OPINI GEMBEL: Menjadi Antik

Ujung Timur Tebet, 21 Januari 2020


Tidak selamanya yang tua tertinggal zaman dan hilang dihantam perubahan. Tidak selamanya yang kuno tertatih mengikuti waktu yang berlari cepat tidak terpakai. Tidak selamanya yang usang dimakan usia mati hilang tak bernilai. Maka tak seharusnya kita khawatir dengan perubahan zaman yang disupiri perkembangan teknologi. Tak perlu bersedih karena tidak punya sumber daya untuk mengikuti tren teknologi terkini. Apalagi buru-buru membuat peti mati dan menggali kubur sendiri kalau tak mampu menyerap teknologi mutakhir, go online atau digital.

Tenang saja dan mari kita belajar dari barang antik. Tengoklah barang-barang antik. Semakin lama waktu meninggalkannya, semakin ramai orang mencarinya, semakin tinggi harganya. Vintage, begitu sebut orang-orang yang menggemarinya. Memang tidak banyak yang menggemarinya, tapi tetap ada saja dari zaman ke zaman. Barang-barang antik ini secara fungsi tentu kalah canggih dari kompatriotnya yang modern dengan fungsi didukung teknologi canggih. Lalu apa yang menyebabkannya dia bertahan menantang zaman modern dengan nilainya yang tinggi dan masih memiliki penggemarnya sendiri?

Sebabnya adalah rasa dan emosi, sesuatu yang dimiliki setiap manusia, kuno maupun modern analog maupun digital. Bagaimanapun manusia punya rasa dan emosi yang harus dipuaskan. Dan seringkali teknologi yang lebih teknikal dan fungsional melupakan aspek rasa dan emosi. Fungsi boleh canggih, tapi apa enaknya kalau tidak membangkitkan emosi. Maka secanggih-canggihnya video call memfasilitasi kita bertemu, kita tetap saja rindu bicara bertatapan langsung bertukar emosi. Sepraktis-praktisnya kopi dan mie instan untuk dibuat di dapur sendiri, masih juga kita pergi ke warkop untuk menikmatinya. Semudah-mudahnya e-book, tetap saja beda rasanya ketika memegang buku betulan, mencium aroma kertasnya dan merasa puas melihatnya terpajang di rak buku kita. Rasa dan emosi ini yang menjadikan barang antik punya nilai. Barang antik kehilangan nilai fungsinya tapi dia tidak kehilangan nilai rasa dan emosinya.

Isu perubahan zaman, digitalisasi dan kekuasaan kaum milenial tentu juga merisaukan pelaku Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Pertanyaan bagaimana bertahan, bertransformasi, bersaing memenangkan kompetisi dengan keterbatasan sumber daya melawan mereka yang unggul segala-gala tentu sangat mengganggu pikiran. Merasa khawatir walau tentu semua percaya kisah david dan goliat. Ah, kisah david dan goliat. Ini juga harusnya menginspirasi, karena david unggul sepertinya bukan karena kecanggihan teknologi dan besarnya sumber daya. Dan ditambah ilmu terkait barang antik tadi seharusnya tidak perlu merasa khawatir berlebihan. Dengan meningkatkan nilai melalui eksploitasi atas rasa dan emosi, mungkin BPRS bisa bertahan dan memenangkan kompetisi di tengah keterbatasan yang dimiliki.

BPRS dapat menjadikan rasa dan emosi sebagai fokus penciptaan nilai dalam proses bisnisnya. Alih-alih bicara soal digital banking mungkin harus lebih sering bicara tentang emotional banking. Pengalaman perbankan yang menyentuh rasa dan emosi manusia bukan sekedar fungsi saja sebagaimana barang antik membangkitkan kepuasan emosional pemiliknya. Ada rasa bahagia, senang, gembira, tenang dan bangga setelah bertransaksi. Karena rasa dan emosi soal manusia maka seharusnya dapat dilakukan tanpa teknologi yang rumit dan canggih.

Paling tidak ada dua hal yang bisa menciptakan rasa dan emosi. Pertama tentu soal syariah. Syariah mampu  memberikan rasa dan nilai emosi yang tak terkira. Tentu kalau dijalankan sebagaimana mestinya. Keinginan banyak orang untuk belajar islam dan berislam secara sempurna dalam seluruh sendi kehidupan memunculkan rasa dan emosi yang butuh dipuaskan dan BPRS bisa hadir sebagai pemuas rasa dan emosi tersebut. Konsistensi produk yang sesuai syariah, ruang diskusi dan akomodasi terhadap perbedaan mengenai penafsiran prinsip muamalah dan pelayanan berbasis akhlak yang mulia tentu bisa memberikan pengalaman perbankan yang syarat rasa dan emosi. Tidak apalah sedikit repot, sedikit mahal, sedikit jauh asal hati bahagia dan tenang dunia dan akhirat.

Yang kedua adalah dampak sosial. Konon kabarnya para pemilik dana, investor kaya raya, juga investor dari kalangan milenial mulai peduli dengan dampak sosial dari investasi mereka disamping tingkat pengembalian. Mereka sangat perhatian dengan isu kemiskinan, kesehatan, pendidikan, lingkungan hidup dan sangat ingin investasinya punya dampak pada perbaikan isu-isu sosial ini. Ada rasa dan emosi yang juga harus dipuaskan dari berinvestasi. Rasa dan emosi yang sekali lagi sangat mungkin dipuaskan oleh BPRS mengingat dampak sosial merupakan seusatu yang melekat pada syariah dan khittah BPRS sebagai bank yang melayani kelas kecil dan menengah dan beorientasi pada peningkatan kesejahteraan. Produk pembiayaan yang memberikan kemanfaatan bagi segmen masyarakat kecil menengah, program kemanfaatan sosial dan pemberdayaan yang menjadi bagian tak terpisah dari bisnis BPRS, menjadikan dampak sosial sebagai ukuran kinerja dan secara rutin mempublikasikan dan mempromosikannya bisa menjadi strategi bisnis yang ciamik, terutama dalam memenangkan hati investor. Apalagi ditambah dengan produk-produk investasi inovatif yang disambungkan dengan produk kemanfaatan sosial misal wakaf, zakat dan infak dan bukan hanya sekedar menjadi pengumpulnya. Makin ciamik!

Tapi tentu saja bukan maksudnya tidak perlu peduli dan mengerahkan segala daya upaya mengikuti perkembangan teknologi, hanya saja mungkin kita bisa melihat tekanan perubahan ini dari sisi yang berbeda. Sehingga memungkinkan kita bisa melihat jalan keluar yang lain. Atau jangan-jangan justru kekhawatiran akan tergilas karena kejamnya dampak perkembangan zaman digital memalingkan kita dari hal lain yang jauh lebih penting dan lebih bernilai dari sekedar mempercanggih fungsi. Maka sambil sedikit demi sedikit meningkatkan kapasitas  teknologi yang dimiliki sebagai strategi jangka pendek mungkin BPRS masih bisa memenangkan persaingan dengan mengeksploitasi rasa dan emosi. Menjadikan rasa dan emosi sebagai episentrum strategi bisnis. Menjadi barang antik.

Bosan kehilangan bosan




Ujung timur tebet, 10 Januari 2021

Aku pernah menulis bosan
Beberapa tahun silam
Kemudian
Berteman dan
Mengakrabinya sejak itu
Menjadi rekan menggumuli hari
kawan memungkas sepi malam
Darinya kutulis berbagai hal
kisah cintaku yang picisan
amarah pada atasan
Romansa masa remaja
Hingga mimpi yang dulu tak tahu kapan jadi nyata
Bersamanya aku serasa pujangga
Menyair kata sastrawi penuh makna
Serasa perupa
Menyapu kanvas dengan kuas aneka warna
Serasa musisi
Meramu nada-nada menjadi irama megah dalam sebuah komposisi
Kreatifitas tidak berbatas
Resah namun bebas
Setidaknya, begitu perasaanku
Hingga bosan memutuskan untuk berlalu
Tidak ingat kapan terakhir kita bertemu
Kupikir ia pergi karena cemburu
Karena aku temukan cinta
Pada kerja
Pesan-pesan singkat menyeranta
Berita-berita
Pertunjukan on demand instan dalam genggaman
Pemutar lagu dalam saku
Semuanya ada kapan aku mau
Sejak mata terbuka
Hingga malam buta mengantar mata terpejam
Sejujurnya dulu aku tak terlalu peduli bosan berlalu
Tapi sekarang aku sungguh rindu
Pada dia yang memaksaku berhenti saat lelah di tengah hari
Menantangku berpikir dan berimajinasi saat malam menyelimuti
Peduli dan menikmati yang hadir di sekeliling
Bukan yang sekedar lewat melalui daring
Menjadikanku nyata
bukan maya
Ah, aku benar-benar kehilangan
Bosan,
Datanglah kembali
Kuingin kita berkawan
Seperti dulu lagi