Serial Karyawan Stress - Monolog Ruang Tengah

“Hhhmmmppphhh…” Aku melepas nafas panjang seraya menghempaskan badanku ke atas kasur kecil di depan TV. Pakaian kantor masih melekat di badan. “Biarlah aku beristirahat sejenak, baru mandi dan ganti pakaian setelah hilang penat dan pegal oleh-oleh dari kantor hari ini,” pikirku.


Beberapa waktu belakangan ngantor memang menjadi perkara yang rumit bagiku. Setiap pagi aku harus berjuang mengalahkan rasa malas untuk kemudian menyeret badanku bersiap dan berangkat kerja. Di kantor, setali tiga uang, aku harus mati-matian memecut diriku untuk menyelesaikan perkerjaan yang mulai menumpuk karena sengaja aku tunda sedikit demi sedikit. Mungkin sistim kerja paksa membangun jalan ala penjajah belanda paling tepat diberlakukan padaku saat ini. Alhasil jenuh menambah letih badanku setiap hari setibanya di rumah.


Kasur tipis ini begitu sangat nyaman berada dibawah punggungku kini. Ia sengaja diletakkan di ruang tengah untuk beristirahat di depan TV karena kami memang tidak memiliki sofa atau kursi malas yang sepatutnya berada disini. Memang rumah yang ku tinggali ini agak besar, tapi tidak banyak perabot mengisi didalamnya. Kalaupun ada pasti itu lungsuran dari orang tuaku ataupun yang aku “ambil” secara paksa dari rumah mertua.


Hampir tidak ada yang berharga di rumah ini, kecuali mungkin, TV, lemari es, seperangkat komputer tempat aku dan si bunda browsing dan laptop tua yang pernah menjadi sangat canggih pada zamannya. Tetapi biarpun tua, laptop ini tak terkira jasanya dalam mengantarkanku meraih gelar master di negeri kangguru. Moga-moga laptop tua itu juga yang akan menemaniku mengejar cita-cita meraih gelar doktor dan membantu si bunda menyelesaikan program spesialisnya kelak.


Belum berapa lama aku berbaring, otakku pun mulai agak rileks. Buktinya aku mulai bisa melamun dan mulai merenung-renung kemudian berpikir-pikir. Kedua hal yang terakhir ini memang agak sering kulakukan, mungkin biar dibilang agak sedikit intelek dan sedikit filosofis. Setahuku orang-orang besar dan pintar memang suka merenung dan berpikir. Tetapi bukankah perintah pertama Allaah kepada sang Rasul adalah iqro, bacalah! Dan membaca juga berarti berpikir. Karenanya akupun mulai memaksa diriku berpikir.


Dan berpikir-pikir mengenai hidup, dan kalau memamg mau dipikir-pikir, hidupku sekarang sejatinya sudah lebih dari lumayan. Rumah punya, walaupun pinjaman dari orang tua paling tidak aku tidak perlu risau bayar kontrakan tiap bulan atau cicilan KPR. Mobil ada, walaupun sudah mulai sedikit penyok sana-sini tapi masih sangat ok untuk mengantarku dan keluarga. Pekerjaan pun lumayan, biar gaji tidak terlalu besar tapi lebih dari cukup untuk kebutuhan sehari-hari, bayar air, lisrik, internet dan jalan-jalan tiap akhir pekan.


AlhamduliLlaah,” Ternyata begitu berlimpah nikmat dan kemudahan yang Allaah berikan untukku dan keluarga. Tapi kalau ada yang bertanya nikmat apa yang paling berharga yang Tuhan berikan untukku, tentu saja nikmat mengenal islam, agamaku sejak lahir, jawabnya. Banyak sekali perubahan dalam hidupku sejak seorang kakak kelas di SMA mengingatkanku tentang bagaimana seharusnya berislam. Bukan berarti setelah itu aku menjadi sangat alim tetapi paling tidak hidupku lebih terarah kini. Tak terbayang dimana aku akan berdiri sekarang jika Allaah tidak sampaikan hidayahNya kepadaku dulu.


Luar biasa memang melihat bagaimana Islam telah merubah seorang manusia. Sebut saja Abudzar Alghifari, seorang raja rampok yang dipukuli orang satu pasar karena berteriak lantang menyatakan keimanannya. Atau Mushaf ibnu Umair, anak bangsawan perlente yang meninggalkan kemewahan dunia untuk memperjuangkan agama Allaah.


Berbagai kisah heroik tentang keislaman manusia terbaik yang pernah hidup di dunia telah mengisi lembaran-lembaran sejarah. Kisahku tentu tidak se-revolusioner mereka dan tentu karena tidak menarik, sejarah pun malas mencatatnya. Tetapi yang jelas mereka telah menginspirasiku untuk terus menerus mencelupkan diriku kepada agamaku secara kaffah, secara menyeluruh. SibghatAllaah wa man ahsanu minAllaai sibghah, celupan siapakah yang lebih baik selain celupan Allaah.


Islam telah memberikan arti luar biasa pada hidupku. Islam pula yang kemudian menghantarkanku meraih nikmat Tuhan yang juga paling aku syukuri: bertemu dengan si bunda, istri tersayang. Masih terekam dengan jelas di kepalaku bagaimana ia menundukkan kepala dihadapanku saat berta’aruf dan tersipu malu saat aku utarakan maksudku untuk meminangnya. Tak seberapa lama berselang, kami pun sudah duduk bersanding di pelaminan.


Si Bunda adalah telaga yang menyejukkan buatku. Airnya mengusir dahaga dan memberikan kesegaran. Ia adalah kayu bakar. Apinya mengusir dingin, memberikan kehangatan dan ketenangan. Ia adalah sahabat yang setia menemani dalam kesendirian. Ia bagiku seperti Hawa kepada Adam, seperti Siti Hajar kepada Ibrahim, seperti Khadiijah kepada Muhammad SAW. Ia adalah sahabat yang setia menemani. Ia adalah teman dalam berjuang yang saling menguatkan.


Berkeluarga bagiku adalah sebuah tahapan perjuangan dengan visi besar menuju perbaikan umat. Karena dari keluarga yang baik akan lahir individu-individu yang baik. Sedangkan umat adalah kumpulan individu, maka ketika individu-individu didalamnya baik, baiklah seluruh umat ini. Dan bersama si Bunda, kan kami infakkan diri kami dan keluarga ini untuk perjuangan besar ini. Teringat aku pada sebuah keluarga dari seorang mulia bernama Hassan Al-banna. Sang kepala keluarga adalah seorang juru dakwah yang menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk berkhidmat kepada diin ini. Darinya lahir orang-orang yang juga menisbatkan dirinya pada perjuangan perbaikan ummat. Semoga Allaah jadikan aku dan keluargaku bagian dari orang-orang yang menunaikan janjinya kepada Allaah.


Tanpa terasa sudah lewat lima tahun kami membangun cita-cita sebagai keluarga. Allaah pun telah titipkan kepada kami seorang makhluk mungil yang sangat lucu. Hadirnya si Mungil ditengah-tengah kami juga merupakan anugrah yang luar biasa. Ia adalah penyejuk mataku, tawanya memberikan energi bagiku, tangisnya menumbuhkan cinta dan kasih.


Aku sangat sadar bahwa anak adalah amanah dari Allaah yang ditimpakan di pundakku. Adalah tanggung jawabku memastikan ia menjadi orang yang shalih lagi mushlih, yang baik lagi memberikan kebaikan. Karenanya kan kusiapkan ia untuk nanti turun ke medan pertempuran bernama kehidupan. Bukan dengan topi baja dan senapan tetapi dengan keimanan kepada Allah dan ilmu yang luas sebagai bekal.


Hampir setengah jam aku berbaring. Tak terhitung sudah berapa kali aku menggumamkan syukur dalam lamunanku. Lain syakartum laazidannakum, wa lain kafartum inna ‘adzawbii lasyadiid. Mudah-mudahan Allaah tambahkan nikmat atasku karena syukurku dan jauhkan aku dari siksaNya karena kesombonganku mengucap syukur.


Penatku sudah sedikit berkurang Aku pun beranjak berdiri. Sayup-sayup terdengar dari dalam kamar suara si Bunda yang sedang melantunkan sebuah ayat, “fabiayyi aalaai rabbikumaa tukadzdzibaan?”, maka nikmat Tuhanmu yang manalagi yang engkau dustakan?


AlhamduliLlaah…



Ujung Timur Tebet

14 Juli 2009, 24.15 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar