Persepsi dan Citra: Sendal Jepit dan Sepatu Kulit

Ujung Timur Tebet, 20 Juni 2010, 23.05 WIB


Lihatlah apa yang sudah terjadi pada sendal jepit dan sepatu kulit. Dua-duanya adalah alas kaki, namun persepsi telah menyebabkan citra keduanya sangat bertolak belakang. Mungkin karena yang satu dikhususkan untuk urusan kamar mandi dan yang lain untuk urusan ruang ber-AC. Atau karena yang satu murah dan dijual di warung rokok sedangkan yang lain dijual mahal di toko-toko sehingga yang satu identik dengan kemiskinan sedang yang lain kemapanan. Yang satu berarti tidak sopan dan yang lain adalah kehormatan.


Begitu kuatnya persepsi ini hingga sulit sekali bagi sebuah sendal jepit untuk naik pangkat. Begitu juga sebaliknya untuk sepatu kulit. Sebutlah ada yang gemar sekali bersandal jepit hingga ia punya sendal jepit khusus untuk acara resmi yang tidak dipakai kemanapun kecuali ke acara-acara resmi dan terhormat. Biarpun begitu, bisa dijamin, ini tetap tidak akan menaikkan sedikit juga citra sang sendal jepit. Saking jeleknya citra si sendal jepit sampai-sampai si pemakainya pun akan turun derajat. Tidak peduli seberapa cerdas, tampan, dan gagahnya si pemakai karena tak ada yang mau memikirkan karakter substantif dari si pemakai sendal jepit tersebut. Semuanya terhenti pada persepi yang telah berkerak, mengakar dan membatu akan sendal jepit dan citranya yang kurang elok.


Berlebihan? Mungkin saja. Namun seperti inilah bagaimana kita menilai sesuatu. Otak kita yang memiliki kapasitas luar biasa berhenti berpikir pada apa yang terlihat. Sedangkan apa yang dibalik itu, tidak peduli. Kita lebih peduli pada kulit dibanding isi, kagum pada presentasi tapi tidak pada substansi. Dengan otak model seperti ini kita membuat persepsi dan melakukan pencitraan.


George Harrison pernah bilang ”we’re living in a material world”. Sting bersama The Police juga bilang, “we are spirits in the material worlds”. Sedang Madonna dengan lebih berani mengatakan, ”We are living in a material world and I am a Material Girl.”


Mungkin karena itu semuanya terjadi. Kita adalah manusia yang materialistis dalam dunia yang materialistis. Semuanya adalah soal materi dan diukur dengannya, sesuatu yang kasat mata. Tak ada lagi setelahnya. Tidak ada timbangan lain pada proses pencitraan kecuali yang terlihat mata, tercium hidung, dan teraba oleh tangan. Dengan keterbatasan inilah kita menilai sesuatu dan menjatuhkan vonis atasnya. Kita menjadi serba tahu, atau tepatnya sok tahu atas segala sesuatu. Komentar, baik puji maupun caci, sangat enteng dimuntahkan. Padahal yang kasat mata belum tentulah fakta, dan yang tak nyata belum tentulah tiada.


Pada dunia seperti ini dibutuhkan kebijaksanaan dalam segala hal. Selalu menuruti persepsi umum belum tentulah tepat. Namun berlawanan darinya memiliki ongkos sosial yang harus dibayar. Salah-salah cap gila bisa melekat di jidat. Tapi biarlah menjadi gila asal tetap berpegang pada kebenaran. Karena dalam hal ini gila adalah kulit, sedangkan kebenaran adalah substansi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar