Gembira Bicara Tanpa Suara
Ujung timur tebet, 18 April 2020
Kita bertukar kata tanpa suara
Berbagi cerita tanpa bicara
Mencoba mengingat rupa dalam kepala
Berharap untuk tak kehilangan rasa
Dari setiap kata dan tanda baca
Pada awal senja di waktu yang tak biasa
Kita saling melempar sapa serta canda
Sesekali tertawa dengan emoji
Jemari menghibur jiwa dari raga lelah terisolasi
Cerita-cerita tak berfaedah
Soal kopi dalgona dan warung kopi bersahabat lagi ramah
Soal band punk favorit saat SMA
Sekedar menghindar dari jengah
Atas berita dan statistik angka-angka
Perdebatan benar atau salah penambah gelisah
Saat ini
Kita sangat butuh gembira
Walau tidak sempurna
Hingga nanti
Kita bisa lagi bicara
Dengan semestinya
Aku dan Bosku
Ujung timur tebet, 11 April 2020
Si bos makan di dalam, aku menyantap angin malam
Si bos bersama wanita idaman, aku berteman debu jalanan
Si bos bercanda tertawa gembira, aku termangu termenung nelangsa
Si bos menyesap anggur kelas dunia dituang penuh kewaspadaan, aku menyeruput kopi tiga ribuan diseduh serampangan
Si bos menghisap cerutunya dalam-dalam, aku terbatuk asap kretek rasa kemenyan
Si bos mengangguk pelan dialun komposisi rumit produksi musisi berskill tinggi, aku mengangguk terkantuk menahan bosan kesepian selepas radio tutup siaran
Si bos lelap dibelakang, aku tetap terjaga memegang kemudi
Si bos tiba disambut ruang kosong nan dingin, aku disapa bilik sempit penuh kehangatan
Si bos sarapan sambil membaca koran dengan pikiran penuh beban, aku menyesap kopi pahit, gorengan, berteman celoteh penuh kebebasan
Si bos memutar otak seharian, aku mengisi kotak-kotak tts sambil tiduran
Si bos pusing mikir bayar hutang perusahaan dan gaji karyawan, aku sembunyi ditagih bayar kontrakan dan cicilan
Si bos melamun memandang jalan, aku terkaget disalip pemotor sialan
Si bos mengeluh sulitnya hidup, aku teramat akrab dengan beban yang menghimpit
Si bos bilang enaknya jadi aku, aku manggut-manggut tanda setuju
Si bos makan di dalam, aku menyantap angin malam
Si bos bersama wanita idaman, aku berteman debu jalanan
Si bos bercanda tertawa gembira, aku termangu termenung nelangsa
Si bos menyesap anggur kelas dunia dituang penuh kewaspadaan, aku menyeruput kopi tiga ribuan diseduh serampangan
Si bos menghisap cerutunya dalam-dalam, aku terbatuk asap kretek rasa kemenyan
Si bos mengangguk pelan dialun komposisi rumit produksi musisi berskill tinggi, aku mengangguk terkantuk menahan bosan kesepian selepas radio tutup siaran
Si bos lelap dibelakang, aku tetap terjaga memegang kemudi
Si bos tiba disambut ruang kosong nan dingin, aku disapa bilik sempit penuh kehangatan
Si bos sarapan sambil membaca koran dengan pikiran penuh beban, aku menyesap kopi pahit, gorengan, berteman celoteh penuh kebebasan
Si bos memutar otak seharian, aku mengisi kotak-kotak tts sambil tiduran
Si bos pusing mikir bayar hutang perusahaan dan gaji karyawan, aku sembunyi ditagih bayar kontrakan dan cicilan
Si bos melamun memandang jalan, aku terkaget disalip pemotor sialan
Si bos mengeluh sulitnya hidup, aku teramat akrab dengan beban yang menghimpit
Si bos bilang enaknya jadi aku, aku manggut-manggut tanda setuju
Tini, tawa dan ayahnya
Ujung timur tebet, 3 April 2020
Binar bola matanya
Riang menembus dinding kaca
Batas tebal antara dirinya dan dunia di seberang sana
Berbeda
Lampu menyala aneka warna
Gadis-gadis kecil sebaya
Gembira
Di atas sepatu roda
Lalu dia tertawa
sambil bertanya
Ayah, kapan ajak aku kesana
Sayu sinar matanya
Menatap samar bayang si tini pada dinding kaca
Batas tebal antara dirinya dan harapan di seberang sana
Air mata
Bertanya kenapa tidak di sana
Ingin rasanya ajak tini kesana
Tapi tangan hitamnya
Tak cukup daya
Lirih dia berkata
Kalimat yang selalu sama
Maaf nak, lain waktu saja
Matanya menatap lekat-lekat
Wajah lelah penuh gurat
Ia tersenyum hangat
Memeluk kaki pria itu erat-erat
Binar matanya memberi isyarat
Tidak perlu kau kecewa
Karena tidak juga aku
Tak perlu lain waktu
Aku tidak menunggu
Di sini pun tidak mengapa
Kemudian dia tertawa
Tawa yang persis sama
Binar bola matanya
Riang menembus dinding kaca
Batas tebal antara dirinya dan dunia di seberang sana
Berbeda
Lampu menyala aneka warna
Gadis-gadis kecil sebaya
Gembira
Di atas sepatu roda
Lalu dia tertawa
sambil bertanya
Ayah, kapan ajak aku kesana
Sayu sinar matanya
Menatap samar bayang si tini pada dinding kaca
Batas tebal antara dirinya dan harapan di seberang sana
Air mata
Bertanya kenapa tidak di sana
Ingin rasanya ajak tini kesana
Tapi tangan hitamnya
Tak cukup daya
Lirih dia berkata
Kalimat yang selalu sama
Maaf nak, lain waktu saja
Matanya menatap lekat-lekat
Wajah lelah penuh gurat
Ia tersenyum hangat
Memeluk kaki pria itu erat-erat
Binar matanya memberi isyarat
Tidak perlu kau kecewa
Karena tidak juga aku
Tak perlu lain waktu
Aku tidak menunggu
Di sini pun tidak mengapa
Kemudian dia tertawa
Tawa yang persis sama
Langganan:
Postingan (Atom)