari transaksi ekonominya. Oleh karena itu A pun mulai berpikir untuk mendapatkan keuntungan lebih dari dinarnya yang menganggur. Sedang B juga berpikir bagaimana untuk mendapatkan pinjaman yang lebih murah. Gayung pun bersambut, A dan B kemudian bertemu di sebuah tempat dan melakukan perjanjian bahwa A akan meminjamkan kelebihan dananya yang sebesar seribu dinar kepada B dengan syarat B akan mengembalikannya dengan tambahan sebesar delapan puluh dinar. Maka semuanya senang. A akan dapat lebih banyak dibandingkan menitipkan uangnya kepada bank dan B membayar lebih sedikit untuk uang yang dipinjamnya.


Di tempat itu, yang kemudian disebut pasar modal, beredarlah berbagai macam perjanjian antara orang-orang kelebihan uang seperti A dan membutuhkan uang layaknya B. Perjanjian itu bisa berbentuk hutang-piutang ataupun kerjasama permodalan. Intinya, pasar memfasilitasi pertumbuhan ekonomi dengan ongkos yang lebih murah. Maka betapa tak kalah luhurnya motivasi hadirnya pasar dalam perekonomian di titik nol plus satu plus satu.


Sudah semakin dapat meresapi keluhuran dibalik keberadaan pasar dan lembaga keuangan? Kalau sudah mari kita beranjak lebih jauh lagi dari titik nol. Dan beginilah ceritanya.


Tidak ada yang pasti dalam hidup ini dan tidak ada pula yang dapat memastikan apa yang akan terjadi hari ini, esok hari atau lusa nanti. A dan B pun sangat meyakini akan hal ini. A mulai mengalami keraguan untuk meminjamkan dinar-dinarnya yang berlebih. Bagaimana kalau ternyata B tidak melunasi hutangnya? atau imbalan dan pinjamannya tidak seperti yang dijanjikan atau diharapkan? Pun demikan B yang ragu untuk meminjam uang karena takut tidak dapat mengembalikanya. Bagaimana kalau usahanya bangkrut? Bagaimana jika harga jual produknya turun sehingga hasil usahanya tak sesuai harapan? Kalau sudah begini A tidak mau meminjamkan uang dan B urung meminjam uang untuk meningkatkan produktivitasnya.


Ketidakpastian atau risiko pun menjadi penghalang tumbuhnya perekonomian. Lalu bagaimana nasib pasar dan lembaga keuangan yang sudah hadir dengan segala keluhurannya? Menjadi mandul dalam menjalankan fungsi intermediasi dan pendorong pertumbuhan ekonomi?


Di titik nol plus satu plus satu plus satu ini, semangat luhur yang melatarbelakangi hadirnya pasar dan lembaga keuangan mengejawantah dalam perkembangan keduanya beserta produk-produknya yang memungkinkan dilakukannya pengelolaan risiko. Kompleksitas lembaga keuangan dan instrumennya yang telah berkembang di titik ini memungkinkan ketidakpastian untuk dapat dikendalikan. Dengan begini arus dana dari A dan B tetap dapat terjadi tanpa perlu ada yang dikhawatirkan. Maka mari kita hadirkan asuransi dan instrument derivative sebagai fasilitator untuk A dan B mengusir keraguannya. Hasilnya: ekonomi tetap tumbuh, kesejahteraan tetap meningkat.


Sepertinya di titik ini kita harus berhenti karena semuanya pun sudah lebih jelas. Hikmahnya? Pasar dan lembaga keuangan hadir untuk memungkinkan perpindahan dana dari mereka yang berlebih kepada mereka yang membutuhkan. Pasar dan lembaga keuangan memungkinkan alokasi sumber daya (dana) secara efisien sehingga tidak ada yang tidak termanfaatkan. Keduanya mendorong produktivitas yang berujung pada pertumbuhan ekonomi yang juga berarti kesejahteran.


Itulah semangat luhur di balik perkembangan keduanya yang hari ini menjadi kompleks. Dan kalau hari ini semangat itu sudah luntur hingga tidak terasa lagi pada kenyataanya, dimana pasar dan lembaga keuangan lebih sering menjadi biang keladi terjadinya krisis, menguntungkan yang satu dan mempailitkan yang lain, mungkin kita harus segera beranjak ke titik plus berikutnya dari titik ini. Mengutip kata Sitglitz: kalau kecelakaan kerap kali terjadi di sebuah jalan maka kita harus memperbaiki jalannya bukan pengemudinya.

KONVERGENSI IFRS – PSAK, DIVERGENSI AKADEMISI DAN PRAKTISI, KEINDAHAN TEORI DAN KERUWETAN IMPLEMENTASI

www.kertaspenadanmesintik.blogspot.com

Sudirman, 21 September 2010, 12:46


Konsekuensi dari sebuah era bernama globalisasi adalah menjadi kurang relevannya lagi batas-batas geografis beserta apapun yang bersifat lokal yang ada di dalamnya sebagai tolok ukur perilaku manusia. Interaksi manusia yang semakin bersifat global tersebut memerlukan penyetaraan atas nilai-nilai lokal yang pasti berbeda-beda sehingga sebuah standar global yang diterima semua pihak di seluruh belahan dunia mutlak diperlukan. Oleh karena itu bagi mereka yang berinteraksi lintas batas geografis, dan ingin diterima dalam pergaulan internasional, wajib mengikuti standar global yang lebih lazim disebut standar internasional.


Semua hal-hal penting yang menyangkut hajat hidup manusia dunia kini dibuatkan standarnya. Dibentuklah lembaga-lembaga internasional berisikan orang-orang pintar dari seluruh penjuru dunia (atau penjuru dunia bagian barat saja ya?) untuk memikirkan, membuat, dan menetapkan standar-standar yang berlaku mendunia. Sebuah pekerjaan yang tentu saja sulit.


Namun penerapannya pun tak kalah sulit. Karena tentu saja menyeragamkan perbedaan yang mengakar adalah hal yang susah luar biasa. Belum lagi tantangan dari mereka yang enggan berubah dengan alasan memegang teguh apa yang lahir dari akar budayanya sehingga tentu dirasa lebih sesuai dengan kondisinya. Maka pastilah penerapan ini akan memakan biaya finansial juga sosial.


Dulu waktu kuliah di negeri kangguru sempat juga ikut-ikutan mempelajari sebuah standar internasional untuk industri perbankan dengan segala kerumitannya untuk di adopsi pada bank-bank lokal. Basel II accord, demikian standar itu disebut. Kala itu dibahas bagaimana bank-bank di negeri kangguru itu menghabiskan jutaan dollar untuk dapat mengimplementasikan standard baru yang ditetapkan sebuah lembaga yang ribuan kilometer jaraknya dari Australia. Itu baru dari sisi materi, belum lagi yang non materiil seperti penat dan letih untuk memutar otak memikirkan bagaimana baiknya menerapkan standar tersebut juga dampak dari penerapannya. Tapi demi eksistensi di pergaulan internasional, sepertinya semuanya tidak jadi masalah.


Berselang tahun dari masa kuliah itu, atas desakan kantor, saya terpaksa mengikuti sebuah training mengenai konvergensi IFRS dengan PSAK. Bagi anda yang belum tahu, IFRS adalah standar akuntansi internasional dan PSAK adalah standar akuntansi yang berlaku di Indonesia. Sebagai sumber informasi utama sebuah usaha, sudah barang tentu laporan keuangan memerlukan penyeragaman standar untuk memudahkan pengguna laporan tersebut yang mungkin berada di berbagai Negara berbeda. Dan sebagai Negara yang menganut politik hubungan luar negeri yang bebas aktif, maka sepantasnya Indonesia juga mulai menerapkan standar akuntansi internasional. PSAK yang dulu berbasis US GAAP harus diselaraskan dengan IFRS sebagai standar internasional. Sederhananya, akuntan Indonesia yang keamerika-amerikaan kini harus go internasional!


Saya tidak hendak melakukan analisa, kritik, atau telaah akademik maupun popular mengenai konvergensi IFRS tersebut. Karena memang saya bukan pengamat akuntansi, praktisi atau akademisi yang memahami seluk beluk permasalahan ini sehingga berkompeten untuk melakukan hal tersebut. Tapi saya cuma sekadar ingin menuliskan beberapa hal yang tertinggal di kepala saat mengikuti training yang diwajibkan oleh tempat saya mencari rizki. Siapa tahu anda-anda yang lebih ahli bisa membantu saya menjawabnya.


Hal pertama yang segera tertinggal, mungkin lebih karena keengganan saya untuk menerima perubahan, adalah betapa sulitnya mengimplementasikan standar-standar baru itu. Terbayang sudah keribetan juga keruwetan secara operasional memperoleh data transaksi, mengklasifikasikannya, menghitungnya, membukukannya plus melakukan perubahan pada sistem SAP kantor agar perubahan-perubahan ini tidak dilakukan secara manual. Saya sangat yakin keribetan dan keruwetan yang sama juga dialami oleh para akuntan di perusahaan-perusahaan lain. Ditengah bayangan menakutkan akan keruwetan yang akan menambah beban kerja, sangat sulit bagi saya membayangkan nilai tambah atau manfaat yang diperoleh dari perubahan tersebut, selain sebuah prestasi mendapatkan sertifikat “wajar tanpa pengecualian” di akhir tahun.


Hal diatas meninggalkan hal kedua di kompartemen memori otak saya yaitu apakah para pencipta standar sudah mempertimbangkan kesulitan operasional dari penerapan standar ini, termasuk kesulitan karena perbedaan karakter industri dan masing-masing perusahaan yang berbeda. Saya yakin, semestinya hal ini sudah pula dipikirkan oleh bapak dan ibu pintar pembuat standar karenanya diberikan waktu untuk melakukan penyesuaian dan transisi. Dan bukankah itulah gunanya standar, menyamakan yang berbeda. Lagipula, IFRS menganut principle-based standard bukan rule-based standard sehingga ruang penyesuaian dengan kondisi masing-masing entitas (menggantikan term perusahaan sesuai standard baru –pen) sangat terbuka lebar. Tetapi sejatinya kendala implementasi tetap harus menjadi perhatian utama sehingga standar-standar bukan hanya menjadi sebuah wacana teoritis yang indah tapi tidak layak diterapkan.


Standar baru yang berbasis prinsip dan membuka ruang lebar untuk interpretasi meninggalkan hal ketiga dalam benak saya. Peluang untuk melakukan interpretasi memungkinkan subjektivitas masuk ke dalam perlaporan keuangan. Ditambah dengan asumsi-asumsi yang wajib digunakan karena penggunaan nilai wajar dalam banyak pengukuran, laporan keuangan antar perusahaan menjadi lebih mungkin untuk berbeda. Kalau begini tujuan utama standarisasi menjadi tidak tercapai. Perbedaan laporan keuangan menjadi lebih luas dari sekedar perbedaan metode akuntansi yang digunakan menjadi perbedaan karena subjektivitas interpretasi dan asumsi-asumsi yang digunakan. Hal keempat pun tertinggal di alam pikir: keraguan atas kualitas informasi laporan keuangan yang mungkin subjektif dan asumtif.


Saya pun teringat dengan para pengguna laporan keuangan, para direktur, manajer, investor dan lainnya. Seberapa pahamkah mereka dengan perubahan-perubahan yang terjadi dan masih akan terjadi. Mengertikah mereka dengan asumsi-asumsi yang diatasnya dibangun angka-angka yang menyusun laporan keuangan. Jikalau tidak, laporan keuangan bisa memberikan informasi yang sesat lagi menyesatkan. Hal kelima yang tinggal: tingkat literasi pengguna laporan keuangan.


Lima hal di atas yang tertinggal di kepala saya mungkin tidak terlalu penting dan pasti sudah ada jawabannya. Namun, lima hal tersebut saya mendorong saya untuk memikirkan hal-hal yang mungkin tidak penting juga sebagai berikut yang mungkin bisa dianggap sebagai sebuah kesimpulan.


Konvergensi IFRS dengan PSAK adalah sebuah keniscayaan mengingat kebutuhan global akan infromasi laporan keuangan yang seragam sangat diperlukan sehingga pengambilan keputusan keuangan dapat dicapai dengan lebih baik. Tetapi bijaksananya penerapan ini harus mempertimbangkan kesulitan-kesulitan operasional sehingga standa-standar tersebut layak diterapkan. Training dan workshop yang lebih teknis untuk penyiap-penyiap laporan keuangan di masing-masing perusahaan mutlak dibutuhkan dengan mempertimbangkan perbedaan-perbedaan proses bisnis yang ada. Tingkat literasi penguna laporan keuangan setelah perubahan standar harus diperhatikan sehingga informasi yang ingin disajikan tepat sasaran. Terakhir, lembaga-lembaga penunjang dirasa diperlukan untuk menjembatani perbedaan interpretasi atau bahkan menstandarisasi asumsi-asumsi yang digunakan. Dengan begini mungkin standar-standar ini bisa menjadi lebih dari sekedar wacana para professor.


Sekali lagi, tulisan diatas bukanlah hendak melakukan analisa, kiritik, telaah akademik maupun popular, karena penulis yang bersangkutan tentu jauh dari kompeten.

Mencari Aku

Baitul Ihsan, 25 Ramadhan 1431H 02:00WIB


dalam gelap kutemui kelam

dalam terang kutemui benderang

dalam tinggi kutemui menjulang

dalam rendah kutemui dekat

dalam luas kutemui lapang

dalam sempit kutemui sahaja

dalam besar kutemui megah

dalam kecil kutemui sederhana

dalam engkau kutemui jelita

dalam aku…

kucari aku…

tak kutemui aku!

Ikthiar Bersanding Syukur

Ujung Timur Tebet, 15 Agustus 2010, 21.00 WIB



Dalam tata kalimat sederhana objek akan selalu berada pada posisi terakhir. Pasrah ditimpakan apapun kata kerja yang dikehendaki oleh subjek yang berdiri perkasa di awal kalimat. Dan mengertilah bahwa kita manusia adalah juga sebuah objek. Objek penciptaan hasil kreasi Tuhan, Subjek yang Maha Agung. Karena kita akan senantiasa terikat oleh kehendakNya, maka sepantasnya objek yang baik, kita menerima kehendak tersebut dengan pasrah dan ikhlas. Dan sepantasnya objek yang beriman, kita meyakini bahwa kehendak Tuhan yang menimpa kita adalah semuanya baik untuk kita. Dengan begitu cukuplah kita atas apa yang menjadi kehendakNya dan kemudian senantiasa mensyukurinya.


Namun menjadi objek tidak berarti menceraikan kehendak dari diri seorang manusia. Karena dalam banyak hal manusia tidak melulu menjadi objek, ia pula menjadi subjek yang sudah barang tentu juga berkehendak dan berkeinginan. Manusia adalah subyek dalam menjalani kehidupannya sekaligus menjadi obyek penciptaan yang terikat pada kehendak Penciptanya. Bukankah kehendakNya bergantung pada kehendak kita untuk berusaha. Karena Tuhan tidak akan merubah keadaan suatu kaum sampai mereka merubah keadaannya sendiri. Maka objek yang beriman adalah terlebih dulu menjadi subjek yang berikhtiar, berusaha, dan berjuang baru kemudian ia menjadi objek yang bersyukur.


Dengan demikian rasa syukur tidak boleh diartikan sebagai pasrah dan menyerah. Sebab perjuangan juga merupakan konsekuensi keimanan pada Tuhan. Karena Tuhan melengkapi kita dengan akal bersamaan dengan rasa tidak pernah puas dalam nafsu diri. Keduanya membolehkan kita memiliki mimpi dan cita-cita untuk kemudian meletupkan segala potensi diri dalam perjuangan untuk meraihnya. Namun ketika kehendakNya sudah mengejawantah, tidak ada yang bisa dilakukan selain pasrah dan bersyukur, dan sebelum nyata kehendakNya itu, maka kewajiban kita sebagai yang mengimaniNya untuk berjuang sekuat tenaga.


Menjadi orang yang bersyukur bukan berarti menjadi fatalis yang tak berdaya. Karena syukur bukan berarti menerima mentah-mentah segala sesuatunya tanpa proses perjuangan sebelumnya. Syukur bukan berarti memberikan pipi sebelah kanan ketika yang kiri mendapat tamparan tanpa perlawanan. Syukur bukan pula berarti kita menerima diupah kecil dan tetap pada kemiskinan tanpa ikhtiar merubah nasib. Syukur bukan merasa cukup pada apa yang ada sekarang padahal Tuhan memberikan kesempatan pada kita untuk menerima lebih. Syukur bukan berarti berhenti dan tidak berubah karena yang demikian merupakan pengkhianatan pada kehidupan yang pasti senantiasa bergerak dan berubah. Syukur adalah sikap lapang dada dan berterima kasih yang muncul atas apapun kehendak Tuhan terhadap hasil perjuangan kita yang melelahkan. Maka syukur hendaknya selalu datang mengikuti ikhtiar, karena ikhtiar kan memberikan makna pada lantunan syukur kita kepada Tuhan.


Sadarilah bahwa kita adalah subjek sekaligus objek. Maka berikhtiarlah dengan segenap daya upaya, bersabarlah dalam kesulitan, kepenatan, kejenuhan, serta keletihan yang menyertai perjuangan itu kemudian tersungkurlah dalam sujud mensyukuri apapun takdir Tuhan atas apa yang telah kau upayakan. Berjuanglah, bertawakallah dan kemudian bersyukurlah.

Ghifara Renungi Ilmi : Sebuah penegasan…

Ujung Timur Tebet, 26 Juli 2010, 23.25 WIB


Waktu. Salah satu dari sekian banyak bukti kebesaran Tuhan. Karena waktu kita ada dan kemudian tiada. Di dalam waktu kita hidup, bergerak, berubah, lalu hilang. Tanpa waktu mungkin tak ada hidup dan tentu pula tiada mati. Dan di dalam waktu Tuhan melakukan kuasaNya mencipta. Sungguh pada berjalannya waktu, pada silih bergantinya siang dan malam terdapat tanda-tanda kebesaran Tuhan.


Sepertinya kau ingin menegaskan akan hal ini kepada kami melalui kehadiranmu. Di pagi yang begitu dini, di sebuah hari yang begitu awal, tangismu yang lantang meneguhkan keyakinan kami semakin dalam akan kebesaran Tuhan, akan kemutlakan kehendakNya, juga kemurahan kasih sayangNya yang senantiasa membungkus takdirNya. Hari ini, tidak hanya mencukupkan, tapi telah Ia lebihkan anugrah nikmatNya atas kami. Karena itu kami sambut dirimu dengan bulir air mata tanda kesyukuran dan kekhusyukan dalam penghayatan kebesaran Tuhan yang mengejawantah pada prosesi kehadiranmu. Sungguh tidak ada nikmatNya yang patut kami dustakan.


Bersama syukur kami panjatkan doa untukmu agar Tuhan penuhi bertangkai-tangkai harap kami atas dirimu. Tangkai-tangkai yang telah kami rangkai menjadi sebuah nama yang kami hadiahkan untukmu, Ghifara Renungi Ilmi.


Ghifara. Hidup adalah sebuah perjuangan dan kemuliaan hidup hanya diperoleh oleh mereka yang berjuang. Karenanya jadilah engkau seorang pejuang, bagi dirimu dan bagi mereka yang tak punya daya untuk memperjuangkan dirinya. Berjuanglah untuk memperbaiki diri hingga tak ada ruang bagi sifat buruk bersemayam di dalam dirimu. Berjuanglah untuk semakin dekat dengan Tuhan hingga Ia memilihmu menjadi kekasihNya. Berjuanglah untuk meraih cita-citamu hingga Tuhan menetapkan takdirNya atasmu dan kemudian bertawakallah. Berjuanglah untuk kebenaran. Berdirilah dibaris depan khafilah pejuang kebenaran bersama para pejuang kebenaran yang ikhlas. Lantangkanlah kalimat kebenaran di hadapan kawan, lawan juga tiran. Berjuanglah dengan kelembutan bukan kekerasan. Berjuanglah dengan cinta bukan kebencian. Berjuanglah dengan dzikir serta fikir dan bukan caci dan emosi.


Renungi Ilmi. Mereka yang ditinggikan derajatnya oleh Tuhan adalah mereka yang memiliki kebijaksanaan ilmu. Jadilah kau wanita yang berkedudukan tinggi karena kekayaanmu atas ilmu dan bukan lainnya. Cemplungkanlah dirimu pada samudera ilmu yang luas tak bertepi dan dalam tak berdasar. Benamkanlah dirimu dan selami kedalaman hikmahnya hingga engkau menjadi bijaksana karenanya. Jelajahilah keluasan maknanya hingga engkau mengerti akan hakikat kehidupan. Renungilah apa yang ada di sekelilingmu karena setiap detiknya adalah tetesan ilmu. Jadikanlah ilmu sebagai penuntunmu. Biarkan ia menjadi cahaya benderang yang menerangimu melalui gelapnya lorong kehidupan Biarkan ia menjadi perahu yang melayarkanmu mendekati Tuhanmu. Carilah ilmu, pelajarilah, ajarkanlah, kuasailah, renungkanlah, dan tentu, amalkanlah!


Ghifara Renungi Ilmi, putriku, doa kami untukmu, jadilah wanita sholehah yang wajah dan hatinya bersinar karena ibadah. Jadilah wanita terhormat yang senantiasa menjaga kehormatan diri dan keluarga. Jadilah seseorang yang senantiasa mengisi hidupnya dengan amal kebajikan. Bermanfaatlah bagi orang lain karena itulah sabaik-baiknya manusia.


Di hening malam bersama gumam dzikir para pencinta Tuhan, kami dendangkan kalimatNya di kedua telinga mungilmu sebagai pengantar bagi dirimu mengarungi samudera kehidupan dengan kebaikan. Sungguh Tuhan maha mendengar dan menjawab doa. Amiin!

DO THE POOR REALLY NEED CREDIT?

Ujung Timur Tebet, 12 Juli 2010, 01.00 wib

Financial system contributes to the economic growth by ensuring efficient resource allocation to the most needed sector. It provides channels by which funds are transferred from those with surplus fund to those with deficit. The system prevents funds to be left abundant yet it ensures that funds are well used in productive activity. In this case, both the surplus unit and the deficit unit are better off. The surplus unit earns return from the fund lent whilst the deficit unit receives the capital needed to consume. This is how financial system supports the economy to develop and grow further.


The above argument has ignited the idea of providing loan to the poor as part of development programs. Such loan provision might help the poor to lift themselves out of poverty by providing necessary capital to set up a productive-income-generating activity. It is strongly believed that Microcredit will make self-employment and small enterprise possible for the poor, a requisite condition to jump out the poverty line.


A strong empirical support of the above was coming from the Nobel-Prize-Winner Yunus whit his Grameen Bank. Yunus was considered successful in providing small loan to the people of a poor village in Bangladesh so that it has been referred as one of the pioneer of a microfinance program in poverty alleviation strategy by the United Nation (Lard and Barres, 2007 cited by Santen 2010). The concept of Grameen has gained wide popularity and been replicated throughout the world. Since Grameen, a different concept of microfinance has also emerged backed with the strong conjecture of the ability of microloan to change the lives of the poor - a belief that needs further evidence, though.


The impact of microloan have on poverty has been an immense debates, yet a conclusive one. Most influential study by Pitt and Khandker (1998) showed a positive impact that microcredit has on consumption of the poor especially those provided to women. Asside of having criticized on Pitt and Khandker’s work by suggesting no difference in consumption level between those who have access to microcredit and who do not, Morduch (1998) favorably found that access to credit allows the poor to smooth their income as well as their consumption, factors that are also very important for the poor. Following the work, Khandker (2005) strengthens the evidence by asserting that microcredit does reduce the poverty among the poor through increasing consumption and growing local income. However, revisiting the same data and replicating the three previous studies, Roodman & Morduch (2009), weakens the result of the studies.


Despite of the contradicting results, one should question whether that the increasing consumption actually relates to the income or profit from the business financed by the microcredit or the increasing consumption is directly financed by the credit obtained and not through increasing productivity as it originally expected. The previous suggest a successful microcredit program and the later shows otherwise. Microcredit should be an income aid not a consumption aid (Magner, 2007).


A review on the history of microcredit done by Dichter (2007) suggests that such credit was often used by the poor for consumption and rarely for business investment. Here microcredit is unlikely to fulfill the demand of capital to start a business yet it is more likely satisfying the consumptive desire of an individual. As such, the provision of credit may jeopardize the livelihood of the poor by putting them further down in the valley of debt thus keeping them below poverty line instead of taking them out. As cited by Dichter (2010), Milford Bateman argues much of microfinance work prevents growth and is “anti-developmental”


More recent study by Bernajee et. al. (2009) provides additional insight in regards to the impact of microcredit on household consumption. Whilst did find a positive correlation between microcredit and profit of micro-enterprise and household expenditure, their study also reveals different nature of expenditures across different household. Their randomized evaluation suggest that those who already have a business or have the potential to start a business is likely to use the credit to expand its existing business and as initial investment. In this case, increasing consumption is likely related to betterment in productivity of the poor. On contrary, among households who do not own a business and have no potential to start one use microcredit to increase their spending for nondurable and unproductive goods (e.g. food) or to pay more expensive debts. In such case, microcredit is very unlikely to have a productivity impact, hence, doubtly can reduce poverty.


Most of the pioneer studies on microfinance impact take the household consumption as an indicator to observe the microcredit impact on the lives of the poor. Nevertheless, whether that higher consumption is really suggesting that the live of the poor has been improved is another issue that should be examined further. In addition, poverty is a very complex social phenomenon which goes far beyond consumption and expenditure rate. Its dimensions include access to education, health, gender equality, empowerment and other social issues. How microfinance is affecting those social issues surrounding poverty is not really a clear cut.


Bernajee et. al ‘s (2009) randomized study on microfinance impact conclude that though it is successful in affecting household expenditures and promoting business activity, the success story does not reappear when examining microfinance’s effect on the core issues of poverty: education, health and empowerment. Nevertheless they argue, on longer term, the higher expenditures and profit may translate into a better education, health and women empowerments among the poor.


A more pessimistic view is sounded by Dichter (2007). Intriguing by saying microfinance as a longstanding idea of poverty reduction resting on little empirical evidence of success, he also citing several studies showing evidences which go against what microfinance proponents expect. Karlan and Zinman (2009), as cited by Dichter (2010), found that microfinance disappointingly does not reduce poverty.


Despite of the inconclusive debacles on the empirical result, it is also appealing to questioning the role of microcredit as poverty alleviation strategy in the view of poverty theory. A fundamental, thus philosophical, question which should be raised is then whether microcredit addresses the root cause of poverty. Simply put, is loan provision fundamentally needed by the poor or is it not? -- The question barely touched.


Though lowness of income is always considered as main reason of poverty and by which it is measured, it is actually only the consequence of its real cause which goes beyond financial and material matters. The real cause of poverty lays on the inability of the poor to involve in income-productive activity whether an opportunity to do so is exist or not. It is the lack of knowledge, skills and capabilities that creates poverty. Khan (2007) as cited by Santen (2010) argues that higher employment rates might not reach the poor or improve their condition. It is investment in human capital and capabilities that will increase productivity that leads to pro-poor economic growth which will have impact on poverty reduction.


This argument is quite the opposite of what microcredit proponents have long believed that the poor has the necessary entrepreneurial skills to start a small business but only lack in the capital needed. Hence providing loan will enable them to do so. This assumption, however, is a bit too heroic, not to say unrealistic, as not everyone will have such skills. Most of the poor, especially the very poor, is very unlikely to have the knowledge and the capabilities to run a business and able to encounter the complexities of running a business, even a small one. Financial illiteracy and the ability to comprehend the nature of the microfinancial product might exacerbate the problem.


Money is surely something needed by the poor and lack of income is surely a huge problem for them yet providing loan may not be a proper solution. Development wise, the borrowed fund must be translated into a productive activity so that the holy mission of providing it in the first place will possibly be realized. In order to do so, the poor, the beneficiary of the microcredit, must have the capability to well use the fund obtained. In other word, microcredit can help the poor yet it alone is not completely fulfilling what the poor is really needed.


One might say it is like a problem of egg and hen: which one did come first? Education, health and empowerment? Or the income which will enable the poor to have better education, health services and other necessities? Yet, how can they generate income if they do not have the knowledge to do so and unable to fulfill their basic needs? To be wiser, it seems that the two are no difference in term of the importance. Hence, having an anti-poverty program which addresses the two issues, economical as well as non-economical, may translate into a more optimum result.


Providing only financial services to the poor will not likely to do any better for them as it is not addressing the core issue of poverty. The provision of microcredit should be accompanied by other program that helps to improve the capabilities of the poor. Microcredit program should not be the sole instrument of poverty reduction (Khandker (1998) as cited by Santen (2010)). The provision of credit must be followed by development program that will upgrade the skills and the knowledge of the poor. The program may vary from a more sophisticated entrepreneurial training, health education and to a simple reading and writing class. Consultation services that monitor and control the use of the fund should also be provided along the loan period.


Microcredit may help five percents of its participants cross the poverty line each year as some studies had shown. Nevertheless, there are another 95% of them did not make it over the finish line, meaning stay in poverty. Among the identified reason of the failures are health, natural disaster and, of course, education. Having a microcredit programs that link to services addressing the aforementioned issues can improve the impact of microcredit on poverty (Magner (2007)).


Some of pioneering microfinance institutions has integrated additional services with their microfinance product and shown a delightful result in terms of greater outreach and better development impact on their participants. As cited by Magner (2007), BRAC of Bangladesh links it microfinance program with training and food program in corporation with the government and World Food Program. The others are Pro Mujer adding healthcare services and Fonkoze of Haiti offering literacy and educational program. These microfinance institutions have put more meaning to microfinance as a development tool.


Summing up, it is not to say that the idea of microcredit as poverty alleviation tool is way too far above the sky. Apart of the academic as well as empirical debacles, microcredit may have positively affected the livelihood of the poor. Nevertheless, poverty is a multi-dimensions social phenomenon that too complex to be addressed by simply providing the poor with access to capital. Though the development of microfinance has added microsaving and microinsurance on the map to enhance the efficacy of microcredit to fight poverty, it needs more than just financial services to help the poor. As a development tool, microfinance must integrate their product with other services that more developmental in nature. Microcredit program, even more complete microfinance, which gives only financial services to the poor, is just like their macro-financial-institution counterparts differed only in the poor as the customers. In such case, no developmental motives exist, thus less impact on the livelihood of the poor.



Reference:


Bernajee et. Al. (2009). The miracle of microfinance? Evidenced from a randomized evaluation (working paper)


Dichter, T. (2007). A second look at microfinance, the sequence of growth and credit in economic history. CATO Institute.


Dichter, T. (2010). Too good to be true, The remarkable resilience of microfinance. Harvard International Review, Spring , 18 – 21.


Khandker S. R. (2005). Microfinance and poverty: evidence using panel data from Bangladesh. World Bank Economic Review 19(2), 263-286.


Magner, M. (2007). Microfinance: A platform of social change. Grameen Foundation Publication Series.

Morduch, J. (1998). Does microfinance really help the poor? New evidence from flagship program in Bangladesh. Retrieved from http://www.microfinancegateway.org/gm/document-1.9.24956/2939_file_02939.pdf


Pitt, M. M. & Khandker S. R. (1998). The impact of group-based credit on poor household in Bangladesh: Does the gender of participants matter? Journal of Political Economy 106(5), 958 -996.


Roodman, D. & Morduch, J. (2009). The impact of microcredit on the poor in Bangladesh: Revisiting the evidence. Center forGlobal Development. (Working paper 174).


Santen, R. (2010). Is microfinance affecting lives of the poor? Retrieved from http://www.microfinancegateway.org/gm/document-1.9.44607/Microfinance%20as%20a%20Poverty%20Reduction%20Policy.pdf

Persepsi dan Citra: Sendal Jepit dan Sepatu Kulit

Ujung Timur Tebet, 20 Juni 2010, 23.05 WIB


Lihatlah apa yang sudah terjadi pada sendal jepit dan sepatu kulit. Dua-duanya adalah alas kaki, namun persepsi telah menyebabkan citra keduanya sangat bertolak belakang. Mungkin karena yang satu dikhususkan untuk urusan kamar mandi dan yang lain untuk urusan ruang ber-AC. Atau karena yang satu murah dan dijual di warung rokok sedangkan yang lain dijual mahal di toko-toko sehingga yang satu identik dengan kemiskinan sedang yang lain kemapanan. Yang satu berarti tidak sopan dan yang lain adalah kehormatan.


Begitu kuatnya persepsi ini hingga sulit sekali bagi sebuah sendal jepit untuk naik pangkat. Begitu juga sebaliknya untuk sepatu kulit. Sebutlah ada yang gemar sekali bersandal jepit hingga ia punya sendal jepit khusus untuk acara resmi yang tidak dipakai kemanapun kecuali ke acara-acara resmi dan terhormat. Biarpun begitu, bisa dijamin, ini tetap tidak akan menaikkan sedikit juga citra sang sendal jepit. Saking jeleknya citra si sendal jepit sampai-sampai si pemakainya pun akan turun derajat. Tidak peduli seberapa cerdas, tampan, dan gagahnya si pemakai karena tak ada yang mau memikirkan karakter substantif dari si pemakai sendal jepit tersebut. Semuanya terhenti pada persepi yang telah berkerak, mengakar dan membatu akan sendal jepit dan citranya yang kurang elok.


Berlebihan? Mungkin saja. Namun seperti inilah bagaimana kita menilai sesuatu. Otak kita yang memiliki kapasitas luar biasa berhenti berpikir pada apa yang terlihat. Sedangkan apa yang dibalik itu, tidak peduli. Kita lebih peduli pada kulit dibanding isi, kagum pada presentasi tapi tidak pada substansi. Dengan otak model seperti ini kita membuat persepsi dan melakukan pencitraan.


George Harrison pernah bilang ”we’re living in a material world”. Sting bersama The Police juga bilang, “we are spirits in the material worlds”. Sedang Madonna dengan lebih berani mengatakan, ”We are living in a material world and I am a Material Girl.”


Mungkin karena itu semuanya terjadi. Kita adalah manusia yang materialistis dalam dunia yang materialistis. Semuanya adalah soal materi dan diukur dengannya, sesuatu yang kasat mata. Tak ada lagi setelahnya. Tidak ada timbangan lain pada proses pencitraan kecuali yang terlihat mata, tercium hidung, dan teraba oleh tangan. Dengan keterbatasan inilah kita menilai sesuatu dan menjatuhkan vonis atasnya. Kita menjadi serba tahu, atau tepatnya sok tahu atas segala sesuatu. Komentar, baik puji maupun caci, sangat enteng dimuntahkan. Padahal yang kasat mata belum tentulah fakta, dan yang tak nyata belum tentulah tiada.


Pada dunia seperti ini dibutuhkan kebijaksanaan dalam segala hal. Selalu menuruti persepsi umum belum tentulah tepat. Namun berlawanan darinya memiliki ongkos sosial yang harus dibayar. Salah-salah cap gila bisa melekat di jidat. Tapi biarlah menjadi gila asal tetap berpegang pada kebenaran. Karena dalam hal ini gila adalah kulit, sedangkan kebenaran adalah substansi.

BENEFITING FROM THE POOR: AN ETHICAL QUESTION

Ujung Timur Tebet, 12 Juni 2010, 01:15 WIB



Poverty has long been the world’s problem. It has been a concern not only for those belong to the so-called poor and developing country but also for the well-developed one. Since it is already deemed as a global problem, a global effort is then necessary to encounter the problem. As such, in September 2000, United Nations declared The Millennium Development Goals with eradicating poverty as one of the goals. Programs are set and funds are flowing fast from Donors to support the goal.


Fired with the UN’s Millennium Development Goals, Microfinance has gained very wide attention as one of the powerful tool to alleviate poverty though it is rooted far back in the late 70s. Microfinance is aimed to help the poor in accessing financial product and services to deal with their poverty problem. The program sees poverty as the result of the inexistence of tools and opportunity to conduct income-generating activity, to build asset base and to insure from income shock which all can be handled using financial products.


However, unlike their wealthier counterparts, the poor are less likely to have access to traditional financial product and services since most of the poor are excluded from the formal financial system. Hence, providing access to financial products and services may help the poor to jump out of the poverty. This has set the ground to launch microfinance program.


Starting with providing micro loan for productive activity, microfinance has developed into a more complete financial service. Microfinance institutions are now offering a wide array of financial products including saving and insurance. The interlink of loan, saving and insurance is deemed necessary to alleviate poverty. Whilst micro loan provides opportunity for the poor to increase their income through productive activity, micro saving and insurance provide means of asset building and protection. The first is more like a starting point to go above the poverty line and the later prevent the poor to go back below the line.


Statistical wise, the development is even more obvious. Latest report on MFI benchmark issued by The Microfinance Information Exchange (MIX) in 2008 involves 1,084 MFIs worldwide compare to just 57 MFIs in 1999, indicating a growth in the number of MFI serving the poor. Average number of active borrower has increased to 69.227 borrowers in 2008 or almost double from 36.795 in 1999. Though the total asset slip down below 1999 figures the average total of gross loan portfolio went up to US$ 34.9mio in 2008 from US$ 23.2mio.


The development of microfinance marks a new trend within the history of the program. It which previously was a social program is currently moving forward to be more commercial. Backed by the argument that MFI should adopt market-based approach to achieve financial self-sufficiency, they are becoming more profit oriented than ever. The MIX report strengthens the above conjecture by looking at the profit status of the reporting MFIs. In 1999 only 23% of the total reporting MFIs categorized as for profit MFI compared to that in 2008 of 38%.


The commercialization phenomenon is also evident, as mentioned by Dr. Peter Wolff of German Development Institute, by the investment in microfinance fund being tripled during 2005 and 2009. Microfinance market is now seen as a potential and interesting market for institutional and private investors. The poor who is previously left excluded from the financial system, considered not profitable and costly to serve is now provide a handsome opportunity to make profit out of it. Michael Anthony, head of Allianz’s Microinsurance, asserts a growing market of microinsurance. Allianz’ microfinance products in eight different country show promising result: profit after the first 12 months. The market itself is estimated at around two billion people. Simply put, the micro market is not that micro after all!


Going forward, the debacle in microfinance has been going around this issue of commercialization. Many have feared that this profit-seeking motives turn the microfinance away from its original mission of helping the poor out from poverty. The fear is not really exaggerating knowing that the nature of those institutional investors is purely commercial. Big corporations are surely entering the micro market with business paradigm, thus profit is their main objective. The pragmatism of corporations is very potential to clash with the idealism of social development program. Those supporting the social view of microfinance are questioning whether commercial objective can go hand in hand with social objective of poverty alleviation, whether the profit obtained is justified with the benefit received by the poor. The bottom line is, would it be ethical gaining profit from the poor?


The opposite argue that being profitable is an important factor to have a sustainable microfinance institution. It ensures the continuity of the institution to keep providing its services so that ensuring its optimum impact on developing the poor. The sustainability of an MFI is less likely to be achieved by depending on donor fund or any other subsidy-type of funding due to its short-lasting or ad-hoc basis. Furthermore, a market-based approach and commercialization do have a positive impact on MFI operation. The requirement to becoming profitable urge MFI to operates in the most efficient manner as well as promotes good governance within MFI. Those two are condition that most subsidy-dependent MFIs are lack of.


The big challenge ahead is consolidating the two opposite views. Profit is a necessary condition for a successful microfinance institution yet it is not sufficient. Financial performance should be accompanied also by social performance. Profit will then be not unethical provided the true beneficiary of the program, which is the poor, received most of the benefit from the microfinance services. The two objectives must be balanced. A difficult task yet possible to achieve.


One expert in the field argues that one solution of the problem will be market transparency, competition and customer education. Market transparency and competition will force price and rate for the microfinance services provided to a level that is fair or aligned with the value of the services given. Educated customers will also tend to evaluate the offers made more carefully and shop around for better value for money. Hence, MFI will not be able to earn unjust profit. It implies that the same efficient market mechanism is assumed to take place as well in this micromarket though it may be differ from its macro counterpart. The poor comprising the micromarket may not have the same opportunities and capabilities in receiving and digesting information, the main factor behind the efficient market.


Practical wise, there should be a microfinance model that allows synergy of the good of profit and the benefit to the society. This model must involve public-private partnership wherein government as well as non-government organizations act as social judges for the private commercial interest in the microfinance. Regulation need to be set out ensuring fair price and competition benefiting the customer. Customer need to be educated in regards to the feature of the product, the benefit and the cost. Social performance has to be included in measuring the performance of a microfinance institution. Lastly, as the corporations have shown the profitability of their micro-product, empirical studies must also be done to prove its social benefit to the poor. As such, all will ensure that profit is ethically earned.


To sum up, profit and society does not always sit in different corners. The two can go hand in hand. Though, extra works need to be done to come out with institutional model of microfinance that balances the two objectives. Existing commercial MFIs can provide meaningful insight by examining the social impact of their products to the poor customer.



Reference:

http://www.munichre-foundation.org/StiftungsWebsite/Projects/Microinsurance/2010Microinsurance/Mikrofinanztagung_Tutzing.htm


Doa Seorang Pejuang

Malam masih jauh dari rampung. Bulan belum lagi beranjak dari singgasananya melainkan hanya sedikit. Dingin menenggelamkan setiap tubuh bernyawa makin jauh kedalam lembaran tebal selimut. Hening membuai dan melelapkan memberikan isyarat untuk otak melanjutkan episode mimpi yang dinanti.


Tetapi disana seorang pejuang masih duduk bersimpuh, sendiri dan termenung. Dihadapannya terbentang luas medan pertempuran yang segera akan menjadi hiruk pikuk oleh sengitnya peperangan. Ketika lawan-lawanya memilih untuk beristirahat malam ini agar bugar turun ke medan laga esok hari, ia memilih untuk terjaga dan menyendiri berasyik masyuk dengan Tuhannya di keheningan malam. Dirinya sadar bahwa hanya Tuhan sumber kekuatannya karena Ia menguatkan yang lemah, menemani yang sendiri, mengamankan yang takut dan memudahkan yang susah. Karena kemenangan adalah milik Tuhan dan akan diberikanNya kepada yang berhak.


Kepala dan hatinya tunduk sangat dalam, khusyuk dan tenang. Air matanya mengalir seiring lantunan dzikir memuji Yang Kuasa. Tak henti-hantinya hatinya bermunajat. Untaian doa ia panjatkan. Demikian doa panjangnya:


Ya Allaah, telah kau timpakan beban berat perjuangan diatas pundak kami namun telah pula kau siapkan kemenangan bagi yang menunaikannya. Sungguhpun kami sadar bahwa tanggung jawab kami adalah hanya melaksanakan amanah perjuangan ini dan bukan pada hasil kemenangan, adalah hanya melaksanakan jihad dengan harta bahkan jiwa kami dan bukan pada terwujudkannya kemenangan. Namun jiwa ini merindukan kemenangan yang engkau janjikan itu. Kemenangan yang akan kami isi dengan cinta dan kasihsayang sehingga setiap jiwa yang bernafas di negeri ini dapat merasakan indahnya agamaMu. Yang dengannya akan kami bangun bangsa negeri ini agar sejahtera dan bermartabat dibawah naungan keadilanMu.


Ya Allaah,. Sungguh kemenangan yang kami inginkan adalah bukan semata-mata kemenangan kami tetapi juga kemenangan rakyat. Kemenangan yang kami inginkan jauh dari sekedar memperoleh kekuasaan dan kedudukan, jauh dari sekedar jumlah perolehan suara dan banyaknya kursi. Kemenangan kami adalah ketika kami dapat memberikan manfaat bagi rakyat dan setiap jengkal tanah negeri ini. Lebih dari itu semua kemenangan yang kami idamkan adalah ketika kami dapat berjumpa denganMu dan memperoleh RidhoMu."


Ya Allaah Yang memuliakan dan menghinakan.. Jika kemenangan yang kami peroleh akan merusak ikhlas kami karena gemerlap dunia, merusak ukhuwah persaudaraan kami karena persaingan dunia, merusak kejujuran kami karena bualan janji yang berserakan maka hindarkanlah kami dari kemenangan itu. Jika kemengan kami justru menjauhkan kami dari mengingatMu, menghalangi kami dari ridho dan perjumpaan denganMu dan jika kemenangan kami membuat kami berpaling dari rakyat yang kami perjuangkan kepentingannya, maka jauhkanlah kami dari kemenangan itu. Berikanlah ia kepada mereka yang lebih berhak, mereka yang senantiasa berdzikir padamu, yang lebih takut untuk berbuat maksiat daripada kehilangan pangkat dan martabat, dan yang selalu memikirkan kepentingan rakyat di bangun dan tidurnya. Jika demikian, sungguh lebih baik bagi kami mulia dalam kekalahan daripada hina dalam kemenangan. Ya Rabb, Engkaulah pemilik segala kerajaan dan kekuasaan. Engkau memberikan kekuasaan kepada yang berhak untuk memilikinya.


Ya Allaah Yang Maha Kuat, berikanlah kepada kami kekuatan, kesabaran dan keteguhan iman sebagaimana pasukan badar yang berani. Yang dengannya kami sempurnakan perjuangan kami sehingga menjadi sebab turunnya kemenangan. Sesungguhnya Engkau tidak pernah mengingkari janji kepada para pejuang.


Malam tak lagi muda. Bulan beranjak pergi mengisyaratkan fajar kan segera merekah. Seorang pejuang duduk bersimpuh, sendiri dan termenung. Kepala dan hatinya tertunduk dalam, khusyuk dan tenang. Air matanya telah habis tertumpah. Di dadanya bergelora semangat juang yang membara dengan bahan bakar kerinduan akan kemenangan dan keikhlasan.


Gang Potlot,


Malam pemungutan suara, 9 April 2009 01.35 WIB


*Ditulis kembali dari tulisan Munajat Kemenangan


Teruntuk jutaan pejuang yang sedang terjaga di malam hari