Serial Karyawan Stress - Berkawan Dengan Bosan

Entah sudah berapa lama ia mengakrabiku. Tidak tahu kapan dan bagaimana ia datang. Yang jelas ia kini terus bersamaku, tidur bersamaku, makan bersamaku, mandi besamaku, dan bergaul denganku. Ia ada di atas kepalaku, di belakang punggungku, di bawah kakiku, bahkan sesekali masuk kedalam tubuhku. Bisa kurasakan ia dalam setiap hela nafas dan aliran darahku. Kecuali ketika aku sedang bersama istri dan anakku, ia tak pernah meninggalkanku. Pernah kutanya kenapa ia pergi ketika itu. Ia menjawab lirih, ”Gelora cinta. Cinta yang telah mengusirku pergi.”


Tingkahnya aneh bermacam-macam. Sekali waktu ia bergelayut di mataku menjadikan keduanya sangat berat hingga menahanku lebih lama di tempat tidur. Kali lain ia bergelendot di kedua kakiku memperlambat lajuku menuju kamar mandi di pagi hari. Kadang ia meminta untuk ditemani menyaksikan tayangan TV yang sejak dulu masih saja asyik memutar drama seri perceraian para selebritis. ”Kisah yang membosankan,” pikirku, tapi tak kuasa jua aku menolak permintaannya.


Lain lagi pintanya padaku pagi kemarin. Ia memintaku mengambil jalur yang tak biasa menuju kantor. Kantor yang biasanya kucapai dalam waktu 30 menit dari tebet hingga sudirman kini harus kutempuh dalam waktu satu jam lebih. Itupun setelah berlika-liku dan berjuang menerobos kemacetan ibu kota. Anehnya aku menikmati semuanya: kemacetan, jarak yang jauh, suara klakson yang memecah gendang telinga sampai lelucon garing penyiar radio yang nyaris tak pernah membuatku tertawa yang terdengar dari speaker di bagian belakang Honda Jazz ku. Bersamanya semua lain. Kemacetan adalah sebuah karnaval panjang yang penuh warna. Suara klakson adalah harmoni nada peniup terompet dari kelompok marching bandnya. Lelucon penyiar radio itupun tak lagi garing bahkan terdengar sangat syahdu menghibur hati. Semakin jauh jarak yang kutempuh semakin bergembira hatiku karena berarti semakin lama aku dapat menikmati semuanya.


Semenjak kehadirannya semua memang menjadi lain. Aku tak lagi menikmati apa yang biasa ku kerjakan. Rutinitas yang dulu pernah sangat kunikmati. Tapi kini justru sebaliknya, aku sangat menikmati semua yang menjauhkanku dari rutinitasku itu. Aku tak lagi menikmati kursi dan meja kerjaku. Notebook yang akrab denganku kini serasa asing di ujung jemariku. Surat-surat elektronik yang masuk di folder inboxku kini bagai surat ancaman yang hendak menghadiahiku beban kesengsaraan tak terperi. Dan yang paling menyedihkan, aku tak lagi menikmati jalinan ukhuwah dengan deretan angka-angka para penghuni microsoft excel yang sudah lebih dari dua tahun ini terjalin. Mereka yang dulu akrab kini tidak lagi mau bertukar cerita denganku. Kini mereka hanya deret angka biasa. Tak ada makna. Tak ada lagi yang bisa dinikmati. Melihatnya membuat sakit mataku.


”Kau harus baca buku ini.” katanya suatu hari di awal pertemuan kami. Ia melemparkan sebuah buku kecil ke hadapanku. Buku itu berwarna kuning, paperback dengan ilustrasi padang pasir menghiasi sampulnya. The Alchemist, begitu judul yang tertulis dan tertangkap sudut mataku. Aku bergeming tak tertarik.


“Kau harus mengejar mimpimu, kawan!” lanjutnya. Kuduga pernyataan ini pasti terinspirasi oleh buku kecil yang baru saja dilemparkannya padaku.


“Buat apa? Bukankah mimpi hanya bayang-bayang, ilusi, fatamorgana. Dan semuanya berarti sia-sia.” Jawabku sedikit berfilsafat.


”Tidak benar, kawan. Hanya seorang pengecut yang tidak bermimpi dan hanya mereka yang bodoh yang tidak mengejar mimpinya. Orang menjadi besar karena mimpi yang berhasil direalisasikannya. Coba bayangkan apa jadinya kalau Wright bersaudara tidak bermimpi untuk bisa terbang dan Thomas Edison tidak bermimpi soal bola lampu.” jelasnya. Tentulah ini juga masih terinspirasi oleh buku tadi.


”Mimpi adalah panggilan jiwa. Karena jiwa kita berasal dari Tuhan, maka panggilannya merupakan panggilan Tuhan. Tuhan menginginkan kita memenuhi panggilanNya. Dan memenuhi panggilanNya adalah kebahagiaan. Karena itu kawan, kau harus bermimpi dan mengejarnya.”


Ia berhenti sebentar. Aku tahu ia sedang mencari ingat apa yang baru saja dibacanya. Ia sedang menjelajahi hippocampus pada sistim limbik otaknya, sebuah kotak abu-abu dimana memori disimpan. Dan setelah menemukan apa yang dicari ia mulai berceloteh lagi.


”Setiap kita diciptakan Tuhan untuk satu tujuan tertentu, misi tertentu. Misi itu tertanam di dalam jiwa masing-masing kita, di hati yang paling dalam. Ketika kita berpaling darinya maka jiwa akan meronta, menjadi cemas, gelisah dan memanggil-manggil kita untuk kembali. Karenanya tersiksalah mereka yang menjauhkan diri dari mimpinya.”


”Tapi aku memang tak punya mimpi!” potongku sebelum ia semakin panjang berbicara.


”Tentu kau punya kawan. Tapi kau terlalu lama mengacuhkan panggilan jiwamu hingga kini tidak dapat kau mendengarnya lagi. Tapi ia masih disana, berbisik padamu, menunggu dirimu untuk kembali peka.”


”Bagaimana agar aku dapat mendegarnya lagi?” tanyaku.


”Jiwamu adalah pemberian Tuhan, maka dekatlah dengan Nya. Bersihkanlah dirimu dengan selalu mengingatNya. Ketika kau berpaling dari Tuhan, setitik noda melekat di hatimu dan menghalangi jiwa berkomunikasi denganmu. Semakin banyak dosa semakin banyak noda. Jiwamu menjadi hitam kelam dan kau tak lagi mendengar suaranya. Kikislah noda itu dengan lafaz nama Tuhanmu. Ingatlah bahwa kau berasal dariNya dan kembali padaNya. Merintihlah dan berdoa kepada Tuhan.”


Aku terdiam meresapi perkataannya. Hatiku membenarkan perkataannya. Kotak abu-abu pada otakku mengeluarkan sebuah memori untuk membenarkan apa yang sudah dikatakannya. Sebuah memori tentang orang-orang shalih yang senantiasa dibimbing Tuhan dalam menjalani hidup. Mereka adalah orang-orang yang berbahagia dengan takdir Tuhan atas diri mereka. Mereka telah menemukan hakikat penciptaan mereka dan kemudian dengan gembira melangkah di atas jalan yang telah ditetapkan Tuhan untuk mereka. Mereka adalah orang yang berhasil meraih mimpinya.


”Bagaimana aku tahu bahwa jiwaku mengatakan sesuatu yang benar? Bukankah Setan juga berbisik kepada kita melalui jiwa?” Tanyaku


”Kawan, tahukah kau bahwa panggilan jiwa yang paling dahsyat adalah cinta. Bagaimanapun kau tak dapat menolak cinta. Maka ketika kau temukan cinta berarti kau telah berjalan di jalan yang benar. Mengejar mimpi adalah memenuhi hasrat cintamu. Cinta menjadi penawar dari setiap tetesan peluh, darah, dan beban yang menghimpit dalam perjalanan meraih mimpi. Cinta adalah penyemangat yang membuat kau tak menyerah dan berpaling kebelakang. Cinta tak dapat mendustaimu dan juga kau tak dapat mendustainya.”


Buku kecil itu masih tergeletak di hadapanku. Warna kuning sampulnya mengisyaratkan kegembiraan yang dapat kurasakan. Sebuah kegembiraan atas mimpi yang telah dicapai. Bukankah mimpi setiap buku untuk menjadi best seller, menginspirasi pembacanya, dan menjadi penghuni rak-rak buku di perpustakaan-perpustakaan besar. Kali ini dia telah menginspirasi diriku untuk menggali mimpiku yang telah lama terkubur.


”Inspiratif. Terima kasih !” ucapku sambil menjabatnya dan memperkenalkan diri.


”Tidak masalah, kawan. Panggil saja aku: Bosan!”



Ujung Timur Tebet

17 November 2009, 00.27 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar