Saya Cuma dan Tuhan Cuma

Suatu hari pada ratusan lembar tahun yang silam. Seorang anak gembala duduk di bawah pohon qurma di sebuah oase. Angin gurun menerpa wajahnya yang teduh. Di hadapannya puluhan anak kambing yang menjadi gembalaannya bermain riang di hamparan rumput sekitar oase. Diawasinya dengan hati-hati kambing-kambingnyam tak ingin ia kehilangan walau seekor. Ditengah kekhidmatan menggembala terlihat olehnya dua titik hitam yang bergerak semakin membesar. Selang beberapa lama nampaklah dua orang laki-laki berjalan mendekatinya. Kedua lelaki itu tertarik dengan kambing-kambingnya yang terpelihara dengan baik dan berniat membelinya barang satu atau dua ekor.


”Wahai tuan, aku hanyalah seorang budak,” ujar sang anak gembala menjawab permintaan kedua lelaki itu.


”Satu ekor kambing saja, Tuanmu tak akan tahu. Atau katakan bahwa anak kambing itu dimakan serigala. Ini uangnya...” rayu salah seorang laki-laki itu sungguh-sungguh.


Anak gembala itu terdiam. Bersama hembusan angin gurun yang sejuk, bibirnya bergetar. ”Jika Tuan menyruruhku berbohong, lalu dimanakah Allaah yang mengetahui mereka yang berdusta?”. Kejujuran memancar dari mata anak gembala itu seterang sinar mentari siang.


Suatu hari pada ratusan lembar tahun yang silam. Seorang pemuda berjalan di pinggiran sebuah kota. Langkahnya membawa dirinya melintasi sebuah kebun dengan pohon-pohon rindang. Buah-buahnya yang segar dan berwarna terang menghiasi hijaunya dedaunan. Sebutir apel terjatuh dari tangkai sebuah pohonnya. Sang pemuda menjulurkan tangannya, mengambil buah tersebut dan kemudian memakannya. Ditengah kenikmatan buah apel yang memenuhi tenggorokannya ia tersadar bahwa ia telah memakan sesuatu yang bukan miliknya.


”Wahai hamba Allaah, aku telah memakan apel yang terjatuh dari pohonmu. Sudikah kau mengikhlaskannya dan memaafkanku?” Tanyanya pada penjaga kebun.


”Bagaimana aku dapat memaafkanmu sedangkan aku hanya seorang penjaga kebun. Pemiliknya ini tinggal sangat jauh dari sini. Ia yang berhak memaafkanmu” kata penjaga kebun.


Kejujuran telah memenuhi relung hati sang pemuda. Bagai aliran listrik yang menjalar, kini rasa itu telah berada di kakinya dan menggerakkan langkahnya menuju rumah sang pemilik kebun. Tak peduli sejauh apa dia berada, aku akan menemuinya, pikirnya dalam hati.


Suatu hari pada ratusan lembar tahun yang silam. Seorang pemimpin negara duduk di ruang kerjanya di kala malam sudah mulai larut. Ia hampir saja berangkat tidur sebelum utusannya datang menghadapnya. Sebuah lilin besar menyala gagah menantang gelapnya malam. Sang pemimpin nampak serius menerima laporan sang utusan mengenai urusan dan keadaan rakyatnya. Hingga selesai laporannya, sang utusan kemudian bertanya mengenai keadaan sang pemimpin dan keluarganya. Sebelum menjawab pertanyaannya sang pemimpin menyalakan sebuah lampu kecil dengan cahaya temaram menggantikan cahaya lilin yang telah padam ditiupnya. Kini gelap malam menjadi terlalu gagah untuk dihadapi lampu kecil tersebut.


”Tuanku, kenapa kau mematikan lilinya?, tanya sang utusan terheran-heran.


”Wahai hamba Allaah, lilin yang kunyalakan adalah harta kaum muslimin dan sudah selayaknya hanya dipergunakan untuk kepentingan mereka. Sedangkan pertanyaanmu mengenai diriku dan keluargaku bukanlah urusan mereka, maka aku mematikan lilin tersebut dan menggantinya dengan lampu yang kumiliki.” Jawab sang pemimipin.


Kejujuran menyala terang dalam pribadinya menembus gulita malam menerangi hati lawan bicaranya.


Hari ini setelah ratusan lembar yang silam itu berlalu. Kejujuran tidak lagi tahu kemana rimbanya. Tidak di oase bersama anak gembala, di kebun apel dengan seorang pemuda gagah, tidak juga di ruang kerja pemimpin terhormat. Setiap kita telah menguburnya dalam-dalam, membuangnya jauh-jauh, mematikan sinarnya, dan mengaburkan ketegasaannya. Terlalu lama sudah kita hidup dengan kebohongan hingga tak tahu lagi mana yang benar dan yang salah. Kalaupun tahu, jutaan cara dapat digunakan untuk menjadikannya benar. Kita seperti membutuhkan kebohongan, bahkan menikmati hasilnya. Ketika hati menjadi galau karenanya, kita sibuk berapologi menenangkan diri.


”Ini kecil, banyak yang melakukan lebih besar,”


”Saya cuma memberi tidak mengambilnya”,


”Saya cuma diberi tidak pernah meminta”,


”Saya cuma mencatat dan tidak tahu apa-apa”,


”Saya cuma bawahan”,


”Saya cuma...”


”Saya cuma...”


”Saya cuma...”


Tuhan juga cuma melihat, mencatat, dan bersiap menghukum emreka yang dusta.



Ujung Timur Tebet

21 December 2009, 22:10 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar