Ujung timur tebet, 19 September 2019
Pagi ini
Bangun manduhului mentari
Ada bara menyala
Pada dada yang lama sempit sesak
Kini mendesak berteriak
Suara tak bersuara tak mungkin dielak
Di depan gerbang terhenti
Bertanya kaki
Mau kemana kini
Melangkahlah sesuka hati
Tak ada yang akan menahan berlari
Tidak menit tidak pula hari
Tidak juga kereta api
Yang melewatkanku berkali-kali
Akan ku kejar dia nanti
Pikirku diatas bis reot sepi penghuni
Yang kubayar sesuka hati
Berhenti menepi pada jantung kota
Bersama jutaan manusia
Mengalir dan mengular di atas trotoar
Terburu-buru, tetapi tidak aku
Kunikmati secara perlahan
Semua yang kota sajikan
Salak klakson dan cacian bersahutan
Asap knalpot yang memuakkan
Aroma wangi yang memabukkan
Menyeruak dari jasad para pengabdi
Kuhirup sesuka hati
Matahari beranjak tinggi
Angkuh di pucuk dunia
Tak kuasa ku menentangnya kini
Parau suara muadzin tua
Terdengar samar menerus pesan dari yang maha akbar
Memanggil hati yang renjana
Dari mushola kecil yang jauh dari megah,
meringkuk di bawah kaki gedung-gedung yang menjulang gagah
Lantai yang pecah, karpet lusuh dan basah
Jendela, pintu yang tak lagi utuh dan tiang-tiang lelah penyangga atap yang mulai goyah
Terasa indah dalam khusyuknya doa dan ibadah
Ku adukan semua keluh, kesah dan resah
Ku biarkan air mata tertumpah
Menangis sesuka hati
Malam telah menjelang
Saatnya kembali pulang
Kota tertinggal di belakang
Biarlah, karena ia akan tetap disana saat esok datang menyapa
Selalu sama
Begitulah sedari lama
Tidak ada yang berbeda
Dan tak akan pernah berbeda
Tetapi rasa
Tidak akan pernah lagi sama
Semenjak hati merebut takhta
Menyalakan bara dalam dada
Sesuka hati ia berkuasa
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar