Bunga, Pohon, Daun, Matahari dan Angin
Ujung Timur Tebet, 25 Juli 2019
Lembah damar pagi ini. Aku terjaga diantara batang-batang besar pohon damar yang menjulang. Suara binatang malam yg penuh misteri berganti dengan kicau burung pagi yang membangkitkan kecerian. Lagu yang sama indahnya namun dengan genre yang berbeda. Daun dan tanah lembab dibasuh embun pagi. Angin pagi lembut berhembus membelai wajah. Kabut tebal beringsut pergi, seperti tirai panggung pertunjukan, bergeser terbuka mempertontonkan keindahan kreasi Sang Kuasa. Suasana tak lagi gelap, tapi sinar matahari belum lagi menyala. Syahdu. Misteri malam yang tersisa berpadu dengan harapan pagi yang mulai tumbuh. Hidup memang penuh tanda tanya, tetapi selalu tersedia jawaban di akhir babak. Dan pagi, adalah awal untuk mencari jawab.
Aku duduk di depan kemah. Sisa air wudhu di wajah membuat belaian angin semakin terasa. MenghadapNya di masjid berkubah langit, bersajadah tanah dan bermihrab kaki gunung memberikan rasa yang berbeda dari biasanya. Andai rasa yang sama ada ketika biasanya aku menghadapNya, diwaktu yang harus dibagi dengan makan siang, terburu-buru karena jadwal rapat menanti, dengan pikiran yang bercabang, dengan hati dan jasad yang lelah menghadapi macet ibu kota. Lembah damar pagi ini menguatkan arti Maha Besar, Maha Suci dan Maha Agung dalam setiap dzikirku yang biasanya berhenti sampai di ujung lidah.
Bidadari-bidadariku masih terlelap diselimuti dingin pagi yang menyejukkan. Melihat wajah-wajah mungil itu membuat hati tenang. Istriku melipat mukena di sudut tenda. Wajahnya tak pernah terbalut kosmetik namun tetap terlihat cantik. Dan bertambah cantik pagi ini. Sepertinya alam dan wanita merupakan padanan yang tepat. Lembah damar pagi ini menyadarkanku bahwa harta yang paling berharga sudah ada di depan mata tak perlu lagi mati-matian dikejar. Tinggal mati-matian dipertahankan.
Aruni, si sulung, ia ingin menjadi bunga. Karena bunga disukai banyak orang katanya. Jadilah bunga, namun jadilah seperti bunga hutan atau gunung. Seperti edelweis. Dia indah namun tidak mengumbar keindahannya. Dia jauh di atas gunung. Perlu perjuangan dan komitmen untuk dapat menikmati keindahannya. Dia indah lagi terhormat. Jadilah engkau disukai banyak orang karena keindahan dan kehormatanmu.
Ghifara, si tengah, bilang ia ingin menjadi pohon. Karena pohon banyak yang menyayangi. Jadilah seperti pohon di hutan, nak. Besar, tinggi, kokoh dan penuh kasih sayang kepada manusia. Seperti damar yang menghasilkan getah, seperti jati yang menghasilkan kayu, seperti cantigi yang merelakan dirinya bagi pendaki berpegangan. Jadilah engkau disayangi karena kasih sayang yang engkau berikan pada orang lain, karena pengorbanan yang kau lakukan atas nama mereka yang membutuhkan.
Laras, bayi kecilku dulu. Dia ingin menjadi daun. Karena daun digendong pohon. Ia ingin digendong sama kakak pipa, panggilannya untuk ghifara anak ku yang kedua. Ia hanya ingin dimanjakan. Ah, kamu memang masih terlalu kecil nak. Mudah-mudahan kasih sayang kakak-kakakmu akan membantumu mendapatkan cita-citamu. Yakinlah bahwa dunia penuh kasih sayang, kau hanya perlu mencarinya pada tempat yang tepat.
Istriku. Ia ingin menjadi matahari yang memberi manfaat. Kamu memang matahari bagi kami, yang menghangatkan, menghidupkan, dan menerangi. Tak terbayang bagaimana kami hidup tanpa matahari kami. Bersinarlah terus, sayang!
Sedangkan aku. Aku ingin menjadi angin. Yang berhembus lembut memberikan ketenangan namun dapat juga menjadi topan yang menghancurkan. Aku ingin menjadi lembut agar selalu menjadi tempat kembali yang tenang bagi keluargaku. Menjadi seperti angin darat yang meniup perahu, mengantarkan anak-anak meraih cita-citanya. Sesekali juga menjadi topan dahsyat yang menghancurkan halang yang melintang di hadapannya.
Sungguh luar biasa pengaruh alam pada manusia.
Sepertinya anak kota sepertiku memang perlu sesekali menjauh dari kota. Memutus diri dari jaringan internet, melarikan diri dari grup wa, mengucilkan diri dari berita online, mengistirahatkan diri dari target, bonus, laporan, meeting dan aksesoris kehidupan urban lainnya. Alam mampu mengajarkan apa yang tidak diajarkan kota. Dan soal hidup, alam memang guru terbaik.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar