Asing


Ujung timur tebet, 26 November 2021


Semua terdengar jelas di telinga. Tiap kalimat, kata, hurufnya. Riuh ramai. Berdengung di dalam tempurung kepala. Aku pejamkan mata erat dan kuat. Mencoba memahami apa yang terucap. Tapi tidak juga aku dapat. Apa memang tidak punya makna. Atau aku bicara bahasa berbeda. Atau ternyata aku tak ada isi kepala. Hanya bising tersisa menggema di liang telinga. Menyiksa. Ku coba untuk bertahan. Dengan seulas senyuman. Melawan perih di sekujur badan. Terpaksa. Waktu satu-satunya kawan. Kini berkhianat. Berjalan begitu lambat. Terkekeh melihatku terseret dalam babak demi babak. Memain lakon yang terpaksa aku perankan. Entah karena apa aku rela berpura-pura. Menelan canggung setelah mengunyahnya perlahan. Pasti karena riuh tepuk tangan. Rangkaian pujian di akhir pertunjukan. Diam-diam kunikmati juga. Semuanya. Sesaat sebelum akhirnya layar turun. Menyembunyikan ku membungkuk di tengah panggung. Sendiri dalam bingung. Bertanya-tanya tentang aku. Tak tahu siapa sejatinya aku. Selain seperti yang mereka mau. 



Video dari youtube (englishman in newyork - Sting) 

Opini gembel: Apa arti sebuah nama?


Ujung timur tebet, 17 November 2021


Apalah arti sebuah nama. Begitu katanya. Tapi begitukah adanya? Mari bayangkan dunia tanpa nama. Bayangkan bagaimana kita akan saling menyapa. Bagaimana aku akan memanggilmu. Bagaimana aku akan mengingatmu. Bagaimana aku akan menghantarmu tidur sedang dongeng bertabur nama-nama. Bagaimana hikmah akan disampaikan padahal orang-orang bijaksana dikenal dengan sebutan nama. 


Kalaulah nama tidak begitu penting, tidaklah Tuhan mengajarkan nama-nama kepada Adam sesaat setelah dia diciptakan.  Nama-nama menjadi sebab ia berkedudukan mulia dibanding makhlukNya yang lain. Dari nama kemudian ilmu lahir dan dari ilmu dewasalah akal pikiran. Dengan akal pikiran manusia menuai kemuliaan. Tanpa nama manusia akan kehilangan kemuliaannya. 


Nama sejatinya adalah representasi sederhana dari sebuah substansi. Nama didefinisikan dengan makna. Nama merujuk pada bentuk, sifat, rasa, aroma, fungsi dan karakter-karakter lainnya.  Nama mengumpul persepsi dan membangkitkan imaji. Tentang apa dan tentang siapa. Demikianlah nama memiliki arti karena substansi. Tanpa substansi nama tidak lagi penting. 


Sepanjang zaman nama-nama muncul hilang silih berganti. Era yang disruptif kini menghadirkan realita-realita baru, perspektif baru dan persepsi yang baru pula. Memunculkan nama-nama baru. Memaksa nama-nama lama mencari definisi yang baru pula. Nama-nama lama yang tak dapat didefinisikan ulang terpaksa mengalah pada zaman, hilang terlupakan. Kehilangan relevansi karena tak punya substansi, makna dan arti. Yang kebetulan mendapatkan makna baru, dapat melanjutkan perannya dalam kehidupan sesuai dengan pemaknaan barunya. Suka atau tidak. 


Hari ini penting bagi kita kembali belajar tentang nama-nama agar memperoleh kemuliaan, sebagaimana Adam belajar dan mendapatkan kemuliannya saat ia diciptakan. Kita perlu mengidentifikasi nama-nama atas realitas baru yang sebelumnya tidak pernah ada. Kita perlu mereka ulang nama-nama lama dengan konteks hari ini agar memperoleh makna dan arti yang relevan. Dengan begitu dapat diraihlah ilmu mutakhir untuk menghadapi zaman yang telah berubah. Jika tidak, mungkin kita pun akan hilang menjadi kenangan bahkan sama sekali terlupakan. 


Di industri perbankan, tempat kita mencari makan, sepertinya mendefinisikan ulang nama-nama juga menjadi penting. Era 4.0, demikian katanya (tidak paham juga yang mana 1.0, 2.0 dan 3.0), mengguncang tatanan lama, menggeser pemahaman kuno dan memunculkan istilah-istilah baru dalam industri. Menyajikan pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban untuk merekonstruksi wajah industri. Bagaimana kita mendefinisikan bank diantara lembaga keuangan lain kalau peran serupa intermediari bukan lagi monopoli bank? Bagaimana kita mendefinisikan deposito kontra tabungan kalau soal waktu penempatan dan pencairan bukan lagi jadi persoalan? Bagaimana kita mendefinisikan bank syariah dihadapkan pada sosial investment atau ethic investment dimana keduanya juga menampilkan dampak sosial dan keadilan? Lalu bagaimana juga kita akan mendefinisikan BPR atau BPRS? Padahal rakyat sudah lama tidak lagi menjadi pasar milik mereka sendiri. Bagaimana kita mendefinisikan kata-kata asing lain yang belum pernah kita dengar sebelumnya: fintech, p2p, neobank, pinjol? 


Pertanyaan-pertanyaan ini penting dijawab agar jelas semua definisi yang diperlukan bagi tiap nama yang terlibat dalam industri. Karena atas jawaban-jawaban tersebut kemudian peraturan dibuat, produk-produk diciptakan, strategi diracik dan wajah industri dikreasikan. Bayangkan apa yang terjadi jika kita gagal melakukannya. Peraturan macam apa yang dihasilkan dari objek aturan yang memiliki konteks yang tidak lagi relevan. Tidak akan ada inovasi produk jika tetap tersandera pada definisi lama yang ketinggalan zaman. Strategi pun akan menyesatkan jika diracik dari pemahaman yang keliru. Jika begini, industri macam apa yang akan diciptakan. 


Terakhir, di antara pertanyaan-pertanyaan tadi, diujungnya kita perlu juga bertanya tentang kita. Ya, kita. Kita, pelaku industri, apapun jenis, posisi, fungsi dan jabatan perlu juga memaknai ulang nama kita. Memaknai siapa kita, apa sebab kita ada dan bagaimana kita menjadi relevan di era ke empat ini. Kita perlu melakukannya bukan semata untuk menjaga eksistensi dan menghindari kepunahan. Tapi agar kita tetap dapat dengan banggga memperkenalkan diri. Agar harumnya tetap semerbak walaupun hayat tak lagi dikandung badan. 


Oh, maaf sampai lupa. Perkenalkan saya... 




Video dari youtube (where the streets have no name - U2) 


Langit

 


Ujung timur tebet, 31 Oktober 2021

Ingin ku bertanya pada matahari pernahkah merasa kesal dengan bulan karena harus berbagi waktu menerangi bumi. Pernahkah ia terpikir bukan hanya menjadi raja siang tapi juga malam. Pernahkah ingin sekedar bertahta lebih lama dan enggan pergi tenggelam. Apakah ia bertanya-tanya kenapa pula harus mengalah kala senja tiba. Bukankah ia jauh lebih besar dan lebih terang dari si juwita malam. 

Ingin juga aku bertanya pada bulan. Pernahkah kesal pada gemintang karena harus berbagi langit malam. Pernahkah terpikir untuk mengusir mereka pergi. Pernahkah meminta awan menjadi pekat dan menghalangi para bintang tak terlihat. Pernahkah merasa bahwa hanya ia yang pantas menjadi penghias malam. Agar semua puisi cinta hanya menulis dirinya. 

Lalu kepada bintang-bintang yang bertebaran tak berbilang. Ingin pula aku bertanya. Apakah mereka hidup rukun antar sesama. Apakah mereka bertengkar satu sama lain, berkelahi, bersaing dan bersikutan. Berebut mencari dan menjadi perhatian. Apa sebab mereka berkerumun berkelompok dalam rasi zodiak. Apakah sedang menggalang kekuatan. Untuk saling menjatuhkan dalam arena perang bintang. 

Mungkin akhirnya aku harus bertanya pada langit. Tempat bernaung semuanya. Pernahkah ia mendengar matahari, bulan, bintang bertengkar. Apakah pernah mereka mengadu padanya panjang lebar. Apakah mereka saling membanggakan kehebatan masing-masing sambil merendahkan yang lainnya. Apakah nasihat yang ia berikan kepada ketiganya, dengan keluasan dan ketenangannya, atau dengan gemuruh dan menggelegar justru membentak menyuruh mereka diam. 

Ah, rasanya aku juga ingin menyuruh mereka semua diam. 

Diam!!!




Video: dere - berisik (diambil dari youtube) 

 

Diam itu (c) emas

 


Ujung timur tebet, 29 Oktober 2021

Ada orang yang enggan bicara namun terpaksa juga banyak bicara. Kata-katanya bernas, lugas. Menyejukkan dan menenangkan. Menyenangkan. Tidak berlebihan. Tulus terdengar di telinga hati. Pada orang semacam ini aku menaruh kagum. Atas ketinggian budi dan kerendahan hati. 

Ada orang yang senang bicara tanpa perlu dipaksa. Bicaranya banyak. Ramai orang datang padanya. Tanyalah dia soal apa saja niscaya panjang lebar dia terangkan. Mintalah pendapat tentang soalan hidup niscaya bijaksana dia nasihati. Pada orang seperti ini akupun menaruh kagum. Atas keluasan wawasan dan pengetahuan. 

Ada orang yang senang lagi pandai bicara. Bicaranya manis. Kalimat-kalimatnya bersayap. Dihiasi bunga-bunga kata. Terkagum-kagum dibuatnya. Laki maupun perempuan. Tua lagi muda. Semua senang mendengarnya. Pada orang ini aku kagum atas keluwesannya bergaul dan kepandaiannya merangkai kata. 

Ada pula orang yang senang berbicara sekedar bicara. "Bicara maka aku ada", begitu pula pikirnya. Baginya bicara adalah soal menampilkan diri. Bicara adalah etalase. Tempat diri dipamerkan. Capaian-capaian membanggakan. Pada orang ini aku pula menaruh kagum, atas kepercayaan diri yang luar biasa. 

Sedang aku memang jarang bicara. Walaupun kadang terpaksa juga. Namun bukan karena ketinggian budi pekerti atau kerendahan hati. Tapi lebih karena kedangkalan wawasan dan pengetahuan. Karena tidak pula pandai bergaul dan merangkai kata. Karena memang tidak ada yang patut dibanggakan. 

Oleh sebab itu, aku terpaksa percaya bahwa diam itu emas. 





Video dari youtube (enjoy the silence - depeche mode) 

Era Kuasa Citra

 


Ujung timur tebet, 26 September 2021


Jati diri substansi syarat eksistensi

Harga diri esensi sebab bernilai tinggi

Hari ini siapa peduli

Ketika citra penuh kuasa

Wajah-wajah tanpa muka mencari rupa

Menjadi lakon dalam drama entah punya siapa

Hari ini siapa peduli

Ketika citra punya kuasa

Cerita-cerita dilempar membabi buta

Terdengar santun terasa jumawa

Hari ini siapa peduli

Ketika citra punya kuasa

Ruang-ruang tanpa sekat penuh suara

Tak berguna menggoda mata telinga

Hari ini siapa peduli

Ketika citra punya kuasa

Dunia penuh penampil datang tiba-tiba

Berkelahi hilang muka demi citra

Hari ini siapa peduli

Ketika citra punya kuasa


Kenapa aku harus peduli? 

Mengkin sekedar iri

Karena kalah berkelahi




Video: the stone roses - i wanna be adored (diambil dari youtube) 

Kawan menuju sawangan


Ujung timur tebet, 18 September 2021


Di atas jembatan arah sawangan

Meluncur cepat tanpa hambatan

Menara masjid menjulang di kejauhan

Menembus kabut tipis sebelum awan

Lalu lalang kendaraan di kiri-kanan

Semua terpaksa terabaikan

Kita terbenam dalam percakapan

Tanpa tema namun tetap mengasyikan

Soal pria-pria tampan bak perempuan

Tentang teman-teman nyaris terlupakan

Nyanyikan lagu-lagu kesukaan

Suara sumbang dengan syair asal-asalan

Mengulang cerita-cerita semalam

Menerka-nerka apa dihadapan

Bertukar nama julukan 

Kita saling menertawakan

Dalam genggaman kita kukuhkan

Janji tanpa perlu diucapkan

Di ujung jembatan menuju sawangan



Video: the upstairs - percakapan (diambil dari youtube) 


Candu



Ujung timur tebet, 12 September 2021


Aku terlalu hanyut. Tak terasa larut. Dalam dekap nikmat. Hilang sekejap. 


Aku terlalu tinggi. Terlanjur mengangkasa. Diterbang puja tak berkesudah. Jatuh seketika. 


Aku terlalu terbiasa. Pada luar biasa. Hingga lupa aku siapa. Bahwa aku biasa saja


Seharusnya tak kubiarkan ia datang dan menyambutnya hangat. 


Seharusnya tak pernah mengulur tangan lalu memeluknya erat. 


Seharusnya tak usah membuka telinga menikmati senandung rayunya. 


Seharusnya aku tahu bahwa dia juga candu.


Kini aku, 


Benar-benar kehilanganmu. 




Video diambil dari youtube


Salahkan Dewasa

 


Ujung timur tebet, 27 Agustus 2021


Jangan salahkan dewasa

mengusir mimpi pergi

mengantar ambisi, cita-cita dan putus asa. 

Jangan salahkan dewasa

mengenalkan sepi pengganti kawan yang berlalu satu-persatu. 

Jangan salahkan dewasa

menyaji cinta berjabat erat dengan khianat. 

Jangan salahkan dewasa

buat bahagia jadi rasa kasat mata.

Jangan salahkan dewasa

hingga canda tawa tak lagi bermakna gembira, 

sekedar syarat layak duduk bersama. 

Jangan salahkan dewasa

menengganti harga diri dengan citra

hingga semua berebut muka. 

Jangan salahkan dewasa

Karena hadir begitu cepat bersama usia sebelum akal dapat menerimanya.


