Kampungan




Ujung timur tebet, 18 November 2020

Aneh benar orang kota ini. Jika ada yang menyimpang dari standar dan kualitas perilakunya maka disebutnya kampungan. Menempatkan kampung tertinggal di belakang atau terinjak di bawah. Seakan kota adalah segalanya. Tapi setiap minggu, berjamaah orang-orang kota menuju kampung, menjadi orang kampung, mengagumi kampung. Kampungan.

Akhir-akhir ini kampung sepertinya tidak lagi kampungan. Bahkan yang tidak ikut wisata ke kampung lah yang bisa-bisa dicap kampungan. Jika belum ada gambar treking di tengah sawah, duduk kelelahan di jalur pendakian, mandi di sungai, pose di bawah air terjun dengan tangan ke atas penuh kemenangan, terpajang di status atau story sosial media, rasanya ketinggalan sekali. Kampungan sekali.

Ternyata kota tidak hebat-hebat amat. Gedung-gedung tinggi kota memang mengagumkan tapi ternyata tidak cukup membuat hati tenteram. Toilet-toilet di dalamnya menawarkan kenyamanan fungsional tapi ternyata buang hajat di gunung jauh lebih melegakan. Air hangat yang keluar dari selang pancur kalah sensasional dari dinginnya air yang jatuh dari pinggir tebing saat menghantam punggung ringkih manusia kota. Tidak usah bandingkan udara sejuk yang berhembus dari ujung gunung dengan ac di langit-langit kamar. Pastilah angin gunung lebih perkasa. Hebatnya lagi, kampung memberikannya dengan gratis tanpa urusan bisnis. Kampungan.

Memang aneh orang kota ini. Ketika kota sudah menghisapnya tak bersisa, pergilah ia ke kampung untuk mengisi kembali energinya. Mungkin kota seperti hawa nafsu yang menggoda yang memalingkan dari fitrah sehingga membuat lelah. Maka bagi orang kota kembali ke kampung sama dengan kembali ke fitrah.

Ah, kampungan sekali!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar