Serial Karyawan Stress - Mati Kuadrat!

Ujung Timur Tebet, 17 May 2010, 03:25 WIB



Hari ini begitu aneh, absurd, abstrak atau terserah apapun kata yang bisa digunakan untuk menggambarkan ketidaklaziman. Sebabnya bukan karena hari ini aku datang ke kantor tepat waktu. Bukan juga karena aku melewatkan kebiasaanku melakukan ”komunikasi budaya”, istilah kompleks untuk aktivitasku bergunjing yang tentu sebagai bawahan, yang paling aysik adalah menggunjingkan atasan. Dan bukan juga karena pagi ini aku absen morning meeting dengan manajer dan direktur pantry. Yang kumaksud disini dengan manajer dan direktur pantry adalah office boy para pengurus pantry, sedangkan morning meeting adalah istilah keren untuk kongkow-kongkow sambil ngopi. Bukan, bukan itu semua. Tetapi sebabnya adalah apa yang terjadi di meja kerjaku siang itu.


Waktu itu menjelang makan siang. Seperti biasa sambil menunggu waktu istirahat aku melamun di depan komputer canggih pengganti notebook bututku. Tapi kali ini aku melamun dengan lebih serius. Mungkin karena akhir-akhir ini aku merasa menjadi seorang yang sangat lain, atau mungkin karena sangking stresnya, gairah seniman ngawur di dalam dadaku semakin muncul kepermukaan sehingga melamun kuanggap sebagai kegiatan mencari inspirasi. Aku memang agak pusing dengan jati diriku belakangan. Luntang-lantung, kumal, sensitif cenderung sinis dan banyak omong. Sosok pribadi yang sangat bukan aku. Karena itulah lamunanku sekarang menjadi lebih berkualitas.


Saat itu aku tidak lagi peduli dengan tampilan yang ada di layar monitor. Entah itu deretan angka penduduk microsoft excel, penghuni SAP, atau layar warna-warni khas detik.com, aku tak lagi peduli. Aku melamun dengan khusyuk seperti Gautama menanti kebenaran di bawah pohon Bodhi atau seperti Newton melamunkan gravitasi di bawah pohon apel. Tak lama kemudian keanehan itupun dimulai. Aku memejamkan mata. Hatiku begitu tenang. Tubuhku terasa begitu ringan. Lamunanku membawaku menembus lorong waktu. Aku melakukan perjalanan menembus dimensi waktu layaknya Michael J. Fox di film back to the future, Denzel Washington di Déjà vu, atau Dedy Mizwar di sinetron ramadhan lorong waktu.


Aku terlempar kedepan entah untuk berapa tahun, mungkin sepuluh atau limabelas tahun. Tidak ada yang berbeda saat itu selain aku bertambah tua. Inilah yang membuatku merasa ngeri. Aku masih seperti dulu, melamun di depan komputer tanpa peduli dengan tampilan layar monitorku, entah deretan angka microsoft excel, penghuni SAP, atau layar warna-warni khas detik.com. Aku masih melakukan hal yang sama dengan apa yang aku lakukan limabelas tahun lalu. Anehnya aku merasa nyaman dengan semua itu. Tidak ada tanda-tanda penyesalan dan kesedihan. Aku tidak tahu kemana perginya cita-cita dan mimpiku dulu. Mungkin realitas kembali menang dan mengangkangi idealita mulukku.


Akupun kembali tersadar pada eksistensiku kini. Bayangan singkat masa depanku tadi membuatku begitu ngeri. Itu sama sekali bukan gambaran masa depan yang aku cita-citakan. Bahkan itu tidak bisa disebut masa depan. Tidak ada perubahan padanya. Apa bedanya itu dengan masa kini selain menjadi lebih tua, berkarat, berdebu dan aus. Begitu menyedihkan.


Namun semuanya belum terlambat karena kenyataan belum lagi ditulis. Perjalanan hidupku di masa lalu telah mengantarkanku pada titik dimana aku berada kini. Sedangkan cerita masa dapan ditulis dengan apa yang kita lakukan saat ini. Maka kini aku harus memilih jalan hidup yang harus kulalui yang akan mengantarkanku pada suatu titik di masa depan. Masa depan yang aku dambakan. Dan sepertinya jika aku tetap berada pada jalan yang kutempuh hari ini ia hanya akan mengantarkanku pada masa depan seperti lamunanku tadi. Karenanya aku harus melakukan perubahan. Ini adalah niscaya.


Bukannya aku tidak mensyukuri apa yang Tuhan telah berikan padaku hari ini. Bahkan aku sangat mensyukurinya. Tetapi bukankah hidup yang juga pemberian Tuhan adalah dinamis, berubah dan bergerak. Karenanya tidak melakukan perubahan, menjadi statis sama juga dengan tidak mensyukuri kehidupan. Tan Malaka bilang tidak ada sesuatu yang tetap melainkan perubahan itu sendiri. Seorang bijak dalam tayangan Kick Andy pernah mengatakan ”Tetaplah berubah karena hidup adalah perubahan dan diam adalah kematian.” Padahal bagiku mati pun merupakan perubahan: perubahan dari bernafas menjadi tidak, dari alam dunia ke alam kubur, dari manusia menjadi tanah. Maka kalau mati saja mungkin sudah buruk bagi mereka yang hidup, apalagi tidak melakukan perubahan. Pastilah itu jauh lebih buruk dari kematian.


Mati kuadrat!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar