Kejujuran Cinta

Perasaan cinta yang menyesakkan ruang hati menghendaki sebuah pernyataan cinta. Pernyataan cinta yang memproklamirkan rasa sang pencinta terhadap apa yang dicintainya. Sebuah pernyataan yang mendeklarasikan keyakinan atas cintanya dan kesungguhan cinta yang dimilikinya. Maka rasa cinta tanpa pernyataan cinta adalah ragu-ragu. Namun ketulusan dan kejujuran cinta membutuhkan lebih dari sebuah pernyataan indah dan manis yang terucap dengan mudah. Kejujuran cinta meniscayakan pengorbanan. Sebuah pengorbanan sebagai persembahan terbaik si pencinta, yang dilakukan atas nama cinta, hanya untuk yang dicintainya. Maka cinta tanpa pengorbanan adalah palsu.


Pun demikian dengan jalinan cinta seorang hamba kepada Sang Pencipta. Jalinan cinta suci ini mensyaratkan kesungguhan dan kejujuran. Begitu banyak yang mengumbar cinta, namun sedikit yang jujur dalam cintanya. Tetapi Tuhan, Ia akan memilih diantara mereka siapa yang layak menjadi kekasihNya. Ia akan menguji siapa yang benar-benar jujur menghadirkan cintanya. Bukankah kehidupan dan kematian adalah cara Tuhan untuk menguji kejujuran cinta hamba-hambaNya.


Orang-orang shaleh sebelum kita telah mengisi lembaran-lembaran kisah cintanya dengan cerita pengorbanan yang luar biasa untuk sekedar membuktikan cintanya pada Tuhannya. Mereka berlomba memberikan persembahan terbaik hanya agar Allah berkenan menerima cinta mereka. Harta, waktu, tenaga bahkan jiwa diserahkan demi keindahan dan kenikmatan bercinta dengan Sang Khalik.


Ingatlah kisah NabiyuLlaah Ibrahim dan putranya Ismail ’alayhimassalaam. Sebuah kisah pengorbanan cinta yang fenomenal yang diabadikan didalam Al-Quran suci dan diperingati setiap tahun. Demi cintanya pada Tuhannya, Nabi Ibrahim dengan tulus menjalankan perintah untuk menyembelih Ismail, putra yang telah dinantikannya bertahun-tahun. Baginya, tidak ada yang lebih berharga daripada cinta Tuhan kepada dirinya. Bukankah cinta Tuhannya jua yang telah memberikannya seorang putra? maka kini gilirannya untuk membuktikan cintanya kepada Penciptanya itu.


Allaah telah menguji kejujuran cinta Ibrahim. Dan Ibrahim, ia telah membuktikan cintanya yang tulus. Bukankah ia ikhlas mengorbankan sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya. Lalu bukti cinta apalagi yang lebih nyata daripada ini. Dan ketika pengorbanan sudah mencapai puncak dan persembahan yang terbaik telah dihaturkan, tentulah Allaah akan membalas cinta hambaNya. Shodaqta, demikian Allaah persaksikan kejujuran cinta Ibrahim. Hari itu sempurnalah cinta Ibrahim kepada Rabbnya.


Cinta yang sempurna adalah cinta yang berbalas. Maka bagi para pencinta Allaah, balasan cinta dari Allaah adalah muara segala rasa cintanya, pelepas dahaga cinta dalam dada. Dan agar cinta itu berbalas Allaah menghendaki persembahan terbaik dari hamba-hambanya. Bagaimana mungkin Ia akan membalas cinta hambanya kalau sedikit sekali mereka mengingat namaNya, sedikit sekali waktu yang dihabiskan untuk sujud kepadaNya, sedikit sekali harta yang diinfakkan di jalanNya, sedikit sekali keringat dan darah yang ditumpahkan dalam jihad meneggakkan kalimatNya. Apakah layak Allaah memberikan cintanya bagi mereka yang datang menghadap kepadaNya tanpa amalan yang bisa dibanggakan di pengadilan akhirat kelak. Hal Jazaaul ihsan illal ihsaan, bukankah balasan yang baik hanya bagi mereka yang telah memberikan yang terbaik pula.


Berbahagialah mereka yang berhasil membuktikan kejujuran cintanya. Berbahagialah mereka yang Allaah balas cintanya.



Ujung Timur Tebet,

2 Desember 2008, 02:00

*disarikan dari ceramah Dr. Amir Faishol Fath

Tidak ada komentar:

Posting Komentar