Jangan salahkan dewasa


Jadilah dewasa



Video diambil dari youtube


Saji

Ujung timur tebet, 16 Agustus 2021

Di antara kaki besi kursi terbalik
Separuh wajah tak kehilangan cantik
Menyapa tak terusik
Di belakang kasir, 
Di antara gelas-gelas plastik, dan
buku-buku berdebu
Lagu yang itu melulu
dulu terabaikan kini terasa berisik
Mengiring lentik jari jemari
Menyaji hidangan dibawa tergesa
Mereka dengan warna senada
Tidak ada cerita sempat dibagi
Sekedar sapa dan salam sebelum pergi
Hari itu
Setelah minggu-minggu membunuh
Di mataku
Kau tetap terlihat menawan
Di belakang altar yang muram
Di mana dulu disaji kehangatan
Kunikmati kau dari kejauhan
Mungkin sebuah jamuan perpisahan
Sebelum akhirnya kau
Mati dengan perlahan
Atau akhirnya memenangkan perjudian


Kawan



Ujung timur tebet, 11 Juli 2021


Lingkaran

Jalan-jalan aspal mengantar selebaran

Barbagi sandaran lawan kantuk tak tertahan

Omong kosong tertawakan kemalasan

Pinus, embun dan kabut halimun

Canda di antara tanda tangan

Pesan tak sempat terkirimkan

Wajah dalam ingatan

Kebaikan

Bagimu cukup disini kawan

Terbang dan jatuhlah dalam pelukan

Selamat jalan


Tiga singa di dadaku




Corner of east tebet, July 11, 2021

Liverpool atau manchester? Siapa yang bisa menyukai oasis dan stone roses tanpa menggemari the beatles. London? Sid, Rotten, Matlock, Cook , dan Jones, here's the sex pistols. Dan wembley? tempat imajinasi masa kanak bersama kaset Queen live at wembley bersampul biru.    

Inggris atau italia? Aku cuma pernah kenal britpop, tidak italipop. Three lions on a shirt. Garuda di dadaku. 


Video diambil dari youtube

Bagaimana bisa?

Ujung timur tebet, 7 Juli 2021

Aku tidak mengerti bagaimana kau bisa. 

Sepanjang malam terjaga demi mereka yang silih berganti datang mengiba. Mereka yang kau kenal hanya sebatas nama. Mereka yang sebentar lagi mungkin meregang nyawa. 

Aku tidak mengerti kenapa kau bisa. 

Menahan lelah tanpa amarah demi mereka yang tidak henti berkeluh kesah. Mereka yang merintih dengan nafas patah-patah. Mereka yang memanggilmu tak berkesudah. 

Aku tidak mengerti bagaimana kau bisa. 

Bertaruh menukar nyawa untuk mereka yang terbaring tak berdaya. Mereka yang tidak membuatmu kaya. Mereka yang padahal bukan siapa-siapa. Bukan istri, anak bahkan sekedar saudara. 

Aku tidak mengerti bagaimana kau bisa. 

Menyaksikan wajah-wajah pucat bergelut dengan maut. Menatapmu lekat-lekat. Berbisik di telingamu lamat-lamat. Berharap kau akan jadi juru selamat. Sebelum akhirnya pergi dalam peluk sang malaikat. 

Ceritakan padaku bagaimana kau bisa. Bagaimana kau mau. 

Ceritakanlah padaku lain waktu ketika semua sudah berlalu. 

Kota ini mau sehat

Ujung timur tebet, 22 Juni 2021


Keramaian itu bukan keriaan pekan raya tahunan. Bukan juga antrian tiket terusan wahana permainan. Tidak ada cahaya gemerlapan, juga tidak alunan nada menghanyutkan. Hanya kerlip lampu satu warna yang berseliweran, diiring suara bising memekakkan. 

Bersabar menahan bosan. Sendirian. 
Tidak, kawan. 
Kita akan bertahan. 
Dengan izin Tuhan kita akan bangkit dan kembali merayakan kehidupan. 

Selamat ulang tahun Jakarta, semoga lekas sehat. 

Usia, tua dan surga

Ujung timur tebet, 1 Maret 2021


Apa arti usia kalau sekedar tua tapi tidak juga bertambah bijaksana.

Sekedar hidup lebih lama tapi tidak ada bekas yang dirasa.
Sekedar jauh jarak yang ditempuh namun tak kunjung tahu di mana akan berlabuh.
Sekedar ukuran waktu, berlalu satu demi satu.
Sekedar peringatan tanggal kelahiran dan jatah hidup yang berkurang.

Harusnya kita semakin risau saat umur kian bertambah. Mulai menghitung-hitung bekal untuk pulang. Mulai merancang apa jawab saat ditanya soal kemana usia. Mulai mengira-ngira dimana tempat kita kembali. Surga atau neraka.

Aku pernah dengar kata seorang sholeh, masalah seorang beriman adalah ketika ia tidak masuk surga.

Sahabat, nasihatilah aku yang tak pernah rampung menghitung untung dan sibuk menumpuk harta. Khawatir yang aku dapat tak membawa manfaat di akhirat.

Doaku, juga untukmu sahabat, semoga tiap rupiah dari laba yang diperoleh, dari aset yang bertambah, pada tiap usia yang tersisa adalah satu langkah kita lebih dekat menuju jannah.

OPINI GEMBEL: Momen

Ujung timur tebet, 11 Februari 2021


Hidup adalah perjalanan.

Ah, cliché.

Tapi biar saja silahkan berhenti jika tidak minat.

Baiklah mari kita lanjutkan

Hidup adalah sebuah perjalanan menyampaikan kita pada banyak persimpangan. Di tiap-tiapnya kita akan dipaksa mengambil pilihan untuk menentukan arah tujuan kemana langkah akan dilanjutkan. Seringkali tepat dalam menentukan pilihan tapi tidak jarang juga jauh dari akurat. Kadang kita sadar bahwa telah menyimpang arah tapi tak juga berputar berbalik arah. Melewatkan satu-dua putaran dengan harapan di depan masih ada kesempatan. Tapi siapa yang tahu apakah di depan masih ada atau yang barusan adalah yang terakhir.

Kita memang selalu menunggu momen yang tepat untuk berubah. Walau tak pernah tahu juga kapan yang tepat itu tiba. Momen datang silih berganti tapi terlewat begitu saja. Mungkin sudah tabiat tidak senang pada apa-apa yang baru. Takut pada perubahan karena tak tahu apa yang ada di hadapan. Maka berubah bukan saja soal momen tapi juga soal niat dan keberanian melangkah. Karena sejatinya angin perubahan berhembus sepanjang masa. Persoalannya apakah kita berani mengembangkan layar dan menyesuaikan arah.

Keuangan syariah belakangan mendapat momen yang sangat baik untuk menyelaraskan arah. Giatnya masyarakat kelas menengah hijrah bersyariah, bersepakatnya bank-bank syariah untuk merapat dalam satu saf atas dasar ukhuwah, dan hebohnya usulan wakaf sebagai sumber pendanaan negara merupakan peluang untuk membuat perubahan. Game changer, bahasa kerennya. Saat begitu banyak mata memandang dan memperhatikan, inilah adalah momen bagi industri keuangan syariah untuk berbenah dan berubah. Dari hanya memiliki produk yang terbatas dan tidak kompetitif menjadi lebih beraneka sesuai kebutuhan pasar. Dari berteknologi lama menjadi canggih. Dari sekedar cadangan menjadi pilihan. Hingga kemudian profit meloncat karena efisiensi,  Aset meraksasa karena modal yang makin kokoh. Pangsa pasar yang melesat jauh meninggalkan kutukan 5% yang baru-baru saja terlewati. Kini mungkin tidak perlu ada batas angka yang harus ditetapkan sebagai kutukan.

Tapi sepertinya sayang kalau momen ini hanya dimanfaatkan untuk sesuatu yang berbau dunia saja, padahal tujuan keuangan syariah adalah dunia dan akhirat. Maka ini sepertinya juga momen yang tepat untuk mengkalibrasi arah akhirat industri keuangan syariah. Dari sekedar membuat versi syariah dari produk-produk ribawi, menjadi berdiri tegak penuh percaya diri menampilkan orisinalitas produk keuangan syariah. Dari senyum ramah terpaksa sebagai bagian dari prosedur layanan menjadi ketulusan akhlak karimah bagian dari syariah. Dari berhitung mengejar angka-angka menjadi memburu manfaat demi manfaat. Hingga profit yang melesat dan aset yang meraksasa dirasakan sebagai manfaat oleh umat. Berkah menjadi bekal ke akhirat. Hingga pangsa pasar membesar bersama maslahat.

Mudah-mudahan momen ini tidak terlewat begitu saja. Mudah-mudahan mereka yang berkepentingan berani mengembangkan layar dan menentukan arah. Sambil menunggu, mari angkat cangkir dan menikmati momen.

OPINI GEMBEL: Bukan Sekedar Itu

Ujung Timur Tebet, 3 Februari 2021

Gerak muncul membutuhkan pemicu yang merubah energi menjadi daya. Tanpa pemicu energi jadi sekedar potensi yang tersimpan rapi seperti harta karun dalam peti terkubur di dasar laut. Maka tak jarang kita lihat orang yang seharusnya memiliki energi besar tapi teronggok tak berdaya tanpa kerja. Mager, malas gerak, begitu istilah bagi mereka yang berenergi tapi tidak berkeinginan untuk memberdayakan energinya. Tidak ada sebab untuk bergerak. Tidak ada pemicu.

Tapi apa pula perlunya gerak? Atau sekedar gerak? Asal gerak tentu hanya menghabiskan energi, letih. Maka kalau cuma asal, tentu lebih baik seharian rebahan di depan tv nonton netflix, ngobrol di wa, lihat instagram atau sesekali update status: “Hei geis, aku lagi jadi kaum rebahan nih!” Nah, jadi agar bukan sekedar itu, maka gerak memerlukan arah tujuan. Dengan arah tujuan, gerak bukan sekedar penguras energi dan penimbul letih tetapi juga penghadir gembira, puas dan bangga saat tiba di tujuan.
 
Sebab dan tujuan menentukan kenapa kita bergerak, bagaimana akan bergerak dan kemana akan menuju. Saking pentingnya dua hal ini, kita abadikan keduanya dalam catatan buku harian, piagam atau plakat, bahkan kadang meneriakkannya keras-keras bersama-sama saban pagi dengan tangan terkepal di udara. Kita sebut dia visi dan misi. Sebuah pernyataan agung yang kita jadikan penuntun dalam bergerak. Kita jadikan dia jiwa dari gerak langkah kita. 

Ah, tapi dasar manusia sudah tabiatnya mungkin untuk mudah terlena, kalau tidak mau menyebutnya khianat. Meski sudah diagungkan dengan mencatatnya pada buku harian, mengabadikan dalam piagam dan plakat dan meneriakkan keras-keras setiap pagi, sering kali kita bergerak dengan arah yang berbeda dari sebab dan tujuan awal. Mungkin karena tertiup angin atau memang tergoda untuk selingkuh pada sebab-sebab lain yang lebih menarik. Karena itu penting untuk melakukan penilaian yang benar dan jujur atas gerak agar senantiasa sesuai dengan sebab dan arah yang sudah ditetapkan. Kebenaran dan kejujuran itu terletak dari cara kita menilai dan apa yang dinilai. Ukuran-ukuran yang digunakan untuk menilai akan mencerminkan sebab dan tujuan yang sejati juga kesetiaan kita pada sebab dan tujuan itu. 

Sebagai pelaku Bank Syariah, sepertinya kita perlu juga melihat ukuran-ukuran yang kita pakai untuk menilai kinerja kita agar terlihat apakah kita memang setia pada visi dan misi yang kita tulis dan ucapkan, atau ternyata hati sudah berpaling. Adakah kita telah berjalan sesuai dengannya, adakah dia masih menjadi jiwa dari semua aktivitas kita, adakah dia sejatinya alasan utama keberadaan.

Kalau melihat visi dan misi Bank Syariah, walau ditulis dengan frasa yang berbeda-beda, jamaknya akan ditemukan paling tidak dua hal utama yang menjadi sebab dan tujuan berdirinya sebuah Bank Syariah: meningkatkan nilai investor dan memberikan kontribusi sosial pada masyarakat. Tapi sepertinya yang pertama lebih mendapat perhatian dari yang kedua. Kita lebih sering menghitung-hitung untung, menimbang-nimbang rugi, menumpuk-numpuk jumlah. Lihat saja sederet indikator untuk menilai kinerja Bank Syariah: Laba, Pertumbuhan aset, dana pihak ketiga dan portofolio pembiayaan, rasio-rasio tiga huruf NPF, FDR, ROE, ROA, ROE, CAR, DLL (kalo yang terakhir kependekan dari Dan Lain-Lain). Semuanya terelasi kuat dengan nilai investor. Bahkan penghargaan dan bonus penebal isi dompet juga didasarkan atas ukuran-ukuran ini. 

Lalu bagaimana soal yang kedua? Soal dampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat? Pada pengurangan kemiskinan? Pada peningkatan tingkat pendidikan masyarakat? Pada pembangunan ekonomi? Pada peningkatan taraf hidup? Pada pelestarian lingkungan hidup? Bagaimana kinerja Bank Syariah dalam memberikan kontribusi sosial kepada masyarakat? Sepertinya selain foto-foto kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dalam beberapa lembar laporan tahunan, hampir tidak ada indikator-indikator yang dipakai untuk menunjukkan kinerja dalam perihal ini. Tidak ada juga pemegang saham dalam RUPS yang akan bertanya soal-soal begini pada komisaris, begitu juga komisaris pada direksi, direksi pada karyawannya, apalagi nasabah pada pengelola Bank. Lalu kalau tidak ada yang tanya, kenapa juga harus pusing, toh mengukurnya saja susah apalagi juga tidak memiliki pengaruh pada bonus penebal isi dompet.

Bukankah kemanfaatan sosial juga penting. Sangat penting bahkan. Bukankah dia juga fungsi yang diamanahkan undang-undang untuk dilaksanakan Bank Syariah. Bukankah dia maksud dari diturunkannya syariah dalam mengatur aktivitas ekonomi. Bukankah dia sebab dari turunnya berkah, karena buat apa besar dan untung kalau tidak manfaat buat yang lain.  Lantas kalau tidak diukur lalu bagaimana tahu kita telah sampai pada tujuan atau tidak? Apakah dia betul-betul jadi tujuan? Atau sekedar catatan pada dokumen perusahaan, plakat, piagam atau kata-kata yang diteriakan keras-keras tiap pagi sebelum jam operasional dimulai.

Kinerja finansial tentu saja penting karena tanpanya mustahil memberi kemanfaatan. Tapi harusnya bukan sekedar itu. 

OPINI GEMBEL: Menjadi Antik

Ujung Timur Tebet, 21 Januari 2020


Tidak selamanya yang tua tertinggal zaman dan hilang dihantam perubahan. Tidak selamanya yang kuno tertatih mengikuti waktu yang berlari cepat tidak terpakai. Tidak selamanya yang usang dimakan usia mati hilang tak bernilai. Maka tak seharusnya kita khawatir dengan perubahan zaman yang disupiri perkembangan teknologi. Tak perlu bersedih karena tidak punya sumber daya untuk mengikuti tren teknologi terkini. Apalagi buru-buru membuat peti mati dan menggali kubur sendiri kalau tak mampu menyerap teknologi mutakhir, go online atau digital.

Tenang saja dan mari kita belajar dari barang antik. Tengoklah barang-barang antik. Semakin lama waktu meninggalkannya, semakin ramai orang mencarinya, semakin tinggi harganya. Vintage, begitu sebut orang-orang yang menggemarinya. Memang tidak banyak yang menggemarinya, tapi tetap ada saja dari zaman ke zaman. Barang-barang antik ini secara fungsi tentu kalah canggih dari kompatriotnya yang modern dengan fungsi didukung teknologi canggih. Lalu apa yang menyebabkannya dia bertahan menantang zaman modern dengan nilainya yang tinggi dan masih memiliki penggemarnya sendiri?

Sebabnya adalah rasa dan emosi, sesuatu yang dimiliki setiap manusia, kuno maupun modern analog maupun digital. Bagaimanapun manusia punya rasa dan emosi yang harus dipuaskan. Dan seringkali teknologi yang lebih teknikal dan fungsional melupakan aspek rasa dan emosi. Fungsi boleh canggih, tapi apa enaknya kalau tidak membangkitkan emosi. Maka secanggih-canggihnya video call memfasilitasi kita bertemu, kita tetap saja rindu bicara bertatapan langsung bertukar emosi. Sepraktis-praktisnya kopi dan mie instan untuk dibuat di dapur sendiri, masih juga kita pergi ke warkop untuk menikmatinya. Semudah-mudahnya e-book, tetap saja beda rasanya ketika memegang buku betulan, mencium aroma kertasnya dan merasa puas melihatnya terpajang di rak buku kita. Rasa dan emosi ini yang menjadikan barang antik punya nilai. Barang antik kehilangan nilai fungsinya tapi dia tidak kehilangan nilai rasa dan emosinya.

Isu perubahan zaman, digitalisasi dan kekuasaan kaum milenial tentu juga merisaukan pelaku Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Pertanyaan bagaimana bertahan, bertransformasi, bersaing memenangkan kompetisi dengan keterbatasan sumber daya melawan mereka yang unggul segala-gala tentu sangat mengganggu pikiran. Merasa khawatir walau tentu semua percaya kisah david dan goliat. Ah, kisah david dan goliat. Ini juga harusnya menginspirasi, karena david unggul sepertinya bukan karena kecanggihan teknologi dan besarnya sumber daya. Dan ditambah ilmu terkait barang antik tadi seharusnya tidak perlu merasa khawatir berlebihan. Dengan meningkatkan nilai melalui eksploitasi atas rasa dan emosi, mungkin BPRS bisa bertahan dan memenangkan kompetisi di tengah keterbatasan yang dimiliki.

BPRS dapat menjadikan rasa dan emosi sebagai fokus penciptaan nilai dalam proses bisnisnya. Alih-alih bicara soal digital banking mungkin harus lebih sering bicara tentang emotional banking. Pengalaman perbankan yang menyentuh rasa dan emosi manusia bukan sekedar fungsi saja sebagaimana barang antik membangkitkan kepuasan emosional pemiliknya. Ada rasa bahagia, senang, gembira, tenang dan bangga setelah bertransaksi. Karena rasa dan emosi soal manusia maka seharusnya dapat dilakukan tanpa teknologi yang rumit dan canggih.

Paling tidak ada dua hal yang bisa menciptakan rasa dan emosi. Pertama tentu soal syariah. Syariah mampu  memberikan rasa dan nilai emosi yang tak terkira. Tentu kalau dijalankan sebagaimana mestinya. Keinginan banyak orang untuk belajar islam dan berislam secara sempurna dalam seluruh sendi kehidupan memunculkan rasa dan emosi yang butuh dipuaskan dan BPRS bisa hadir sebagai pemuas rasa dan emosi tersebut. Konsistensi produk yang sesuai syariah, ruang diskusi dan akomodasi terhadap perbedaan mengenai penafsiran prinsip muamalah dan pelayanan berbasis akhlak yang mulia tentu bisa memberikan pengalaman perbankan yang syarat rasa dan emosi. Tidak apalah sedikit repot, sedikit mahal, sedikit jauh asal hati bahagia dan tenang dunia dan akhirat.

Yang kedua adalah dampak sosial. Konon kabarnya para pemilik dana, investor kaya raya, juga investor dari kalangan milenial mulai peduli dengan dampak sosial dari investasi mereka disamping tingkat pengembalian. Mereka sangat perhatian dengan isu kemiskinan, kesehatan, pendidikan, lingkungan hidup dan sangat ingin investasinya punya dampak pada perbaikan isu-isu sosial ini. Ada rasa dan emosi yang juga harus dipuaskan dari berinvestasi. Rasa dan emosi yang sekali lagi sangat mungkin dipuaskan oleh BPRS mengingat dampak sosial merupakan seusatu yang melekat pada syariah dan khittah BPRS sebagai bank yang melayani kelas kecil dan menengah dan beorientasi pada peningkatan kesejahteraan. Produk pembiayaan yang memberikan kemanfaatan bagi segmen masyarakat kecil menengah, program kemanfaatan sosial dan pemberdayaan yang menjadi bagian tak terpisah dari bisnis BPRS, menjadikan dampak sosial sebagai ukuran kinerja dan secara rutin mempublikasikan dan mempromosikannya bisa menjadi strategi bisnis yang ciamik, terutama dalam memenangkan hati investor. Apalagi ditambah dengan produk-produk investasi inovatif yang disambungkan dengan produk kemanfaatan sosial misal wakaf, zakat dan infak dan bukan hanya sekedar menjadi pengumpulnya. Makin ciamik!

Tapi tentu saja bukan maksudnya tidak perlu peduli dan mengerahkan segala daya upaya mengikuti perkembangan teknologi, hanya saja mungkin kita bisa melihat tekanan perubahan ini dari sisi yang berbeda. Sehingga memungkinkan kita bisa melihat jalan keluar yang lain. Atau jangan-jangan justru kekhawatiran akan tergilas karena kejamnya dampak perkembangan zaman digital memalingkan kita dari hal lain yang jauh lebih penting dan lebih bernilai dari sekedar mempercanggih fungsi. Maka sambil sedikit demi sedikit meningkatkan kapasitas  teknologi yang dimiliki sebagai strategi jangka pendek mungkin BPRS masih bisa memenangkan persaingan dengan mengeksploitasi rasa dan emosi. Menjadikan rasa dan emosi sebagai episentrum strategi bisnis. Menjadi barang antik.

Bosan kehilangan bosan




Ujung timur tebet, 10 Januari 2021

Aku pernah menulis bosan
Beberapa tahun silam
Kemudian
Berteman dan
Mengakrabinya sejak itu
Menjadi rekan menggumuli hari
kawan memungkas sepi malam
Darinya kutulis berbagai hal
kisah cintaku yang picisan
amarah pada atasan
Romansa masa remaja
Hingga mimpi yang dulu tak tahu kapan jadi nyata
Bersamanya aku serasa pujangga
Menyair kata sastrawi penuh makna
Serasa perupa
Menyapu kanvas dengan kuas aneka warna
Serasa musisi
Meramu nada-nada menjadi irama megah dalam sebuah komposisi
Kreatifitas tidak berbatas
Resah namun bebas
Setidaknya, begitu perasaanku
Hingga bosan memutuskan untuk berlalu
Tidak ingat kapan terakhir kita bertemu
Kupikir ia pergi karena cemburu
Karena aku temukan cinta
Pada kerja
Pesan-pesan singkat menyeranta
Berita-berita
Pertunjukan on demand instan dalam genggaman
Pemutar lagu dalam saku
Semuanya ada kapan aku mau
Sejak mata terbuka
Hingga malam buta mengantar mata terpejam
Sejujurnya dulu aku tak terlalu peduli bosan berlalu
Tapi sekarang aku sungguh rindu
Pada dia yang memaksaku berhenti saat lelah di tengah hari
Menantangku berpikir dan berimajinasi saat malam menyelimuti
Peduli dan menikmati yang hadir di sekeliling
Bukan yang sekedar lewat melalui daring
Menjadikanku nyata
bukan maya
Ah, aku benar-benar kehilangan
Bosan,
Datanglah kembali
Kuingin kita berkawan
Seperti dulu lagi