Gerak muncul membutuhkan pemicu yang merubah energi menjadi daya. Tanpa pemicu energi jadi sekedar potensi yang tersimpan rapi seperti harta karun dalam peti terkubur di dasar laut. Maka tak jarang kita lihat orang yang seharusnya memiliki energi besar tapi teronggok tak berdaya tanpa kerja. Mager, malas gerak, begitu istilah bagi mereka yang berenergi tapi tidak berkeinginan untuk memberdayakan energinya. Tidak ada sebab untuk bergerak. Tidak ada pemicu.
Tapi apa pula perlunya gerak? Atau sekedar gerak? Asal gerak tentu hanya menghabiskan energi, letih. Maka kalau cuma asal, tentu lebih baik seharian rebahan di depan tv nonton netflix, ngobrol di wa, lihat instagram atau sesekali update status: “Hei geis, aku lagi jadi kaum rebahan nih!” Nah, jadi agar bukan sekedar itu, maka gerak memerlukan arah tujuan. Dengan arah tujuan, gerak bukan sekedar penguras energi dan penimbul letih tetapi juga penghadir gembira, puas dan bangga saat tiba di tujuan.
Sebab dan tujuan menentukan kenapa kita bergerak, bagaimana akan bergerak dan kemana akan menuju. Saking pentingnya dua hal ini, kita abadikan keduanya dalam catatan buku harian, piagam atau plakat, bahkan kadang meneriakkannya keras-keras bersama-sama saban pagi dengan tangan terkepal di udara. Kita sebut dia visi dan misi. Sebuah pernyataan agung yang kita jadikan penuntun dalam bergerak. Kita jadikan dia jiwa dari gerak langkah kita.
Ah, tapi dasar manusia sudah tabiatnya mungkin untuk mudah terlena, kalau tidak mau menyebutnya khianat. Meski sudah diagungkan dengan mencatatnya pada buku harian, mengabadikan dalam piagam dan plakat dan meneriakkan keras-keras setiap pagi, sering kali kita bergerak dengan arah yang berbeda dari sebab dan tujuan awal. Mungkin karena tertiup angin atau memang tergoda untuk selingkuh pada sebab-sebab lain yang lebih menarik. Karena itu penting untuk melakukan penilaian yang benar dan jujur atas gerak agar senantiasa sesuai dengan sebab dan arah yang sudah ditetapkan. Kebenaran dan kejujuran itu terletak dari cara kita menilai dan apa yang dinilai. Ukuran-ukuran yang digunakan untuk menilai akan mencerminkan sebab dan tujuan yang sejati juga kesetiaan kita pada sebab dan tujuan itu.
Sebagai pelaku Bank Syariah, sepertinya kita perlu juga melihat ukuran-ukuran yang kita pakai untuk menilai kinerja kita agar terlihat apakah kita memang setia pada visi dan misi yang kita tulis dan ucapkan, atau ternyata hati sudah berpaling. Adakah kita telah berjalan sesuai dengannya, adakah dia masih menjadi jiwa dari semua aktivitas kita, adakah dia sejatinya alasan utama keberadaan.
Kalau melihat visi dan misi Bank Syariah, walau ditulis dengan frasa yang berbeda-beda, jamaknya akan ditemukan paling tidak dua hal utama yang menjadi sebab dan tujuan berdirinya sebuah Bank Syariah: meningkatkan nilai investor dan memberikan kontribusi sosial pada masyarakat. Tapi sepertinya yang pertama lebih mendapat perhatian dari yang kedua. Kita lebih sering menghitung-hitung untung, menimbang-nimbang rugi, menumpuk-numpuk jumlah. Lihat saja sederet indikator untuk menilai kinerja Bank Syariah: Laba, Pertumbuhan aset, dana pihak ketiga dan portofolio pembiayaan, rasio-rasio tiga huruf NPF, FDR, ROE, ROA, ROE, CAR, DLL (kalo yang terakhir kependekan dari Dan Lain-Lain). Semuanya terelasi kuat dengan nilai investor. Bahkan penghargaan dan bonus penebal isi dompet juga didasarkan atas ukuran-ukuran ini.
Lalu bagaimana soal yang kedua? Soal dampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat? Pada pengurangan kemiskinan? Pada peningkatan tingkat pendidikan masyarakat? Pada pembangunan ekonomi? Pada peningkatan taraf hidup? Pada pelestarian lingkungan hidup? Bagaimana kinerja Bank Syariah dalam memberikan kontribusi sosial kepada masyarakat? Sepertinya selain foto-foto kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dalam beberapa lembar laporan tahunan, hampir tidak ada indikator-indikator yang dipakai untuk menunjukkan kinerja dalam perihal ini. Tidak ada juga pemegang saham dalam RUPS yang akan bertanya soal-soal begini pada komisaris, begitu juga komisaris pada direksi, direksi pada karyawannya, apalagi nasabah pada pengelola Bank. Lalu kalau tidak ada yang tanya, kenapa juga harus pusing, toh mengukurnya saja susah apalagi juga tidak memiliki pengaruh pada bonus penebal isi dompet.
Bukankah kemanfaatan sosial juga penting. Sangat penting bahkan. Bukankah dia juga fungsi yang diamanahkan undang-undang untuk dilaksanakan Bank Syariah. Bukankah dia maksud dari diturunkannya syariah dalam mengatur aktivitas ekonomi. Bukankah dia sebab dari turunnya berkah, karena buat apa besar dan untung kalau tidak manfaat buat yang lain. Lantas kalau tidak diukur lalu bagaimana tahu kita telah sampai pada tujuan atau tidak? Apakah dia betul-betul jadi tujuan? Atau sekedar catatan pada dokumen perusahaan, plakat, piagam atau kata-kata yang diteriakan keras-keras tiap pagi sebelum jam operasional dimulai.
Kinerja finansial tentu saja penting karena tanpanya mustahil memberi kemanfaatan. Tapi harusnya bukan sekedar itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar