ujung timur tebet, 1 Syawal 1432H 23:15WIB
Turunlah sejenak untuk sekedar mengetahui berapa tinggi engkau telah mengangkasa. Naiklah ke permukaan barang sebentar untuk mengetahui berapa dalam engkau telah menyelam. Berhentilah sejenak dan tengoklah kebelakang agar nampak berapa jauh engkau telah berjalan. Bergeserlah sekejap agar terang benderang bagi engkau akan keberadaanmu saat ini.
Mungkin kau terlalu akrab dengan saat ini hingga lupa akan kemarin yang telah mengantarkanmu bertemu dengan hari ini. Mungkin kau terlalu terbiasa dengan apa yang ada hari ini hingga lupa untuk bersyukur bahwa kemarin boleh jadi ia tidak ada dan esok hari akan kembali tiada. Maka ketika semuanya sudah kehilangan makna dan harga, berhentilah barang sejenak untuk mulai melihat, mendengar dan merasakan.
Ketika aneka ragam hidangan yang tersaji di meja makanmu mulai tidak menggugah selera tengoklah mereka yang mungkin tidak setiap hari makan bermenukan daging. Tengoklah mereka yang sudah bersyukur kalau-kalau ada tempe yang bisa dijadikan teman bersantap. Tengoklah mereka yang sudah merasa untung kalau bisa makan tiga kali dalam sehari. Tengoklah mereka yang sudah merasa untung kalau ada yang dapat dimakan setiap harinya. Tengoklah mereka yang mungkin berhari-hari sudah makan dari tong sampah di depan restoran padang atau warung pinggir jalan.
Ketika tidak ada lagi mal dan butik yang dapat mendukung pemenuhan selera fashionmu maka lihatlah mereka yang cukup puas dengan gaya busana kwalitas sekian yang diobral di toko dekat terminal. Lihatlah mereka yang dengan riang berbelanja di pasar kaget depan kelurahan. Lihatlah mereka yang berebut pakaian bekas dalam pasar murah prakarsa sebuah partai politik. Lihatlah mereka yang tidak ingat lagi kapan terakhir kali berbelanja pakaian. Lihatlah mereka yang entah berapa lama setia mengenakan kaos butut berwarna merah bergambar kepala banteng yang sudah bolong sana-sini.
Ketika rumahmu tak lagi memberikan kenyamanan dan terasa sempit, lihatlah mereka yang setiap bulan resah membayar kontrakan. Lihatlah mereka yang tetap mencoba merasa lapang didalam rumahnya yang benar-benar sempit. Lihatlah mereka yang menghuni gubuk-gubuk reot di pinggir kali, samping rel kereta, dan tempat pembuangan sampah. Lihatlah mereka yang tidur beratapkan langit, beralaskan kardus, berlindungkan koran bekas dengan foto anggota dewan di halaman depan, di emper toko, di pinggir jalan.
Ketika pekerjaan, posisi, jabatanmu beserta penghasilannya saat ini tidak lagi membuatmu merasa cukup, maka lihatlah mereka yang sudah bertahun-tahun mengabdi menjadi pegawai rendahan berupah pas-pasan. Lihatlah mereka yang entah sudah berapa lama bekerja membersihkan jamban dari tahi para pegawai jorok yang meyakini bahwa menyiram adalah aktivitas sebelum membuang hajat dan bukan setelahnya. Lihatlah mereka yang bekerja serabutan menjadi kuli, tukang sapu jalan, tukang pacul, pedagang asongan, supir angkot, tukang ojek dengan pendapatan senin kemis. Lihatlah mereka yang terpaksa mengemis karena tak ada pekerjaan.
Ketika hari ini sulit bagi kita untuk bersyukur maka lihatlah mereka yang sedikit memiliki namun masih sempat mengucap syukur. Lihatlah mereka yang ikhlas berkubang dengan kemiskinan. Lihatlah mereka yang sabar bergelut dengan kesulitan. Bukankah dengan semua yang ada pada kita hari ini, Tuhan lebih berhak mendengar rasa syukur terucap dari bibir kita dibanding dari mereka. Tetapi kita gagal melihat dan merasakan semuanya. Hari ini, saat ini, apa yang ada disini, terlalu biasa untuk kita. Tidak cukup istimewa untuk sekedar disyukuri.
Maka behentilah sejenak. Duduklah di bawah pohon yang rindang itu, di tepi jalan yang sedang kau lalui itu agar terlihat jelas dimana keberadaanmu saat ini, darimana engkau telah memulai, apa yang telah engkau lewati, dan apa yang telah kau peroleh saat ini. Di tepi jalan itu, amatilah semuanya dengan meminjam kacamata orang lain. Maka, ketika itu jangan tahan bibirmu untuk mengucap AlhamduliLlaah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar