Ujung timur tebet, 17 November 2021
Apalah arti sebuah nama. Begitu katanya. Tapi begitukah adanya? Mari bayangkan dunia tanpa nama. Bayangkan bagaimana kita akan saling menyapa. Bagaimana aku akan memanggilmu. Bagaimana aku akan mengingatmu. Bagaimana aku akan menghantarmu tidur sedang dongeng bertabur nama-nama. Bagaimana hikmah akan disampaikan padahal orang-orang bijaksana dikenal dengan sebutan nama.
Kalaulah nama tidak begitu penting, tidaklah Tuhan mengajarkan nama-nama kepada Adam sesaat setelah dia diciptakan. Nama-nama menjadi sebab ia berkedudukan mulia dibanding makhlukNya yang lain. Dari nama kemudian ilmu lahir dan dari ilmu dewasalah akal pikiran. Dengan akal pikiran manusia menuai kemuliaan. Tanpa nama manusia akan kehilangan kemuliaannya.
Nama sejatinya adalah representasi sederhana dari sebuah substansi. Nama didefinisikan dengan makna. Nama merujuk pada bentuk, sifat, rasa, aroma, fungsi dan karakter-karakter lainnya. Nama mengumpul persepsi dan membangkitkan imaji. Tentang apa dan tentang siapa. Demikianlah nama memiliki arti karena substansi. Tanpa substansi nama tidak lagi penting.
Sepanjang zaman nama-nama muncul hilang silih berganti. Era yang disruptif kini menghadirkan realita-realita baru, perspektif baru dan persepsi yang baru pula. Memunculkan nama-nama baru. Memaksa nama-nama lama mencari definisi yang baru pula. Nama-nama lama yang tak dapat didefinisikan ulang terpaksa mengalah pada zaman, hilang terlupakan. Kehilangan relevansi karena tak punya substansi, makna dan arti. Yang kebetulan mendapatkan makna baru, dapat melanjutkan perannya dalam kehidupan sesuai dengan pemaknaan barunya. Suka atau tidak.
Hari ini penting bagi kita kembali belajar tentang nama-nama agar memperoleh kemuliaan, sebagaimana Adam belajar dan mendapatkan kemuliannya saat ia diciptakan. Kita perlu mengidentifikasi nama-nama atas realitas baru yang sebelumnya tidak pernah ada. Kita perlu mereka ulang nama-nama lama dengan konteks hari ini agar memperoleh makna dan arti yang relevan. Dengan begitu dapat diraihlah ilmu mutakhir untuk menghadapi zaman yang telah berubah. Jika tidak, mungkin kita pun akan hilang menjadi kenangan bahkan sama sekali terlupakan.
Di industri perbankan, tempat kita mencari makan, sepertinya mendefinisikan ulang nama-nama juga menjadi penting. Era 4.0, demikian katanya (tidak paham juga yang mana 1.0, 2.0 dan 3.0), mengguncang tatanan lama, menggeser pemahaman kuno dan memunculkan istilah-istilah baru dalam industri. Menyajikan pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban untuk merekonstruksi wajah industri. Bagaimana kita mendefinisikan bank diantara lembaga keuangan lain kalau peran serupa intermediari bukan lagi monopoli bank? Bagaimana kita mendefinisikan deposito kontra tabungan kalau soal waktu penempatan dan pencairan bukan lagi jadi persoalan? Bagaimana kita mendefinisikan bank syariah dihadapkan pada sosial investment atau ethic investment dimana keduanya juga menampilkan dampak sosial dan keadilan? Lalu bagaimana juga kita akan mendefinisikan BPR atau BPRS? Padahal rakyat sudah lama tidak lagi menjadi pasar milik mereka sendiri. Bagaimana kita mendefinisikan kata-kata asing lain yang belum pernah kita dengar sebelumnya: fintech, p2p, neobank, pinjol?
Pertanyaan-pertanyaan ini penting dijawab agar jelas semua definisi yang diperlukan bagi tiap nama yang terlibat dalam industri. Karena atas jawaban-jawaban tersebut kemudian peraturan dibuat, produk-produk diciptakan, strategi diracik dan wajah industri dikreasikan. Bayangkan apa yang terjadi jika kita gagal melakukannya. Peraturan macam apa yang dihasilkan dari objek aturan yang memiliki konteks yang tidak lagi relevan. Tidak akan ada inovasi produk jika tetap tersandera pada definisi lama yang ketinggalan zaman. Strategi pun akan menyesatkan jika diracik dari pemahaman yang keliru. Jika begini, industri macam apa yang akan diciptakan.
Terakhir, di antara pertanyaan-pertanyaan tadi, diujungnya kita perlu juga bertanya tentang kita. Ya, kita. Kita, pelaku industri, apapun jenis, posisi, fungsi dan jabatan perlu juga memaknai ulang nama kita. Memaknai siapa kita, apa sebab kita ada dan bagaimana kita menjadi relevan di era ke empat ini. Kita perlu melakukannya bukan semata untuk menjaga eksistensi dan menghindari kepunahan. Tapi agar kita tetap dapat dengan banggga memperkenalkan diri. Agar harumnya tetap semerbak walaupun hayat tak lagi dikandung badan.
Oh, maaf sampai lupa. Perkenalkan saya...
Video dari youtube (where the streets have no name - U2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar